TEMU TOKOH AGAMA DI MALAYSIA
TEMU TOKOH AGAMA DI MALAYSIA
Saya sangat senang mengikuti kunjungan Pak Menteri Agama, Dr. Suryadharma Ali, di Malaysia kali ini. Selain bisa menikmati jalan darat dari Singapura ke Malaysia juga dapat menikmati makanan khas Malaysia dan acara pertemuan yang berbobot antara menteri agama dengan tokoh agama di Malaysia. Jalan darat antara Singapura dan Malaysia juga sangat indah. Ada hutan buatan yang dapat digunakan sebagai pemandangan yang menarik. Makanya jalan itu dinamakan woodland. Kira-kira falsafah pembuatannya adalah jadikan sekitar jalan adalah pemandangan hutan buatan.
Malam hari, 15 Desember 2013 dilakukan pertemuan di hotel Thirston antara Menteri Agama dengan pejabat agama dan juga pimpinan UTM. Pertemuan ini, sesuai dengan temanya adalah tentang kerukunan antar dan intern umat beragama. Di dalam bahasa Malaysia disebut sebagai Harmonian Kehidupan beragama, Internal dan eksternal. Pertemuan ini dihadiri oleh Ketua Jabatan Mufti Johor Bahru, Datuk Taqrir, Rektor Universitas Al Azhar Cawangan Malaysia, Prof. Salamat, Dekan Fakultas Tamadun Islam, Prof. Hussein Salamun, mantan Dekan FTI, Prof. Azmi, timbalan Dekan FTI, Prof. Ramli Awang, dan sejumlah pejabat agama di Johor Bahru. Acara ini dipimpin oleh Prof. Jandra dari UTM.
Menteri Agama memulai ceramahnya dengan menyatakan bahwa kehidupan beragama di Indonesia sesungguhnya sangat baik. Hal ini bukan sebuah omong kosong akan tetapi merupakan kenyataan yang diketahui oleh banyak orang Indonesia. Di dalam hal ini, maka kita semua tahu bahwa kerukunan umat beragama adalah merupakan kerukunan yang bukan hanya sekedar di luarnya saja akan tetapi merupakan kerukunan yang sesungguhnya seperti itu.
Di Indonesia, kerukunan sudah merupakan budaya bangsa. Hampir di seluruh wilayah dijumpai ungkapan-ungkapan yang merupakan bahasa simbolik tentang kerukunan tersebut. Misalnya ungkapan satu tungku tiga batu di Papua. Kitorang Basudara di Sulawesi Utara, Pela Gandong di Maluku, dan sebagainya. Semua ini menggambarkan bahwa kerukunan telah menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia.
Kerukunan bukan hanya berada di luarnya saja akan tetapi memasuki aspek mendalam di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kerukunan bukan hanya berada di dalam ucapan saja akan tetapi telah menjadi tindakan masyarakat Indonesia. Cobalah amati tentang bagaimana masyarakat Indonesia menghargai agama-agama lain. Tidak hanya menghargai agama yang besar akan tetapi juga menghargai agama dengan jumlah penganut yang kecil. Kita tahu bahwa Konghucu hanya diikuti oleh sangat sedikit masyarakat Indonesia, akan tetap saja penghargaan terhadap agama ini dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada konflik antar umat beragama. Dan harus juga diakui bahwa tidak ada di dunia ini suatu masyarakat yang sama sekali tidak ada konflik di dalamnya. Jangankan masyarakat luas dengan aneka kepentingannya, yang namanya rumah tangga saja juga ada konfliknya. Makanya, konflik di dalam kehidupan merupakan hal yang wajar terjadi di dalam suatu masyarakat. Apalagi dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia ini.
Bisa dibayangkan jumlah penduduk sebanyak 240 juga lebih, dengan 17 ribu pulau, dengan 500 lebih bahasa dan sukunya, dengan jumlah yang sebegitu besar, maka tentunya juga akan sangat sulit untuk memanej kerukunan beragama tersebut. Akan tetapi dengan kenyataan kerukunan di Indonesia, tentunya semua harus mengapresiasi. Oleh karena itu sangat pantas jika kerukunan beragama merupakan isu yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia.
Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Prof. Azmi, yaitu tentang hubungan antara sunni dan Syiah di Indonesia dan sunni dan Ahmadiyah. Menteri Agama memberikan jawaban bahwa di Indonesia memang sedang diramaikan tentang isu antara Sunni dan Syiah. Padahal sesungguhnya yang terjadi di Sampang Madura, bahwa konflik itu sebenarnya semula bukan konflik antar agama antara konflik antar keluarga. Memang mereka memiliki pemahaman agama yang berbeda. Ada yang penganut Syiah dan ada yang penganut Sunni. Dari konflik antar keluarga ini kemudian dijadikan sebagai konflik masyarakat dan kemudian konflik agama.
Kita tidak bisa menyatakan sebagai konflik Sunni dan Syiah, sebab kaum Syiah juga banyak variasinya. Kita tidak bisa menggeneralisir kaum Syiah dengan sebutan yang sama. Sebab ada yang berkeyakinan bertentangan dengan sunni dan ada juga yang tidak. Makanya, di dalam kasus di Sampang harus dilihat sebagai hubungan sesama tentangga, sesama komunitas dan bukan atas nama agama. Jika ada tetangga yang menghina keyakinan agama kita, maka kita pasti akan marah, jika ada tetangga kita menghina istri atau anak kita, kita juga pasti marah, bahkan kalau ada tetangga kita yang menendang binatang kesayangan kita, maka kita juga akan marah. Itulah sebabnya kita harus membangun hubungan baik di dalam bertetangga. Inilah yang seharusnya menjadi tema di dalam penyelesaian kasus di Sampang Madura.
Tentang Ahmadiyah, ada cara penyelesian yang baik. Telah terdapat sebanyak 700 lebih warga Ahmadiyah yang konversi ke sunni. Akan tetapi problemnya adalah mereka kemudian diisolir oleh kaum Ahmadiyah lainnya. Maka kemudian mereka kita berikan pengembangan usaha melalui dana dan ketrampilan. Kita berharap bahwa dengan perubahan keyakinan ini akan meneguhkan lainnya untuk juga berubah.
Bagi kita, bahwa kalau ada orang Islam tetapi Nabinya Bukan Nabi Muhammad SAW, maka pastilah mereka bukan orang Islam. Sama halnya dengan ada orang yang menghina terhadap sahabat Rasul: Abu bakar, Umar dan Usman, atau menganggap bahwa Aisyah adalah pelacur, maka pastilah mereka itu menghina kepada umat Islam lainnya. Jadinya ukurannya jelas. MUI sudah membuat kriteria tentang mana ajaran yang sesat dan yang tidak. Jika ajaran tersebut menyimpang dari 10 prinsip di dalam ajaran Islam, maka dianggap sebagai penyimpangan.
Oleh karena itu, kita selalu menghargai terhadap keyakinan agama lain dalam kapasitas apa adanya. Jika ingin hidup rukun maka syaratnya harus saling menghargai satu dengan lainnya. Kerukunan interen dan antar umat beragama hanya akan terjadi manakala di antara mereka terdapat saling pemahaman dan saling penghargaan.
Pertanyaan lain yang tidak kalah menarik sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Salamat tentang bagaimana mengembangkan kerukunan umat beragama, sebab banyak sekali upaya untuk melakukan penghinaan terhadap ajaran agama. Selain itu juga ada banyak usaha yang dilakukan untuk melakukan dakwah kepada agama lain. Tentang hal ini pasti akan terdapat benturan-benturan.
Kita sesungguhnya tidak bisa memaksakan keyakinan kita kepada siapapun. AL Quran sendiri mengajarkan agar kita percaya bahwa petunjuk itu hanya milik Allah semata. AL Quran menyatakan bahwa “sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai sekalipun, sebab sesungguhnya Allah saja yang akan memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendakinya”. Makna dibalik ayat ini adalah bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keyakinan manusia lainnya. Makanya, kita juga harus menenggang rasa kepada orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita.
Selama kita bisa melakukan tindakan yang benar sesuai dengan ajaran agama kita, maka kita pasti tidak akan melakukan penghinaan terhadap agama lain. Selama kita bisa mengarahkan terhadap nafsu amarah kita, maka rasanya bangunan kerukunan umat beragama bukan sebuah isapan jempol saja, akan tetapi akan bisa menjadi kekuatan yang hebat.
Jadi yang penting adalah bagaimana kita membangun kepedulian terhadap sesama manusia dengan tanpa membedakan apapun agama dan keadaan sosialnya, sehingga kita akan bisa hidup berdampingan satu dengan lainnya dalam kesatuan dan persatuan bangsa.
Wallahualam bisshawab.