• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PANDANGAN DAN TINDAKAN Ir. AZWAR ABUBAKAR, MM DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN PASCA KONFLIK ACEH

PANDANGAN DAN TINDAKAN Ir. AZWAR ABUBAKAR, MM

DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN PASCA KONFLIK ACEH

 

Prof. Dr. Nur Syam, MSi[1]

 

 

A. Pendahuluan

Saya merasa beruntung dapat berkenalan dengan Pak Azwar Abubakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Seorang birokrat yang sungguh luar biasa dalam memberikan pelayanan bagi masyarakatnya. Saya memang tidak lama mengenal beliau. Hanya beberapa saat saja dan dalam relasi yang sangat terbatas. Maklumlah seorang menteri pasti sangat sibuk. Tidak hanya urusan kementerian yang dipimpinnya saja,  akan tetapi juga dalam relasinya dengan kementerian lain.

Di tengah keinginan untuk terus melakukan perubahan, baik dari aspek masyarakat maupun birokrasinya, maka tentu juga berdampak pada kementerian PAN dan RB ini. Bayangkan bahwa kalau terdapat banyak perubahan kelembagaan, atau penambahan kelembagaan Negara, maka dipastikan yang paling repot adalah kementarian PAN dan RB.

Kala banyak terjadi keinginan untuk berubah tersebut, tentu kita bersyukur sebab memiliki seorang menteri yang memang reformis. Memang akan menjadi aneh jika menteri yang memimpin kementerian yang mengurus reformasi birokrasi, sementara menterinya sendiri menjadi tidak reformis. Pak Azwar Abubakar dalam pandangan saya adalah seorang menteri yang membawakan dirinya dalan nuansa reformis tersebut.

Pak Azwar Abubakar dilahirkan di Banda Aceh, Indonesia pada 21 Juli 1952. Dia lulus Sarjana Arsitek dari Institut Teknologi Bandung, lalu mendapatkan gelar Magister Manajemen dari universitas Syiah Kuala di Aceh. Setelah lulus sarjana tehnik, maka beliau bekerja sebagai konsultan dan pengusaha. Pasca kejatuhan Rezim Soeharto, tahun 1998, beliau bergerak di dunia politik dan menjadi salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Cabang Aceh.

Sebagai politisi, maka Pak Azwar Abubakar juga kemudian memasuki jabatan publik. Dari tahun 2000 sampai 2004, Pak Azwar Abubakar menjadi Wakil Gubernur Aceh berduet dengan Gubernur Abdullah Puteh. Karena gubernurnya tersandung masalah dan harus menjalani hukuman, maka Abubakar lalu menjadi Gubernur Sementara sampai menghasilkan masa kepemimpinan gubernur pada tahun tersebut.

Kala menjabat sebagai Gubernur Sementara, maka beliau mengalami masa yang sangat sulit. Pada masanya, Aceh terkena Tsunami sebagai akibat gempa bumi yang dahsyat pada tahun 2004. Tsunami ini meluluhlantakkan Aceh dari aspek infrastuktur, ekonomi dan juga hilangnya ribuan nyawa. Bahkan pemerintah juga kehilangan dua pertiga aparatnya.

Selain masalah tersebut, beliau juga harus menangani masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memang menjadi masalah luar biasa dalam relasinya dengan pemerintah Indonesia. Meskipun kesepakatan perdamaian telah disepakati dalam perjanjian Helsinki, beberapa saat yang lalu, akan tetapi kenyataan sosiologisnya tetap memberikan gambaran bahwa relasi pemerinth Indonesia dengan masyarakat Aceh (baca GAM) masih menyisakan masalah.   GAM memang telah menjadi bagian dari sejarah  Indonesia modern.

Saat terjadi pemilihan gubernur Aceh pada tahun 2006, Pak Azwar berduet dengan Nasir Djamil, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menjadi orang nomor satu di Aceh. Hanya saja beliau dikalahkan oleh Irwandi Yusuf, yang kemudian menjabat gubernur Nangroe Aceh Darussalam. Namun demikian, sebagai seorang politisi, Pak Azwar tidaklah berhenti untuk berjuang melalui jalur politik. Pada pemilihan umum tahun 2009, beliau terpilih menjadi anggota parlemen dari PAN untuk mewakili daerah pemilihan Aceh. Di DPR RI,  Beliau menjadi bagian dari Komisi I yang mengurusi urusan pertahanan dan luar negeri.

Nasib baik dan garis tangan tidak bisa ditolak. Akhirnya beliau terpilih untuk menjadi menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu II dan menduduki pos Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi (Menpan & RB) untuk menggantikan E.E. Mangindaan, pada tanggal 19 Oktober 2011. Berkat tangan beliau yang dingin, maka perubahan demi perubahan terus dilakukan. Dan bagi Kementerian Agama, karya besar beliau adalah dengan perubahan atau alih status lima IAIN menjadi UIN dan lima STAIN menjadi IAIN.  Dan kemudian akan ada lagi sebanyak 11 STAIN yang akan menjadi IAIN.

 

 

  1. B.   DIYAT
  2. 1.   Definisi

Term “diyat” berasal dari Bahasa Arab, yaitu wada-yadi-wadyan-wa diyatan, yang dapat diartikan dengan mengalir atau aliran air. Dalam al-Quran, penggunaan kata ini dapat dilihat dalam surat Thaha ayat 12. Namun, bila digunakan kata diyatan (bentuk mashdar dalam Bahasa Arab), maka kata ini dapat diartikan dengan membayar tebusan kepada korban atau ahli dari korban atas tindakan penganiayaan. Kata diyatan juga dari sisi bahasa dapat diartikan dengan harta yang wajib bagi jiwa. Terminologi diyat sendiri, dalam khazanah hukum Islam dapat diartikan dengan denda atau tebusan berupa harta benda yang harus dibayar akibat melakukan tindak pidana pembunuhan, melukai atau menghilangkan fungsi anggota badan, atau tindak pidana lainnya.[2]

 

  1. 2.   Diyat dalam Tinjauan Tafsir

Sebelum Islam datang, praktek semacam diyat atau tebusan sudah dikenal oleh masyarakat Arab Jahiliyah. Ketika Islam diserukan, diyat kemudian menjadi ketentuan untuk menyelesaikan perselisihan atas pembunuhan atau penganiayaan atas sesama manusia. Al-Quran menurut sebagian besar ulama mutaqaddimin telah memberikan dasar pelaksanaan hukum diyat ini sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 178 dan al-Nisa ayat 92 dan 93.

Ayat ini diturunkan oleh latar belakang sebab kejadian seorang sahabat bernama Iyasy bin Abi Rabiah al-Makhzumi yang telah membunuh seorang lelaki muslim setelah keislamannya, sedangkan Iyasy tidak mengetahui bahwa lelaki yang dibunuhnya telah berstatus sebagai muslim. Tidak disebutkan siapa nama lelaki muslim yang dibunuh Iyasy bin Abi Rabiah tersebut, namun di Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa lelaki muslim yang dibunuh Iyasy bin Abi Rabiah itu adalah saudara dari Abu Jahal bin Hisyam. Diriwayatkan pula bahwa lelaki muslim yang dibunuh Iyasy bin Abi Rabiah itu telah memeluk Islam dan juga ikut berhijrah pada rombongan pertama sebelum hijrahnya Rasulullah saw ke Yatsrib. Atas kejadian ini Abu Jahal bin Hisyam dan Harits bin Hisyam berangkat ke Yatsrib dan menemui Rasulullah saw untuk menuntut tindakan Iyasy ini. Atas perkara ini, turunlah ayat ke-92 dari surat al-Nisa tersebut. Imam al-Thabari sendiri dalam tafsirnya banyak mengutip atsar yang mengilustrasikan kejadian ini yang menyatakan bagaimana sikap Rasulullah dalam memutuskan perkara ini berdasarkan ayat ke-92 dari surat al-Nisa tersebut.[3]

Imam al-Tahabri juga menuliskan pendapat ulamat tentang ketentuan diyat ketika pembunuhan tersebut terjadi oleh muslim pada muslim lain, sedangkan muslim yang terbunuh berada pada pihak musuh. Muslim yang ada di pihak musuh ini dalam konteks ayat tersebut adalah ketika ada seseorang yang sudah menyatakan keislamannya, baik secara terang-terangan atau secara samar, tapi muslim itu tidak ikut berhijrah ke Yatsrib bersama muslim lainnya. Muslim yang tidak berhijrah ini juga secara terpaksa diposisikan untuk berperang melawan kaum muslim ketika terjadi peperangan di awal penyebaran Islam di Yatsrib. Diterangkan dalam tafsir al-Thabari bahwa para ulama berpendapat pembayaran diyat tidak dilakukan dalam kasus seperti ini, namun diganti dengan memerdekakan seorang budak mukmin.[4]

Pada tafsir yang sama, diterangkan pula ketentuan diyat ketika pembunuhan itu dilakukan pada orang yang termasuk dalam bagian kaum muslim yang menempati daerah hunian kaum muslim tersebut. Walaupun orang yang terbunuh itu bukan muslim (kafir), maka si pembunuh diharuskan membayarkan diyat kepada keluarga atau ahli waris orang yang terbunuh dan juga memerdekakan budak mukmin. Tentang hal inipun Imam al-Thabari mengutip beberapa perbedaan pendapat dari ulama fiqih dalam memberikan penyelesaian pembunuhan orang baik mukmin maupun kafir dalam satu komunitas masyarakat. Bahkan ayat ini menerangkan bila tidak ditemukan budak mukmin, maka si pembunuh diharuskan melakukan puasa selama dua bulan penuh untuk mengganti pembebasan budak mukmin tersebut.[5]

Selain itu, pada ayat ke-178 surat al-Baqarah juga dijelaskan bagaimana diyat sebenarnya merupakan bagian dari hukum qishas dalam ketentuan fiqh jinayat. Pada ayat ini dijelaskan diyat harus ditunaikan oleh pembunuh jika keluarga yang terbunuh memaafkan si pembunuh. Namun hal itu pun bila pembunuhan dilakukan tidak dengan kesengajaan dan tidak dengan motif dan sebuah mekanisme kedholiman. Bila pembunuhan dilakukan dengan tujuan, rekayasa, dan mekanisme yang dholim, maka menurut sebagian besar ulama fiqh yang dikutip oleh Imam al-Thabari, hukuman qishas harus tetap dilakukan, walaupun juga ada ulama yang berpendapat bahwa hukuman qishas dapat tidak dilaksanakan dan diganti diyat tuntutan dan tindakan yang baik (ihsan).[6]

Adapun dasar normatif dari hadits dapat dilihat dalam beberapa kitab hadits yang sudah diakui orisinalitasnya. Salah satu kitab hadits yang menerangkan diyat sebagaimana yang ditulis oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani yang berjudul Bulughul Maram.[7] Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari juga menuliskan berbagai hadits yang menceritakan beberapa ketentuan hadits tentang pelaksanaan hukum diyat ini yang disandarkan pada firman Allah pada ayat ke-93 dari surat al-Nisa, kelanjutan dari ayat ke-92. Bahkan Imam Bukhari juga membagi penulisan riwayat hadits shahih tersebut dalam beberapa sub-bab yang khusus membahas tentang diyat.[8]

Imam Ibnu Hajar al-Asqolani yang mengomentari (mensyarahi) kitab hadits shahih dari Imam Bukhari juga menjelaskan dengan lebih terperinci dan luas tentang ketentuan diyat ini. Beliau juga menyatakan bahwa diyat merupakan bagian dari qishas, karena Allah swt sendiri telah menyebutkan term diyat dalam bagian ayat yang menerangkan tentang qishas. Imam Ibnu Hajar al-Asqolani bahkan menyebutkan dalam Syarah Shahih Bukhari yang berjudul Fathul Bari bahwa term diyat sebenarnya berasal dari kata “wadyat”. Kata ini digunakan sebagai tebusan atas kesalahan seorang pembunuh yang menghilangkan nyawa orang lain dengan sebab tertentu. Tebusan ini sendiri harus ditunaikan pada keluarga orang yang terbunuh. Bahkan Imam Ibnu Hajar al-Asqolani juga menguraikan persoalan terminologi diyat ini sebelumnya juga dikenal dengan istilah “di al-qotl” dengan uraian hukum gramatika Bahasa Arab. Imam Ibnu Hajar al-Asqolani juga menyebutkan bahwa Imam Bukhari sendiri sebenarnya menuliskan pembahasan tentang diyat ini pada satu kesatuan dalam pembahasan hukum qishas yang diuraikan pada sebuah kitab berjudul Kitab al-Qishas. Sebagaimana Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani melalui hadits shahih nomor 6861 juga mengaitkan peristiwa yang mendasari turunnya ayat ke-93 surat al-Nisa dengan ayat ke-68 dari surat al-Furqon yang ayat ini (al-Furqon: 68) berisi dengan peringatan, larangan dan ancaman pada siapapun yang melakukan pembunuhan atas jiwa lain tanpa adanya alasan kebenaran atas tindakan tersebut. Bahkan secara tegas Imam Bukhari melalui hadits nomor 6862 menuliskan sabda Rasulullah saw yang memberikan penilaian bahwa kebaikan keberagamaan seseorang itu akan tetap melekat sepanjang orang mukmin tersebut tidak menumpahkan darah dengan cara yang diharamkan.[9]

 

  1. 3.   Diyat dalam Tinjauan Hukum Islam

a)   Beberapa Macam Diyat

Ada lima jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori hukum diyat, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan yang menyamai kesengajaan, pembunuhan tidak sengaja, pencideraan sengaja, dan pencideraan tidak sengaja.

Melalui hadits yang agak panjang dengan riwayat dari berbagai ulama perawi hadits seperti Imam Abu Dawud, Imam Nasai, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarudi, Ibnu Hiban, dan Imam Ahmad, secara umum ketika orang menghilangkan nyawa seorang muslim yang merdeka, maka beban diyatnya adalah membayar 100 ekor unta. Ketentuan ini berlaku jika pembunuh tersebut memiliki unta.[10] Namun, dalam kumpulan hadits sahih yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, ketentuan ini juga diberlakukan oleh Rasulullah saw dengan beberapa catatan masing-masing.[11]

Beberapa imam madzhab juga memiliki pendapat berbeda tentang macam-macam diyat. Madzhab Maliki misalnya, diyat itu dibagi dalam 3 kategori, yaitu 1] diyat pembunuhan tersalah; 2] diyat pembunuhan sengaja apabila diterima, dan diyat pembunuhan mirip sengaja. Berbeda dengan pendapat tersebut, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa diyat itu ada 2 macam, yaitu 1] diyat pembunuhan tersalah; dan 2] diyat pembunuhan mirip sengaja. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja itu tidak ada, sedangkan denda yang harus dibayar pada pembunuhan sengaja itu adalah apa yang dihasilkan oleh perundingan (kesepakatan) di antara kedua belah pihak dan harus dibayar tunai.

Berbeda dengan keduanya, Imam Syafii menyatakan bahwa diyat itu terbagi dua, yaitu 1] diyat ringan (mukhoffafah) yang dikenakan pada pembunuhan tersalah; dan 2] diyat berat (mugholladloh) yang dikenakan pada pembunuhan sengaja dan mirip sengaja atau semi sengaja. Pembunuhan tanpa sengaja adalah pembunuhan yang terjadi karena kesalahan seseorang dalam melakukan tindakan dan perencanaan, sehingga akibat hal itu hilanglah nyawa seseorang. Dalam kategori ini Imam Syafii menyandarkan penyelesaian diyat pada QS. Al-Nisa: 92. Untuk diyat pembunuhan semi sengaja (pembunuhan yang terjadi akibat kesengajaan melakukan suatu tindakan, tapi salah sasaran), Imam Syafii memberlakukan ketentuan diyat sebagai hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Nasai, dan Ibnu Majah dari cerita Abdullah bin Umar. Adapun diyat bagi pembunuhan dengan kesengajaan (pembunuhan yang terjadi akibat kesengajaan tindakan dan rencana seseorang dalam menghilangkan nyawa orang lain), Imam Syafii memberlakukan dasar yang sama dari QS. Al-Nisa: 92-93.[12]

b)   Bobot Diyat

Tentang bobot diyat, beberapa ulama madzhab berbeda pendapat. Imam Syafii menegaskan bahwa pada dasarnya besaran diyat itu adalah sebanyak 100 ekor unta. Hal ini disandarkan pada hadits nomor 9 yang diriwayatkan Daru Qutni dalam kitab Bulughul Maram, bahwa Rasulullah saw bersabda: Diyat orang yang membunuh seperti disengaja itu berat, seperti diyat orang yang membunuh dengan sengaja, namun pembunuhnya tidak dibunuh. Yang demikian itu karena godaan syetan sehingga terjadi pertumpahan darah antara orang-orang tanpa rasa dengki dan tanpa membawa senjata.[13]

Sedangkan Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama fiqh lain menyatakan bahwa benda yang dapat digunakan membayar diyat itu harus berupa unta, emas atau perak. Pendapat yang lebih kontemporer seperti yang diungkapkan oleh Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan dan para fuqaha Madinah menyatakan bahwa pemilik kambing dikenai diyat sebanyak 2000 ekor, pemilik sapi 200 ekor, dan pemilik pakaian 200 potong pakaian dalam keharusan membayar diyat atas kesalahan mereka.

Tentang diyat pembunuhan yang tidak sengaja atau karena kekeliruan (al-qital bi al-khata’), besaran diyat disandarkan pada sebuah hadits nomor 2 dalam kitab Bulughul Maram bab Diyat yang diceritakan oleh Ibnu Masud bahwa Rasulullah saw bersabda: Denda bagi yang membunuh karena kekeliruannya seperlima-seperlima dari 20 ekor hiqqah (unta yang memasuki tahun keempat), 20 ekor jadz’ah (unta yang memasuki tahun kelima), 20 ekor bintu labun (unta betina yang memasuki tahun ketiga), dan 20 ekor ibnu labun (unta jantan yang memasuki tahun ketiga). Riwayat Daruquthni. Imam Empat juga meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz: 20 Ibnu Makhodl menggantikan lafadz labun. Sanad hadits pertama lebih kuat. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari jalan lain secara mauquf. Ia lebih shahih daripada marfu’.[14]

Atas riwayat inilah maka diyat yang harus di tanggung oleh pelaku jani terhadap ahli waris dari korban pembunuhan yang khata’ ialah,100 ekor unta yang di tentukan dalam 5 kelompok jenisnya yaitu: 20 unta hiqqah, 20 unta jadza’ah, 20 unta makhadh, 20 unta bintu labun, dan 20 unta ibnu labun.

c)    Pembuktian Diyat

Proses pembuktian pembunuhan, pencideraan, atau apapun yang dapat menyebabkan diyat dijalankan, harus melalui mekanisme pembuktian. Imam Syafii dan Imam Malik menyatakan bahwa pembuktian hukum diyat itu harus berada dalam 4 (empat) hal, yaitu: 1] adanya saksi; 2] adanya alat yang dipakai; 3] ada cara melakukan tindakan; dan 4] ada situasi dan kondisi. Adapun tentang alat bukti yang dapat digunakan sehingga seseorang dikenai hukuman diyat adalah adanya pengakuan, adanya persaksian, adanya qarinah (perbedaan antara sesuatu yang masih samar dan sesuatu yang sudah jelas) dalam pembuktian, adanya sumpah dalam persaksian.

 

  1. C.   BUGHOT
  2. 1.   Definisi Bughot

Bughot ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kata kerja bagho atau al-baghyu. Dalam tata Bahasa Arab, kata ini dapat diartikan dengan: 1] melampaui batas atau melakukan perbuatan aniaya; 2] memerintah, menguasai, atau memimpin dengan cara sewenang-wenang; 3] mencari atau menuntut sesuatu; 4] berusaha keluar dari sesuatu yang pada awalnya telah disepakati; 5] terjadi pembengkakan atau pembusukan; 6] berbuat cabul; atau 7] melampaui batas.

 

  1. 2.   Bughot dalam Tinjauan Tafsir

Kata bughot atau yang seakar dengan kata tersebut dalam al-Quran disebutkan sebanyak 15 kali. Beberapa di antaranya adalah QS. al-Hujurat ayat 9, al-Syura ayat 27 dan 39, al-Qashas ayat 86, al-Haj ayat 60, al-A’raf ayat 33, al-Nahl ayat 90, al-Baqarah ayat 90, Ali Imran ayat 19, Yunus ayat 23, dan al-An’am ayat 146.[15]

Kalimat “fa in baghot ihdahuma ala al-ukhro” dalam ayat ke-9 dalam surat al-Hujurat oleh Imam al-Thabari ditafsiri dengan ketika abai salah satu kaum untuk menjawab panggilan ketaatan pada hukum Kitabullah bagi diri mereka dan sebagian kelompok lain. Maka dapat dipahami bahwa term “bagho” pada firman ini adalah sikap abai atau penolakan atas ajakan pada seruan kebenaran yang disampaikan oleh Islam.[16] Selanjutnya Imam Thabari mengutip sebuah hadits nomor 31705 tentang penyelesaian yang dilakukan oleh Rasulullah saw atas sebuah masalah yang berkaitan dengan ayat ini. Pada hadits tersebut diterangkan bahwa term “tabghiy” yang dimaksud adalah “la tardlo bi sholahi Rasulullah saw, aw bi qodlo-i Rasulullah saw” (tidak menerima kebaikan dari Rasulullas saw, atau tidak menerima atas keputusan Rasulullah saw).[17]

Kalimat lain yang dinisbahkan dengan kata bughot adalah sebagaimana yang termaktub dalam ayat ke-27 dari surat al-Syura. Pada ayat tersebut digunakan kata “labaghou”. Imam Thabari dalam tafsirnya mengartikan kata “labaghouw” ini dengan memalingkan dari ketaatan mereka kepada Allah. Kekayaan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, dapat membuat manusia lupa dan berpaling dari ketaatan kepada Allah. Imam Thabari menggambarkan bahwa ayat ini diturunkan kepada segolongan kelompok muslimin yang miskin (ahlu al-faqoh) dan memiliki pengandaian jika seandainya mereka diberi keluasan harta dan kekayaan, maka mereka berpikir tentu akan menjadi lebih taat kepada Allah. Lalu Allah menegur golongan ini dengan menurunkan ayat ke-27 dari surat al-Syura ini. Bahkan melalui atsar nomor 30697 yang dikutipnya, Imam Thabari menjelaskan bahwa ayat ini sebenarnya diturunkan pada para sahabat ahlu suffah atas pengandaian diri mereka akan kekayaan dunia, sehingga Allah menegur dengan menurunkan ayat ini.[18]

Masih dalam surat yang sama (surat al-Syura) ayat 39 dan 40. Allah juga menggunakan istilah “al-baghyu”. Imam Thabari mengutip pendapat sebagian ulama yang mengartikan term “al-baghyu” ini dengan pengingkaran dari golongan musyrik atas golongan muslim. Istilah yang mungkin lebih tepat untuk mengartikan kata “al-baghyu” dalam ayat ke-39 dari surat al-Syura ini adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh sekelompok kaum musyrik pada kaum muslimin atas sebuah kesepakatan yang telah dibuat secara bersama-sama. Kesepakatan dalam hal ini adalah lebih pada dimensi kemashlahatan sosial yang bersifat universal, sebagaimana yang dijelaskan tafsir Imam Tabari atas ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 37 dan 38 dari surat al-Syura.[19]

Dari dua ayat tersebut (QS. Al-Hujurat ayat 9 dan al-Syura ayat 27 serta 39), dapat dibedakan bahwa terminologi “bughot” atau “baghauw” dapat terjadi pada dua kondisi yang berbeda. Pertama, term “bughot” dapat dipakai untuk menandai sebuah sikap yang bertentangan dengan kaidah atau ketentuan syariah yang telah digariskan Allah dan Rasulullah dalam hal apapun. Maka dalam kategori ini terjadi penolakan atau pengingkaran atas ketentuan hukum Allah dan hukum Rasulullah tersebut. Sasaran pengingkaran atas hal ini adalah hukum atau kesepakatan yang telah dibuat oleh komunitas muslim atas kemashlahatan. Pada kategori ini ada perselisihan dan pengingkaran satu kelompok atas kelompok lain, serta pengingkaran atas keputusan sebagaimana hukum Allah diterapkan dalam menyelesaikan perselisihan tersebut. Pengingkaran atau pengkhianatan atas keputusan kolektif ini juga berlaku pada kesepakatan antara kaum musyrik dan muslim yang berkaitan dengan dimensi sosial yang bersifat sosial. Kategori pertama ini dapat dilihat dalam QS. Al-Hujurat ayat 9 dan QS. Al-Syura ayat 39. Kedua, term “labaghouw” mengindikasikan adanya pemalingan sikap personal, akhlak, atau kesadaran ruhaniyah atas ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Pada kategori kedua ini tidak terjadi pertentangan atas satu kelompok kepada kelompok lainnya, namun yang terjadi adalah kealpaan pengabdian kepada Allah oleh sebab kekayaan harta yang dimiliki. Istilah “labaghouw” digunakan untuk mendefinisikan kondisi hati yang berpaling dari keagungan Allah oleh sebab godaan duniawi. Kategori kedua ini dapat dilihat dari QS. Al-Syura ayat 27.

 

  1. 3.   Bughot dalam Tinjauan Hukum Islam

Pembahasan tentang bughot biasa diketengahkan dalam fikih politik (fiqh al-siyasiyah) dengan perbedaan pendapat oleh para imam madzhab dalam hal ini. Mazhab Maliki berpendapat bahwa istilah bughot dirujukkan pada segolongan orang yang bersikap tidak mau patuh kepada pemerintah yang sah menurut undang-undang yang ditaati. Pemerintah (umara) yang dimaksud dalam hal ini adalah siapa saja yang memang oleh aturan yuridis formal memiliki legalitas sebagai pemimpin. Madzhab Maliki tidak tidak menegaskan apakah istilah bughot dapat diterapkan ketika pemerintah yang dimaksud adalah pemerintahan yang memegang prinsip kebenaran ataukah tidak memegang prinsip kebenaran universal. Baik pemerintah itu memerintah (atau tidak memerintah) pada kebaikan, melarang (atau tidak melarang) pada kebaikan, jika ada gerakan yang ingin melawan wewenang pemerintah yang seperti ini, maka perlawanan itu disebut dengan bughot.

Berbeda dengan pendapat ulama dalam madzhab Maliki, ulama madzhab Hanafi menyebutkan bahwa istilah bughot digunakan untuk memberikan identitas hukum pada sekelompok muslim yang melakukan pertentangan dengan penguasa sah atas sesuatu hal. Tema pertentangan tersebut dapat berupa tidak adanya kesepakatan atau dinilai ada pelanggaran kesepakatan yang terjadi antara kelompok yang melawan ini dengan pemerintah. Ulama madzhab ini juga memberikan indikator utama pada jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bughot, yaitu perlawanan tersebut dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata. Jadi, bila pemberontakan itu dilakukan atas adanya pengingkaran kesepakatan dengan dilakukan dengan kekuatan senjata, maka pemberontakan itu disebut bughot. Namun bila pemberontakan itu dilakukan tidak dengan menggunakan kekuatan senjata secara vis a vis dan tidak didasari oleh adanya pelanggaran kesepakatan, maka pemberontakan itu tidak dapat dikategorikan sebagai bughot.

Terkait dengan hal ini, lain pula pendapat para ulama dalam madzhab Syafi’i. Selain pelanggaran kesepakatan antara pemerintah dan kelompok yang diperintah, perlawanan dengan menggunakan senjata, ulama Syafiiyah mensyaratkan adanya keadilan pemerintah sebab pemberontakan. Menurut pandangan ulama Syafiiyah, bila pemerintah yang sah menjalankan pemerintahan dengan adil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan ada gerakan perlawanan pada pemerintah yang adil itu, maka gerakan perlawanan itu dapat disebut dengan bughot. Bila pemerintahan yang sah tidak dapat menjalankan pemerintahannya secara adil, maka perlawanan yang dilakukan kepada pemerintah itu tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan bughot. Maka keadilan pemerintah menjadi ukuran dari penjatuhan status antara bughot atau tidak sebuah perlawanan tersebut.

Pada sisi lain para ulama dalam madzhab Hambali mengemukakan pendapat bahwa kelompok masyarakat yang membangkang dan melakukan perlawanan kepada pemerintahan yang sah walaupun dholim masih termasuk dalam kategori bughot. Para ulama madzhab Hambali ini menegaskan bahwa mengangkat senjata dan melawan pemerintah yang sah adalah haram, walaupun pemerintah itu jelas tidak adil dalam pemerintahannya. Ulama madzhab Hambali sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah sesuatu yang mutlak karena merupakan perintah Allah yang jelas dan seiring-sejalan dengan perintah ketaatan pada Allah dan Rasulullah. Ulama madzhab Hambali merujukkan sikap mereka tentang bughot pada firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Nisa ayat 59. “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (dalam hal ini Muhammad saw), dan ulil amri (pemerintah yang bertugas memegang dan menjalankan roda kekuasaan) di antara kamu sekalian. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 

 

  1. D.  QITAL
  2. 1.   Definisi dan Dasar Hukum Qital

Term “al-qital” dapat diartikan dengan makna pembunuhan ata peperangan. Namun dalam al-Quran, juga dikenal term “al-qital” dan “al-harb” yang memiliki makna idiomatik, yaitu perang. Dalam al-Quran sendiri, kata “qital” disebut sebanyak 13 kali dan dalam semua bentuk turunannya disebut sebanyak 144 kali. Sedangkan kata “harb” digunakan sebanyak 4 kali dalam bentuk mashdar, sedangkan dalam bentuk kata lain digunakan sebanyak 2 kali.[20]

Selain term “qital” dan “harb”, dalam khazanah kajian Islamic studies juga dikenal istilah “ghazwah” dan “sariyah”. “Ghazwah” adalah peperangan yang diikuti oleh Rasulullah saw, sedangkan “sariyah” adalah peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah saw antara kaum muslimin dan musyrikin namun tidak diikuti oleh Rasulullah saw. Baik kata “ghazwah” dan “sariyah” tidak terdapat penggunaannya dalam al-Quran kecuali dalam bentuk turunan kata “ghuzzan” yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 156.[21]

 

  1. 2.   Qital dalam Tinjauan Tafsir

Ada beberapa ayat yang biasa digunakan rujukan dalam membahas qital. Tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 190 yang jelas berisi perintah untuk memerangi orang-orang yang memerangi umat Islam yang diiringi dengan larangan berbuat melampaui batas. Perintah berperang ini dikategorikan sebagai perjuangan fi sabilillah.

Perintah perang terhadap orang kafir dalam surat al-Baqarah ayat 190 itu tidak serta merta ditujukan pada tiap orang kafir yang ada, namun dikhususkan pada orang kafir yang memerangi umat Islam. Ayat ini didasari dengan peristiwa pada tahun ke-6 hijriyah pada saat Rasulullah saw beserta para sahabatnya akan melakukan haji ke kota Makkah yang dalam perjalanan dihadang oleh kafir Quraisy di daerah bernama Hudaybiyah. Hadangan itu tidak hanya bersifat merintangi peribadatan haji yang akan dilaksanakan Rasulullah saw beserta para sahabatnya, namun juga berisi ancaman terhadap keselamatan uat muslim waktu itu, padahal Rasulullah saw dan para sahabat pada saat itu memang ingin melaksanakan haji dan tidak membawa alat-alat perang. Lalu terjadilah perundingan antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Hudaybiyah.[22] Sikap menerima perundingan yang dilakukan oleh Rasulullah saw itu juga dikuatkan dengan firman Allah lain yang termaktub dalam surat al-Anfal ayat 61. Asbabun nuzul surat al-Anfal ayat 61 ini dijelaskan oleh sebuah hadits shahih yang tertulis dalam Shahih Muslim sebagai berikut: “perangilah di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir terhadap Allah, perangilah kalian dan janganlah membelenggu dan janganlah berkhianat dan janganlah memberi hukuman berat dan janganlah membunuh anak-anak dan para pendeta”.[23]

Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa surat al-Baqarah ayat 190 tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya oleh surat al-Taubah ayat 36. Bila pendapat ini benar, dan substansi surat al-Baqarah ayat 190 dinasakh dengan surat al-Taubah ayat 36, maka konsekwensi hukumnya adalah seorang muslim boleh dan bahkan wajib hukumnya untuk memerangi tiap orang kafir di manapun dan kapanpun. Pendapat tentang adanya nasakh ayat ke-36 dari surat al-Taubah atas ayat ke-190 surat al-Baqarah ini juga dibantah oleh Ibnu Arabi.[24]

Firman Allah lain yang kerap dijadikan dasar dalam pembahasan hukum qital ini adalah surat al-Taubah ayat 123. Perlu pemahaman lebih tajam dalam memahami ayat ini, sebab bila hanya dipahami secara tekstual, maka yang muncul adalah adanya kewajiban (karena ayat ini menggunakan perintah dalam fiil amr, “qotiluu”) untuk memerangi orang kafir dalam berbagai kondisi dan situasi.

Jika dilihat dari sisi asbabun nuzul, ayat ini sebenarnya menerangkan bagaimana tata cara (kaifiyah) dalam melakukan peperangan. Seperti pada awal penyebarannya, umat Islam diperintahkan untuk melakukan perlawanan pada orang kafir terdekat yang melakukan gangguan kepada muslim. Lalu berlanjut pada orang kafir yang lebih jauh, dan kemudian begitulah seterusnya. Dalam istilah lain disebut dengan “al-aqrab tsumma al-aqrab”.[25]

Firman Allah lain yang dapat dipelajari dalam mengkaji qital ini adalah surat al-Baqarah ayat 193. “Dan perangilah mereka (orang kafir) sehingga tidak ada fitnah dan agama hanya bagi Allah semata, jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dhalim”.

Sebab turunnya ayat ini adalah umat muslim diperintahkan untuk memerangi orang kafir sampai tidak ada fitnah yang ditimbulkan oleh orang kafir dan menimpa umat Islam. Bentuk fitnah yang dimaksudkan adalah perlakuan diskriminatif dan penindasan dari orang kafir Makkah kepada umat muslim. Akibat penindasan ini, sampailah kejadian di mana umat Islam berhijrah ke negeri Habasyah. Kejamnya penyiksaan dan intimidasi ini sampai para sahabat Rasulullah saw yang awalnya berjumlah 16 orang, termasuk Utsman bin Affan dan istinya Ruqayya (putri Rasulullah saw), lalu bertambah berjumlah 83 pria dan 13 wanita berhijrah ke Abesinia yang dipimpin oleh raja Najasi yang beragama Nasrani. Raja ini menerima dan melindungi umat Islam yang berhijrah itu, bahkan ia menolak permintaan utusan kafir Quraisy untuk memulangkan umat Islam yang berhijrah waktu itu, walaupun utusan kafir Quraisy menawarkan hadiah yang sangat besar untuk raja Najasi tersebut.[26] Maka ayat tersebut lebih mengedepankan bagaimana qital dimaknakan untuk membuat mekanisme perlindungan diri dari gangguan orang kafir yang menghalangi atau mengganggu keselamatan umat Islam.

Ayat lain tentang qital ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 191, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). Dan fitnah itu lebih besar dari bahayannya pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir”.

Ada pemahaman yang memaknai penggalan ayat “waqtuluhum haitsu tsaqiftumuhum” dengan “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka”, yang melahirkan pemahaman bahwa boleh melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada tiap orang kafir pada tempat, waktu, kondisi dan situasi apapun. Pemahaman semacam inilah yang kerap kali melahirkan tindakan radikalisme dan vandalisme atas nama agama (dalam hal ini Islam).

Namun, ada juga yang yang menafsirkan bahwa pembunuhan pada orang kafir ini hanya boleh dilakukan pada kondisi peperangan saja. Pada saat peperangan seperti inilah maka membunuh orang kafir boleh dilakukan di manapun dan kapanpun. Maka ayat ini memberikan ketentuan bahwa pembunuhan kepada orang kafir hanya boleh dilakukan pada saat kondisi perang saja.[27]

Pada surat al-Fath ayat 16 juga diterangkan tentang ketentuan perang bagi umat Islam. “Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam) maka jika kamu patuhi ajakan itu niscaya Allah akan memberikan kamu pahala yang baik, dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih”.

Sayyid Qutub menerangkan bahwa surat Fath ini diturunkan di Madinah menjelang Fathu Makkah pada tanggal 10 Ramadlan 8 H, beberapa waktu setelah perjanjian Hidaybiyah. Sayyid Qutub juga memberikan pemaknaan bahwa maqtha ayat “tuqotilunahum aw yuslimun” bukan memerangi orang kafir sampai mereka menjadi Islam, namun lebih menjadi anjuran atau memberi semanagat agar umat Islam tidak mudah menyerah dalam pertempuran yang akan datang. Selain itu, maqtha ayat “satud’auna ila uli baksin syadidin” bukan ditujukan untuk kaum kafir Makkah, namun sebuah ajakan untuk bersama-sama memerangi kekuatan kerajaan Persia dan Romawi yang pada waktu itu juga berpotensi mengancam keamanan Makkah. Peristiwa turunnya ayat ini bertepatan pada sebelum terjadinya perang Hunain yang terjadi pada 6 Syawwal tahun 8 Hijriyah.[28] Maka ayat “tuqotilunahum aw yuslimun” bukan perintah memerangi orang kafir, namun lebih tepat ditafsirkan sebagai ajakan atau motivasi agar lebih bersemangat dalam menghadapi perang-perang selanjutnya.[29]

 

  1. 3.   Qital dalam Tinjauan Hukum Islam

Pembahasan tentang hukum qital ini terdapat beberapa kategori.

Pertama, tentang kewajiban berjihad dengan berperang (qital). Ada beberapa klasifikasi, yaitu:

a)   Perintah meningkatkan kesabaran dalam menjalankan dan mendakwahkan Islam dengan cara yang baik sebelum ada ketentuan untuk memerangi orang kafir. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah ayat 109; al-Nisa ayat 77; al-An’am ayat 106; al-Hijr ayat 85; al-Jatsiyah ayat 14; al-Qaf ayat 39; al-Muzammil ayat 10; dan al-Insan ayat 24.

b)   Turunnya perintah perang setelah diizinkan Allah bagi orang mukmin yang teraniaya. Dasar perintah qital ini dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah ayat 190; al-Nisa ayat 77; al-Hajj ayat 39.

c)    Diwajibkan berperang (qital) bagi kaum mukminin karena diperangi kaum musyrikin. Dasarnya adalah QS. Al-Baqarah ayat 190, 216, 244; al-Maidah ayat 54; al-Anfal ayat 6, 8, 39, 57; al-Taubah ayat 5, 12, 14, 29, 36, 73, 123; Muhammad ayat 4, 22.

d)   Hikmah atau tujuan diwajibkannya berperang yaitu menghilangkan fitnah, menegakkan ketaatan kepada Allah, menolak penindasan antar umat manusia, dan menjaga kelestarian alam. Hikmah ini dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah ayat 193, 251; al-Anfal ayat 39; al-Taubah ayat 13-16; Muhammad ayat 4.

e)   Larangan meninggalkan peperangan. Dasar dari hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Anfal ayat 15-16; al-Taubah ayat 24, 81.

Kedua, tentang ketentuan tidak ikut serta berperang. Hal ini dapat dilihat dengan klasifikasi sebagai berikut:

a)   Larangan mukmin tidak ikut berperang tanpa halangan. Dasarnya dapat dilihat pada QS. Al-Nisa ayat 72; al-Taubah ayat 38, 39, 120.

b)   Halangan tidak ikut berperang. 1] Diperbolehkan atas adanya udzur syari dapat dilihat dalam QS. Al-Taubah ayat 91, 92; al-Fath ayat 17. 2] Diperbolehkan tidak ikut berperang karena sakit atau lemah dapat dilihat dalam QS. Al-Nisa ayat 95; al-Taubah ayat 91. 3] Toleransi bagi orang yang tidak ikut berperang karena tidak memiliki nafkah dapat dilihat dalam QS. Al-Taubah ayat 91, 92.

Ketiga, sifat-sifat mujahid dalam berperang.

a)   Perlunya mendasari perjuangan dengan keikhlasan. Diterangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 190; Muhammad ayat 4.

b)   Perintah untuk taat kepada pemimpin sebagaimana taat kepada Allah dan Rasulullah saw. Diterangkan dalam QS. Al-Nisa ayat 59; al-Nur ayat 48.

c)    Kewajiban bersabar saat bertemu musuh dalam peperangan. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah ayat 249, 250; al-Anfal ayat 45; al-Ahzab ayat 22.

d)   Perintah untuk berani berperang, berteguh hati, bersatu dalam peperangan dan larangan agar tidak pengecut, tidak berlaku sombong dan riya. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Nisa ayat 77, 104; al-Anfal ayat 15, 45; dan al-Taubah ayat 38

 

E. Rekonstruksi  Konsep Qital, Bughat dan Diyat

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa agama sudah memberikan pemahaman yang sangat mendalam mengenai Qital, Bughat dan Diyat. Baik dari penjelasan tafsir maupun fiqh pengertian ketiganya sudahlah sangat jelas, meskipun antara satu penafsir dengan lainnya maupun satu ahli fiqih dengan lainnya bisa berbeda di dalam memahami dan menjelaskan tentang makna ketiganya.

Tentang pengertian Qital, kiranya para ulama memahami sebagai sebuah amar atau perintah untuk berperang. Akan tetapi sebab dan prosesnya para ulama bisa berbeda pendapat. Misalnya ada yang menyatakan sebagai kewajiban, ada yang memaknai sebagai bertahan dari serangan musuh dan lainnya. Di dalam hal ini, qital lebih dimaknai sebagai perang secara fisik. Menyerang secara fisik atau bertahan secara fisik. Jadi pengertian qital lebih bercorak fisikal ketimbang bermakna nonfisikal.

Di sisi lain, pengertian Bughat  oleh para penafsir dan ahli fiqih juga dimaknai bervariasi. Namun secara umum dapat dinyatakan bahwa pengertian bughat adalah melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Kebanyakan penafsir dan ahli fiqih memahami bughat sebagai perlawanan. Selalu ada dua kubu yang bertikai atau melakukan perlawanan, masyarakat di satu sisi dengan pemerintah di sisi yang lain. Dalam pemahaman fiqih, maka secara realistis bahwa ada pemerintah Indonesia dan ada masyarakat Aceh. Makanya, lalu terdapat pengertian bahwa masyarakat Aceh melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia atau sebaliknya. Di sini lalu terjadi dua kekuatan yang harus berhadapan secara fisikal, satu melawan dan satu mempertahankannya. Pemerintah Indonesia berdalih mempertahankan wilayah kekuasaannya dengan kekuatan fisikal dan masyarakat Aceh melakukan perlawanan terhadapnya.

Di dalam konteks relasi hubungan Negara bangsa, maka yang bisa dipahami sesungguhnya bukanlah bughat dalam pemaknaan melawan terhadap kekuasaan pemerintah, akan tetapi sesungguhnya adalah melawan terhadap ketidakadilan dan ketidakpastian hidup. Jadi, yang sesungguhnya dilakukan oleh masyarakat adalah melawan terhadap kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat. Kebijakan yang lebih menguntungkan pusat daripada daerah. Kekayaan yang luar biasa tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat akan tetapi digunakan untuk menyejahterakan kaum elit yang memerintah dan menguasai.

Dengan pemahaman seperti ini, maka bughat juga bukan hanya dimaknai sebagai perlawanan secara fisikal, akan tetapi lebih bernuansa nonfisikal. Jadi, perlawanan dilakukan terhadap kebijakan yang lebih bersearah ke atas dari pada ke bawah. Perlawanan rakyat Aceh, seharusnya dijawab dengan kebijakan yang memihak pada keadilan terhadap rakyat Aceh dan bukan melakukan perlawanan dengan kekuatan senjata.

Di dalam kerangka inilah, maka Azwar Abubakar melakukan rekonstruksi terhadap pengertian bughat yang tidak semata-mata fisikal akan tetapi nonfisikal. Yaitu menjawab terhadap perlawanan rakyat melalui perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan yang memihak kepada masyarakat pada umumnya. Masyarakat harus memperoleh haknya untuk menikmati pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Di antara rekonstruksi yang digagas dan dilakukan oleh Azwar Abubakar adalah dengan memahami qital sebagai perlawanan secara nonfisikal, yaitu perintah untuk melawan keterbelakangan dalam pendidikan. Bagi Azwar Abubakar, bahwa peperangan yang lebih mendasar di era modern sekarang ini bukanlah berperang melawan musuh secara fisik, akan tetapi melawan terhadap keterbelakangan masyarakat di era modern, yaitu ketertinggalan di bidang pendidikan.

Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat dengan keislaman yang tidak diragukan. Secara historis disebut sebagai Serambi Makkah. Sebagai pusat pengembangan Islam Nusantara semenjak awal, tentunya masyarakat Aceh memiliki religiositas yang tidak diragukan. Akan tetapi masyarakat Aceh mengalami kemunduran dalam menghadapi modernisasi yang disebabkan oleh terjadinya konflik fisik yang terjadi secara terus menerus. Akibatnya, banyak aspek kehidupan mereka yang menjadi hancur dan tertinggal.

Di antara aspek mendasar yang tidak berkembang tersebut adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM). Di dalam pengembangan SDM, Aceh selalu berada di urutan bawah. Bukan mereka tidak mau berkembang, akan tetapi suasana pergolakan di Aceh menyebabkan bahwa mereka tidak bisa belajar lebih baik dan juga tidak bisa berkembang lebih cepat. Pergolakan dan konflik tersebut menyebabkan macetnya keseluruhan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Aceh.

Bahkan yang lebih mendasar adalah terjadinya Tsunami yang menghancurleburkan bangunan fisik dan social masyarakat Aceh. Tsunami ini telah menyebabkan hilangnya ribuan nyawa, baik masyarakat pada umumnya maupun para pegawai pemerintah. Akibatnya roda pelayanan terhadap masyarakat juga nyaris terhenti. Konflik berkepanjangan dan juga terjadinya Tsunami telah meluluhlantakkan negeri Serambi Mekkah. Masyarakat menjadi sangat menderita, karena kehilangan kerabat, saudara, anak dan juga orang tua.

Diyat di dalam konteks fiqih lebih dimaknai sebagai tindakan individual. Yaitu tindakan untuk memberikan tebusan individu kepada individu. Diyat digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian, pembunuhan dan lainnya. Diyat digunakan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan, atau perkelahian yang menyebabkan cacat atau kerusakan organ tubuh. Disebutkan nyawa dengan nyawa, atau anggota tubuh dengan anggota tubuh. Semua  dilakukan dalam kerangka keseimbangan. Namun demikian diyat juga bisa dengan melakukan tebusan, misalnya harta atau uang. Di dalam hal ini, maka harus ada kesepakatan antara korban dan lawannya. Corak tebusan selalu dalam konteks tindakan individu atau keluarga.

Azwar Abubakar membuat rekonstruksi pengertian diyat bukan antar individu atau kelompok, akan tetapi Negara atau pemerintah yang bertanggungjawab terhadap diyat ini. Diyat yang bercorak individu atau kelompok, maka diubah menjadi diyat oleh Negara atau pemerintah.

Di dalam hal ini, maka Negara atau pemerintahlah yang bertanggungjawab untuk membayar diyat sebagai akibat konflik antara masyarakat Aceh dengan pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa konflik itu bukanlah antara individu dengan individu, akan tetapi antara masyarakat dengan Negara. Makanya, negaralah yang harus bertanggungjawab untuk membayar diyat.

Korban konflik Aceh yang jumlahnya ribuan haruslah memperoleh penggantian uang atau harta benda yang sepadan. Namun demikian, kekuatan anggaran pemerintah juga menjadi faktor pertimbangan. Melalui pendekatan dan berbagai kemampuan untuk mengubah pemahaman tentang arti diyat ini, maka diperoleh kesepahaman tentang besaran diyat yang harus dibayar oleh Negara.

Melalui rekonstruksi konsep-konsep tersebut, maka konflik yang berkepanjangan bisa direduksi setahap demi setahap. Konflik yang semula sangat keras bisa direduksi menjadi lebih ringan. Konflik yang semula sangat tajam bisa diredam. Dengan demikian, pendekatan agama ternyata bisa digunakan untuk meredam terhadap kekerasan yang terjadi selama itu.

Masyarakat Aceh menjadi tertinggal karena konflik berkepanjangan. Oleh karena itu agar terjadi perubahan yang mendasar, maka yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan yang bermutu.

Konsep Qital, Bughat dan Diyat dipadukan dengan pengembangan pendidikan. Konsep qital yang bermakna peperangan fisikal, bughat yang berarti perlawanan fisikal dapat diselesaikan dengan diyat atau tebusan yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah. Dan sebagai usaha untuk menebus akibat konflik tersebut adalah dengan implementasi diyat berbasis pada pendidikan. Tidak ada kata lain untuk merekonstruksi masyarakat Aceh kecuali dengan  pendidikan. Makanya, pengembangan pendidikan  menjadi pilihan penting.

Melalui penerapan konsep “restorative justice” ini maka yang semula dendam menjadi damai. Yang semula keras menjadi lunak. Yang semula tidak mau menyekolahkan anaknya, lalu menyekolahkan anaknya. Perlahan tetapi pasti akhirnya mereka menyadari bahwa solusi pendidikan adalah solusi masa depan. Sekolah yang semula dibakar lalu dibangun kembali. Bahkan banyak di antaranya yang menggunakan dana swadaya. Di dalam upaya meraih masa depan tersebut, maka kualitas pendidikan ditingkatkan, beasiswa juga digulirkan dan pembangunan fisik dan infrastruktur pendidikan juga terus dikembangkan. Anak-anak yatim yang semula tidak boleh sekolah akhirnya bisa disekolahkan. Dibangunlah sebanyak delapan buah boarding school khusus untuk anak-anak yatim. Melalui sistem pendidikan terpadu ini, maka terjadi pemutusan dendam anak kepada lainnya. Mereka menempuh pendidikan karakter yang sangat memadai. Melalui program ini maka rantai kekerasan bisa dieliminasi. Siklus kekerasan bisa dipotong.

Oleh karena itu, diterapkanlah lima solusi Aceh, yaitu bersatu dan bertaqwa, saling memaafkan satu kepada lainnya, berlaku adil pada semuanya, membangun pendidikan dan akhirnya akan diperoleh kebahagiaan. Prinsip mendasar yang terus akan dikembangkan adalah “tukar nyanyian dendam dengan dendam pendidikan”.

Akhirnya, selamat menjadi doktor kepada Bapak Ir. Azwar Abubakar, MM. selamat kepada seluruh kerabat dan juga masyarakat Aceh.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

i



[1] Promotor adalah Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Pernah  menjabat sebagai Sekretaris Kopertais Wilayah IV (Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT), Pembantu Rektor bidang administrasi dan keuangan, Rektor IAIN Sunan Ampel, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya selama  3 tahun, Dirjen Pendis 2,5 tahun, dan sekarang menjadi Sekjen Kemenag RI. Banyak menulis buku tentang Ilmu sosial, pendidikan dan juga politik. saya mengucapkan terima kasih kepada Sudara Kandidat Doktor Habib Mustahofa yang telah mempersiapkan bahan-bahan untuk penulisan ini.

[2] Wahbah Zuhaili, 2010. Fiqh Imam Syafii: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan al-Quran dan Hadits (terjemahan dari al-Fiqhu asy-Syafii al-Muyassar), (Jakarta Timur: Almahira) hal. 193

[3] Ada yang menyebutkan nama sahabat yang melakukan pembunuhan tanpa kesengajaan itu adalah Iyasy bin Abi Rabiah al-Makhzumi, namun ada juga yang membacanya dengan Ayasy bin Abi Rabiah al-Makhzumi. Dasar hukum Rasulullah saw dalam menyelesaikan persoalan ini adalah maqtho’ (penggalan) pertama dari ayat 92 surat al-Nisa ini (dari lafadz “wa ma kana…sampai an tashoddaquu”). Lihat Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 204-208

[4] Maqtho’ (penggalan) kedua dari ayat 92 surat al-Nisa ini (dari lafadz “fa in kana min…sampai fa tahriru roqobatin mukminatin”). Lihat Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 208

[5] Lihat ayat 92 surat al-Nisa ini dari lafadz “wa in kana min qoumin…sampai wa tahriru roqobatin mukminatin”. Sedangkan maqtho’ terakhir dari ayat ini menjelaskan mekanisme substitusi bila tidak ditemukan budak mukmin, maka si pembunuh tersebut harus melakukan puasa selama dua bulan berturut-turut untuk mengganti pembebasan budak tersebut. Lihat Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal 209-217

[6] Periksa maqtho’ (penggalan) ayat 178 surat al-Baqarah ini (Dari lafadz “fa man ‘ufiya…sampai bi ihsan”). Lihat Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 112-116

[7] Berbagai hadits ini juga dikutip oleh Imam al-Thabari dalam tafsirnya dan dirangkai dengan pengutipan berbagai pendapat ulama fiqih yang menerangkan pendapat tentang qishas dan diyat ini. Hadits ini dalam tafsir al-Thabari dilengkapi juga dengan atsar tentang beberapa peristiwa yang terjadi pada kasus tersebut. Periksa beberapa hadits dalam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, tt, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Semarang: Thoha Putera) hal. 260-264

[8] Penulisan Imam Bukhari tentang hadits diyat ini termaktub dalam hadits shahih nomor 6861 pada bab Diyat yang menjelaskan ayat ke-93 dari surat al-Nisa dan diakhiri dengan hadits shahih nomor 6917 dalam sub-bab berjudul “Idza Lathoma al-Muslime Yahudiyyan ‘Inda al-Ghodlob” Lihat Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, 1997. Shahih Bukhari, (Riyad: Dar al-Salam) hal. 1440-1451

[9] Sebagaimana dalam kitab Shahih Bukhari, Syarah Shahih Bukhari yang ditulis Imam Ibnu Hajar al-Asqolani juga menuliskan beberapa hadits shahih tentang diyat dengan versi sanad yang lengkap dan tersambung pada Rasulullah saw. Sebagaimana Imam Bukhari, Syarah yang ditulis Imam Ibnu Hajar al-Asqolani juga mengaitkan ayat ke-93 surat al-Nisa yang menjadi dasar hukum diyat ini dengan ayat ke-68 dari surat al-Furqon. Selepas menuliskan hadits shahih nomor 6866 dengan sanad dari Ibnu Abbas, barulah Imam Ibnu Hajar al-Asqolani menguraikan pembahasan diyat secara etimologis dan terminologis sebagai pengantar pembahasan diyat. Periksa Kitab Diyat dalam al-Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, 2012. Fathul Bari: Syarah Shahih al-Bukhari jilid 13, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 159-160

[10] Lihat hadits nomor (1) pada bab Diyat dalam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, tt, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Semarang: Thoha Putera) hal. 260-261

[11] Periksa bab Diyat dalam Al-Imam Al-Hafidz Abi Dawud Sulaiman bin al-‘Asy’ats al-Sajistani, 1998. Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Ibnu Hazm) hal. 680-697

[12] Wahbah Zuhaili, 2010. Fiqh Imam Syafii: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan al-Quran dan Hadits (terjemahan dari al-Fiqhu asy-Syafii al-Muyassar), (Jakarta Timur: Almahira) hal. 194-195. Periksa bab Diyat pada sub-bab Fi Diyat al-Khotho’ hadits nomor 4547 sampai 4555 dalam Al-Imam Al-Hafidz Abi Dawud Sulaiman bin al-‘Asy’ats al-Sajistani, 1998. Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Ibnu Hazm) hal. 690-691 Bahkan dalam hadits nomor 3931, 3932, 3933, dan 3934 pada bab Hurmatu Dam al-Mukmin wa Malahu, Imam Ibnu Majah menuliskan beberapa hadits yang jelas melarang bagi muslim untuk menumpahkan darah (membunuh atau menciderai) muslim lainnya. Lihat al-Imam al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Robi’iy ibn Majah al-Quzwainiy, 1999. Sunan Ibnu Majah, (Riyadl: Dar al-Salam) hal. 564-565

[13] Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, tt, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Semarang: Thoha Putera) hal. 263

[14] Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, tt, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Semarang: Thoha Putera) hal. 261

[15] Periksa Khalid Abdurrahman, 1994. al-Quran al-Karim: Shafwat al-Bayan li Ma’ani al-Quran al-Karim, (Kairo: Dar al-Salam)

[16] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 386-387

[17] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 388

[18] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 148-149

[19] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2009. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran Jilid 11, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 154-155

[20] Khalid Abdurrahman, 1994. al-Quran al-Karim: Shafwat al-Bayan li Ma’ani al-Quran al-Karim, (Kairo: Dar al-Salam).

[21] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 1991. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Quran (Kairo: Dar al-Hadits)

[22] Fakhr al-Razi, tt. Al-Tafsir al-Kabir Juz 1, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah) hal. 138

[23] Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, 1930. Sahih Muslim Juz 2 (Kairo: t.p)

[24] Abu Bakar Muhammad ibn Abdullah Ibn Arabi, tt. Ahkam al-Quran Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 102

[25] Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, tt. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Kairo: Dar al-Saab)

[26] Muhammad Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir, tt. Tafsir al-Quran al-Adzim Juz 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi) hal. 228

[27] Ahmad Musthofa al-Maraghi, tt. Tafsir al-Maraghi Juz 2 Jilid 1. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 82

[28] Abu Bakar Muhammad ibn Abdullah Ibn Arabi, tt. Ahkam al-Quran Jilid 4 (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 1704

[29] Sayyid Qutub, tt. Fi Dhilal al-Quran Jilid VII (Beirut: Dar al-Arabiyah) hal. 3306

 

 

Categories: Opini