• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERENCANAN TERPADU PENDIDIKAN (1)

PERENCANAN TERPADU PENDIDIKAN (1)
Pada zaman Orde Baru, perencanaan itu identik dengan kemauan orang atasan. Artinya bahwa yang membuat perencanaan adalah orang atas sebab yang dianggap tahu masalah akan kebutuhan masyarakat adalah hanya orang atasan. Logikanya bahwa orang atasanlah yang tahu seluk bekuk kehidupan masyarakat. Masyarakat bawahan tidaklah tahu tentang apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Kaum elitlah yang tahu segalanya. Pendidikan yang tinggi dan pengalaman yang banyak menyebabkan bahwa kaum elitlah yang harus merencanakan segala sesuatu.
Meskipun demikian, kala itu juga sudah muncul keinginan dan kritik terhadap pandangan ini. Ada sebagian kecil di antara masyarakat yang terlibat di dunia LSM yang mencoba melakukan kritik terhadap kebijakan perencanaan top down yang sentralistik. Mereka adalah sekelompok orang yang beranggapan bahwa perencanaan harus melibatkan orang yang memiliki kepentingan. Tidak peduli apakah orang yang punya kebutuhan tersebut paham atau tidak paham, pintar atau tidak. Yang penting bahwa merekalah yang merasakan adanya kepentingan tersebut.
Maka muncullah kemudian perencanaan berbasis pada kebutuhan masyarakat yang kemudian dikenal sebagai bottom up planning. Di dalam perencanaan ini, maka yang diperlukan adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan. Masyarakat dilibatkan secara penuh terhadap proses inventarisasi masalah, penyelesian masalah dan bagaimana merencanakan program yang relevan dengan masalah dimaksud. Memang harus diakui bahwa perencanaan ini membutuhkan waktu yang relatif panjang sebab harus melibatkan masyarakat sedari awal.
Model perencaan seperti ini yang kemudian dijadikan sebagai model perencanaan di era Orde Reformasi. Bottom up planning kemudian menjadi arena penting untuk menyusun perencanaan. Di tengah sistem perencanaan berbasis kinerja, maka sistem Bottom up inilah yang dianggap dapat memberikan solusi terhadap perencanaan yang elitis, hanya melibatkan kelompok tertentu dan bias kepentingan. Perencanaan berjenjang kemudian menjadi pilihan agar perencanaan dapat secara eksak untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
Melalui perencanaan dengan sistem ini, maka kesalahan program dan kesalahan sasaran perencanaan akan bisa direduksi. Kritikan terhadap kelemahan top down planning akan bisa diatasi dengan model ini. Perencanaan ini memang membutuhkan waktu yang lama. Bisa dibayangkan bahwa perencanaan dimulai dari RT/ RW sampai di Pemerintah pusat. Mulai dari musyawarah pembangunan di tingkat kelurahan/desa sampai ke tingkat menteri. Dari musrenbangdes sampai musrenbangnas. Itulah sebabnya perencanaan membutuhkan waktu satu tahun. Program pemerintahan tahun berikutnya harus dikerjakan tahun ini.
Perencanaan berbasis kinerja bagi dunia birokrasi tentu memiliki kekuatan dan kelemahannya. Meskipun perencanaan ini dibuat berbasis pada musyawarah dari desa sampai pusat, akan tetapi selalu menyisakan masalah terkait dengan reduksi program pada setiap jenjang. Jika dianalisis, maka sesungguhnya akan terdapat tingkat variasi yang luar biasa di dalam setiap jenjang dan kawasan di dalam perencanaan program.
Marilah kita lihat bagaimana kesenjangan antara wilayah timur dan barat. Maka setiap wilayah tentu akan memiliki kekhasannya masing-masing. Jika kemudian variasi ini tidak diperhatikan di dalam perencanaan berjenjang ini tentu akan selalu menyisakan masalah. Demikian pula problem pada aspek penyederhanaan atau simplifikasi pada setiap jenjang. Dari tingkat RW ke kelurahan atau desa, dari desa ke kecamatan, dari kecamatan ke kabupaten dari kabupaten ke provinsi dan dari provinsi ke pusat, maka dipastikan akan menggunakan simplikasi bahasa dan teknis yang tidak sederhana. Oleh karena itu, maka akan terus terjadi proses reduksi berjenjang disebabkan oleh kemampuan merumuskan program yang cukup dan mencukupi terhadap setiap program dimaksud.
Namun demikian, penjenjangan musyawarah ini akan tertutupi jika masing-masing kabupaten atau kota sebagai pemerintahan di level menengah bawah bisa melakukan akomodasi terhadap program di wilayahnya. Disebabkan oleh kenyataan bahwa penganggaran tersebut berada pada level kabupaten atau kota, maka peran pentingnya akan sangat menentukan apakah program yang dicanangkan berbasis kinerja tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, titik krusial perencanaan berbasis kinerja yang buttom up akan bisa ditutupi dengan memaksimalkan perencanaan pada level pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, sehingga kepentingan masyarakat tentang program akan dapat diimplementasikan di dalam program Pemerintah.
Jadi, kekuatan perencanaan berbasis kebutuhan atau buttom up akan dapat dilakukan jika Pemerintah kabupaten/kota secara cerdas bisa mengadaptasi dan mengakomodasi program pada wilayahnya masing-masing. Pendidikan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan sumber daya manusia (SDM) tentu juga harus menggunakan perencanaan terpadu untuk mencapai penyusunan program dan aksi pendidikan yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat.
Wallahualam bisshawab.

Categories: Opini