PARTAI POLITIK BERBASIS ETIKA
Menurut para ahlinya, partai politik adalah sarana untuk artikulasi kepentingan. Dengan demikian, seseorang yang memasuki kawasan dunia politik berarti orang tersebut ingin menjadikan partai politik yang dimasukinya untuk menjadi sarana bagi kepentingan politik dirinya sendiri atau kelompoknya. Artikulasi kepentingan yang dimaksud disini adalah kepentingan terhadap kekuasaan. Di dalam hal ini sering dikaitkan dengan jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPR, DPRD, Bupati/wakil Bupati, Gubernur/Wakil Gubernur, DPD, Presiden/wakil Presiden dan sebagainya.
Karena partai politik adalah sarana artikulasi kepentingan, maka di dalamnya terdapat banyak perbedaan pendapat, rivalitas dan juga konflik yang sangat tinggi. Bahkan ada semacam guyonan, jika di dalam partai politik tidak ada konflik maka dia bukan partai politik. Dalam sejarah Orde Baru kita bisa membaca tentang bagaimana konflik partai politik tersebut terjadi. Konflik yang diakibatkan oleh fusi yang tidak tuntas di dalam tubuh PPP juga luar biasa. Perseteruan antara komponen Parmusi dan NU di tubuh PPP juga menjadi catatan sejarah yang tidak bisa dihapus. Namun demikian akibat konflik berkepanjangan di tubuh PPP ini kemudian memicu NU kembali ke khittah sebagaimana yang kita lihat sekarang.
Konflik yang juga mencatat sejarah kelam perpolitikan Indonesia adalah di dalam tubuh PDI. Pemerintah yang dikendalikan Golkar kala itu tentu tidak ingin partai lain menjadi besar. PDI yang kala itu menjadi partner politik Golkar berada di persimpangan jalan. Golkar tentu saja menginginkan agar yang menakhodai PDI adalah orang yang memiliki ”kecenderungan” loyal kepada pemerintah. Maka dipilihlah Soeryadi sebagai pimpinan PDI. Namun di sisi lain muncul kekuatan baru yang berada di bawah pimpinan Megawati Soekarno Putri. Rivalitas keduanya di dalam perjuangan politik kemudian menghasilkan konflik berkepanjangan dan menghasilkan catatan hitam sejarah perpolitikan Indonesia, yaitu peristiwa Kasus 27 Juli (Kudatuli). Peristiwa ini mencatat kekerasan terhadap para aktivis dan simpatisan PDI Perjuangan Megawati. Sejumlah aktivis tewas dan luka-luka di dalam peristiwa ini.
Sebagai sarana artikulasi kepentingan, Partai Politik sesungguhnya memiliki fungsi yang sangat penting yaitu mendorong demokratisasi. Di dalam sistem pemerintahan yang demokratis, maka peran partai politik sangat penting. Partai politik adalah kendaraan politik bagi siapapun yang akan memasuki kawasan jabatan politik. Untuk menjadi DPR, maka seseorang harus menggunakan kendaraan politik dan kemudian melakukan aktivitas yang tentunya akan mendukung posisinya di dalam perebutan jabatan politik dimaksud. Di sinilah biasanya ”rawan” masalah yang menyangkut bagaimana memenangkan pertarungan politik.
Makanya, kemudian merebak berbagai isu yang selalu dikaitkan dengan politik uang, kolusi, nepotisme, dan makelar politik. Dalam pileg yang baru lalu, dan kemudian dilanjutkan dengan pilpres, maka bau ”politik uang” terasa mengedepan. Namun sebagaimana lazaimnya, maka ”politik uang” tersebut tetap menjadi bau, sehingga sangat sulit dilacak apalagi dibuktikan. Demikian pula kolusi dan nepotisme. Dua-duanya juga sangat sulit untuk dihilangkan. Sebab agak susah juga untuk membuktikan apakah hal itu nepotisme atau kolusi di dalam pertarungan politik. Mereka saling berusaha dan bekerja untuk memenangkan pertarungan. Ada suami istri yang sama-sama berjuang untuk menjadi anggota dewan. Ada ayah dan anak yang sama-sama berjuang untuk memenangkan pertarungan politik, kemudian keponakan, saudara dan seterusnya. Yang tidak kalah penting juga munculnya broker-broker politik. Mereka inilah yang dalam banyak hal menjadi penghubung di antara kepentingan calon pejabat politik dengan massa. Mereka inilah yang kemudian menjadi penyambung lidah antara kepentingan yang satu dengan lainnya. Dan dari sinilah aroma ”politik uang” biasanya bermuara.
Politik bukan sesuatu yang kotor. Politik dibuat orang untuk menjadi sarana bagi proses rekruitmen politik yang sangat penting di dalam proses demokrasi. Jika kemudian politik menjadi kotor, maka manusialah yang mengisi ruang kosong politik itu dengan kecurangan, ketidakadilan, kebohongan, kebusukan dan sebagainya. Nah mereka inilah yang kemudian mendapatkan gelar ”politisi busuk”. Sebab dia melakukan tindakan yang mencederai terhadap etika politik.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk. Nah kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
Wallahu a’lam bi al shawab.