IR. AZWAR ABUBAKAR, MM PUN MENJADI DOKTOR PENDIDIKAN (1)
IR. AZWAR ABUBAKAR, MM PUN MENJADI DOKTOR PENDIDIKAN (1)
Ada dua hal yang membuat saya merasa berbahagia sebagai seorang akademisi di Republik ini, yaitu pertama ketika saya diminta menjadi ketua promotor bagi penganugerahan doctor kehormatan untuk Pak Dahlan Iskan, menteri BUMN yang diselenggarakan di IAIN Walisongo Semarang tahun 2013, dan kemudian menjadi anggota promotor bagi penganugarahan doctor kehormatan kepada Pak Azwar Abubakar, Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sebuah kebahagiaan sebab kami bisa mengantarkan dua orang terbaik dari Republik ini untuk diakui kiprahnya dalam bidang yang menjadi konsernnya. Dua orang menteri yang memiliki reputasi yang baik dan keterlibatan yang unggul di dalam bidangnya dan juga perhatiannya terhadap dunia pendidikan.
Sungguh merupakan kebahagiaan bahwa saya diminta oleh Rektor UIN Ar Raniri, Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA untuk menjadi promotor dalam penganugerahan doctor Honoris Causa kepada Pak Ir. H. Azwar Abubakar, MM, Menteri pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi beberapa hari yang lalu. Tepatnya, Hari Sabtu, 21 Juni 2014.
Pastilah ada pertimbangan tertentu kepada saya yang dipilih. Ada pertimbangan akademis dan juga strategis terkait dengan penunjukan saya sebagai promotor dan juga penentuan Pak Azwar sebagai doctor Honoris Causa yang pertama di UIN Ar Raniri Aceh ini.
Saya juga bersyukur sebab relasi saya dengan Pak Menteri sangat baik, terutama terkait dengan perubahan status STAIN menjadi IAIN dan IAIN menjadi UIN. Kebanggan yang membuncah tersebut terkait dengan alih status lima STAIN menjadi IAIN dan lima IAIN menjadi UIN. Dan akan menyusul 11 atau 15 lagi di tahun ini. Pak Azwar memang memiliki konsern tersendiri terkait dengan alih status ini.
Saya juga bersyukur karena bisa mewawancarai Beliau untuk kepentingan menulis naskah akademis tentang penganugerahan doctor ini. Mungkin bagi orang lain terasa janggal, bahwa latar belakang pendidikan beliau sebagai seorang insinyur dan master manajemen, lalu akan memperoleh gelar doctor di bidang pendidikan. Itulah sebabnya saya harus mewawancari beliau dalam kerangka memahami gagasan dan tindakannya dalam bidang pendidikan. Apakah beliau cocok diberi gelar doctor kehormatan dalam bidang pendidikan.
Saya mewawancari beliau dalam waktu yang cukup bersama dengan Bu Rini Windyastuti, salah seorang deputinya. Saya ingin memahami secara lebih mendalam tentang pikiran atau gagasan beliau dan bahkan juga tindakan beliau dalam bidang pendidikan. Dari perbincangan panjang inilah akhirnya, saya memutuskan untuk menulis sebagai bagian dari pertanggungjawaban akademis saya terhadap penganugerahan gelar doctor kehormatan tersebut.
Dari perbincangan panjang tersebut akhirnya saya memahami tentang bagaimana gagasan dan tindakan beliau terkait dengan pengembangan pendidikan. Makanya kemudian saya tulis makalah dengan judul “Gagasan dan Tindakan Ir. Azwar Abubakar, MM dalam Pengembangan Pendidikan Pascakonflik Aceh”. Makalah ini saya tulis secara khusus untuk mengelaborasi gagasan dan tindakan kandidat Doktor kehormatan yang ternyata memiliki kepedulian yang luar biasa dalam pendidikan khususnya di Aceh pascakonflik.
Pemilihan tema ini, terkait dengan gagasan beliau dan tindakan beliau yang orisinal dalam pengembangan pendidikan khususnya di Aceh pascakonflik. Saya kira dengan gagasan beliau tersebut, maka solusi masalah rendahnya kualitas SDM di Aceh akan dapat teratasi. Jika selama ini terdapat keluhan bahwa SDM di Aceh tidak mampu bersaing di era global dan kompetisi yang ketat dalam dunia global akan bisa dijawab.
Gagasan orisinal tersebut menyangkut penafsiran qital, bughat dan diyat di dalam ajaran agama. Qital yang secara tekstual-gererik diterjemahkan sebagai peperangan, lalu bughat yang secara tekstual-generik diartikan sebagai perlawanan terhadap pemerintah, kemudian diyat yang secara tekstual-generik diartikan sebagai pembayaran denda yang sepadan, lalu dicoba untuk di rekonstruksi pengertiannya. Beliau memang bukanlah ahli tafsir atau ahli fiqih, akan tetapi dengan kemampuan rasionya, maka beliau terjemahkan arti masing-masing teks di atas sesuai dengan realitas empiris di Aceh.
Aceh pascakonflik memang memprihatikan. Wilayah ini menjadi ajang konflik antara dua kekuatan, TNI sebagai kepanjangan tangan Republik Indonesia dan GAM yang menjadi representasi perlawanan rakyat Aceh. Keduanya tentu tidak ada yang untung. Banyak korban yang bergelimpangan karena kekerasan senjata. Banyak isteri yang kehilangan suami dan banyak akan yang kehilangan bapaknya. Perang telah membuat bumi Aceh menjadi porak poranda. Tidak ada sedikitpun kemajuan yang dibuat di tengah peperangan yang berkecamuk. Perang dalam bentuk apapun selalu menghadirkan “kengerian” baik bagi pemenang maupun yang kalah.
Aceh pun tidak bisa melakukan pembangunan masyarakatnya. Kawasan ini menjadi tercabik-cabik. Infrastruktur rusak, bangunan atau rumah rusak, perekomian menjadi hancur dan pendidikan menjadi stagnan. Itulah sebabnya, pengembangan SDM Aceh selalu berada di urutan bawah dari republic ini. Realitas empiris macam inilah yang dilalui dalam hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun oleh masyarakat Aceh.
Maka, ketika Azwar Abubakar menjadi penguasa Provinsi Aceh, selepas Ir. Abdullah Puteh, Gubernur Aceh terkena masalah hukum, maka beliau diangkat menjadi Plt. Gubernur, dan beliau lakukan reformasi pemahaman tentang “diyat” yang selama ini dipahami sangat tekstual. Pengertian tekstual ini lalu dipadupadankan dengan konteks masyarakat Aceh yang membutuhkan percepatan pendidikan.
Melalui penguasaan kultur Aceh yang sedemiikian baik, maka pengertian “diyat” diubah peruntukannya, yaitu yang semula bercorak individual lalu ditarik ke atas menjadi denda atau tebusan kepada Negara. Di dalam konteks ini, maka negaralah yang harus membayar “diyat” untuk mereka yang terbunuh di dalam arena konflik di Aceh. Atas nama Negara, beliau meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh, dan kemudian memberikan pembayaran tebusa tersebut kepada masyarakat.
Dari perubahan makna “diyat” ini, maka masyarakat diajak untuk memikirkan pendidikan bagi anak-anaknya. Uang tebusan tersebut digunakan untuk kepentingan hidup dan juga pendidikan.
Oleh karena itu dikembangkanlah nyanyian di kalangan mereka, bahwa “ dendam peperangan diubah menjadi dendam akan pendidikan”, nyanyian peperangan juga diubah dari “nyanyian perang fisik diubah menjadi nyanyian perang untuk pendidikan. Dengan pendekatan yang berbeda semacam ini, maka lambat tetapi pasti, masyarakat Aceh mau menyekolahkan anaknya, dan ke depan pastilah meraka akan dapat memanfatkan ilmunya untuk pengembangan masyarakat Aceh.
Wallahu a’lam bi al shawab.