MENGAPA ETIKA POLITIK?
Etika disebut juga sebagai filsafat moral. Etika secara etimologis dan terminologis memang memiliki kekhasan. Secara general, etika berarti seperangkat nilai yang dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan tingkah laku. Etika berkaitan dengan pedoman baik dan buruk. Etika akan menjadi blue print tindakan. Manusia memang tidak hidup sendirian. Ia akan selalu terkait dengan orang lain. Makanya dalam relasi itu harus dibuat kesepakatan untuk hidup bersama dalam suatu ikatan komunal dan massal. Kesepekatan baik dan buruk atau etika itulah yang kemudian menjadi pedoman dalam tingkah laku bersama.
Etika politik merupakan pedoman yang dijadikan sebagai ukuran dalam melakukan tindakan yang seharusnya. Berbicara tentang etika politik maka terdapat tiga cakupan, yaitu terkait dengan pilihan tujuan politik, pilihan sarana politik dan pilihan aksi atau tindakan politik. Di dalam melakukan pilihan itulah maka seseorang atau sekelompok individu kemudian membingkai pilihannya tersebut berdasarkan atas hakikat kebaikan sebagai misi utama etika.
Manusia memang harus melakukan pilihan-pilihan di dalam kehidupan. Ada yang disebut sebagai pilihan rasional atau rational choice. Pilihan rasional seringkali terkait dengan dimensi masuk akal atau tidaknya sesuatu itu dipilih. Dan seringkali dasarnya lebih banyak pada aspek kepentingan. Rational choice terkait dengan tindakan instrumental atau tindakan yang lebih mengutamakan efektivitas dan efisiensi. Makanya, tindakan rasional seringkali mengandung bias terkait dengan moral. Yang agak kasar mungkin konsepsi ”tujuan menghalalkan segala cara”. Dari sekian banyak cara, maka akan dipilih cara yang efektif dan efisien. Bisa jadi, orang menjadi tidak peduli, yang penting tujuan terlaksana.
Machiavelisme politik ini pada gilirannya akan menyebabkan orang menjadi ”semau gue” dalam mencapai tujuan politiknya. Di dalam dunia politik, kemudian merebak kasus tak terbuktikan seperti ”politik uang”, ”politik dagang sapi”, ”politik makelar” dan istilah lain yang menodai ”kesucian” politik. Hal itu semata-mata disebabkan karena aspek kepentingan berada di luar koridor etika, yang berbicara tentang pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak, baik atau buruk.
Penulis Islam, seperti Al Ghazali memiliki konseren luar biasa terhadap persoalan etika. Beliau menyatakan bahwa Allah swt telah memilih ada dua kelompok manusia yang masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab masing-masing tetapi saling terkait. Ada sekelompok orang yang berada di dalam barisan Nabi-nabi. Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjaga moralitas masyarakat agar selalu berada di dalam koridor agama. Inilah yang kemudian berimbas terhadap adanya teks yang menyatakan bahwa: ”al-ulama waratsat al anbiya” yang artinya kurang lebih bahwa ”para ulama adalah pewaris para Nabi.” Sebuah posisi yang luar biasa tinggi dengan tugas dan fungsi yang sangat mendasar.
Kemudian ada sekelompok orang yang memperoleh tugas dan fungsi sebagai umara atau para penguasa. Tugasnya adalah untuk menjaga agar masyarakat berada didalam ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan. Para umara atau para pemimpin ini harus saling berkolaborasi secara sistemik dengan para ulama. Ulama memberikan ruang untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan moralitas agama dan para umara memberikan ruang agar kehidupan yang dijiwai oleh bingkai keagamaan tersebut dapat terwujud di dalam kekuasaannya. Inilah yang kemudian menjadi paradigma politik di dalam konsepsi Islam bahwa antara ulama dan umara memiliki relasi yang simbiosis mutualisme.
Etika politik tentu saja terkait dengan pilihan tindakan, apakah akan menggunakan koridor agama atau sebaliknya. Manusia yang memiliki seperangkat pengetahuan tentang ajaran agamanya, semestinya menjadikan pengetahuan agamanya tersebut untuk menafsirkan tindakan-tindakannya. Jadi, dia tidak akan sembarang bertindak apalagi semau gue atau emang gue pikirin. Akan tetapi akan menjadikan pengetahuan etikanya itu untuk melakukan tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
Memang manusia akan tetap manusia. Maksudnya, bahwa ia akan selalu terkait dengan aspek kepentingan, kebutuhan, struktur sosial, dan lingkungan khas manusia. Makanya juga selalu terjadi plus dan minus. Di dalam kerangka ini, maka pantas jika saya mengutip pendapat Dahlan Tamrin (2009) bahwa di kalangan penganut tarekat yang kemudian memasuki kawasan politik, maka juga ada tiga penggolongan: etika politik jujur, etika politik bawur dan etika politik ngawur. Meskipun penggolongan dan pelabelan ini terasa agak pejoratif, tetapi tentunya patut menjadi renungan bersama, bahwa dunia manusia tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek kemanusiaannya. Ada yang jujur, ada yang bawur dan ada yang ngawur.
Sesungguhnya Islam telah menggariskan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. “innal halala bayyinun wa innal harama bayyinun” dan yang “bawur” adalah ada yang di tengah-tengah, tidak haram, tidak halal atau mutasyabihat. Tentu saja agama mengajarkan agar yang dijadikan pedoman adalah yang jujur dan menghindari yang bawur apalagi yang ngawur. Jadi pantaslah kalau kita berdoa: “Allahumma arinal haqqa haqqa war zuqnat tiba’ah wa arinal bathila bathila warzuqna ijtinabah” yang artinya: Ya Allah tunjukkan yang benar itu benar dan berilah kekuatan untuk mengikutinya dan tunjukkan yang salah itu salah dan berikan kekuatan untuk menjauhinya”.
Wallahu a’lam bi al shawab.