MENJADI UIN SUNAN AMPEL
MENJADI UIN SUNAN AMPEL
Selain acara peresmian IAINSA menjadi UINSA, maka juga diselenggarakan seminar yang terkait dengan pendidikan Islam. Sebagai narasumber yang berbicara di forum ini adalah Prof. Dr. Nur Syam, MSi, Prof. Dr. Haris Supratno, MPd., Dra. Ida Fauziyah, MSi., yang berbicara di dalam konteks pengembangan pendidikan Islam ke depan.
Sebagai narasumber, maka saya menyampaikan dua hal penting dan saya anggap sebagai point penting di dalam moment peresmian perubahan IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan apel.
Pertama, adalah ucapan terima kasih bahwa telah terjadi transformasi ke UIN ini. Ada empat orang dan lembaga. Di dalam hal ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama RI, yang telah memberikan persetujuannya untuk peralihan status ini. Melalui peran beliau maka perubahan status ke UIN menjadi niscaya. Pada periode menteri Agama sebelumnya, maka pintu masuk ke UIN tertutup rapat. Memang juga ada dasarnya mengenai moratorium ini. Salah satu alasannya adalah untuk memperbaiki kualitas enam UIN yang sudah transformasi terlebih dahulu.
Kemudian kepada Prof. Dr. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan kebudayan. Melalui rekomendasinya maka perubahan status ke UIN menjadi terlaksana. Kesamaan visi ntuk mengembangkan IAIN menjadi UIN menyebabkan adanya potensial untuk perubahan dimaksud. Lalu, yang tidak kalah pentingnya adalah Bapak Azaar Abubakar, Menteri PAN RB, yang juga memberikan rekomendasi ntuk perubahan ke UIN. Beliau memiliki kesamaan visi tentang perluasan akses pendidikan dengan melakukan transformasi dari IAIN ke UIN.
Kedua, adalah jawaban atas pertanyaan mengapa berubah menjadi UIN. Ada empat alasan yang dijadikan dasar mengapa IAIN berubah menjadi UIN. Alasan tersebut adalah perluasan akses bagi kaum santri untuk masuk ke perguruan tinggi yang menyediakan program bervariasi. Tidak hanya rumpun ilmu agama akan tetapi juga ilmu sosial dan humaniora serta sains dan teknologi. Selama ini kaum santri “termarjinalisasi” di dalam proses rekruitmen untuk pendidikan tinggi. Mereka pasti akan kalah bersaing dengan lulusan sekolah umum yang bagus di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan. Para santri yang kebanyakan adalah lulusan madrasah sehingga tentu kalah dengan alumni sekolah yang muridnya memiliki kemampuan untuk menambah pelajaran melalui berbagai macam variasi.
Alasan lainnya adalah keilmuan, bahwa dengan menjadi UIN, maka ada tiga ranah keilmuan yang bisa dikover olehnya. Yaitu ilmu keagamaan, ilmu sosial dan humaniora, serta sains dan teknologi. UIN dapat melestarikan dan mengembangkan ilmu yang multidisipliner. Dengan menjadi UIN maka disiplin ilmu akan banyak tumbuh dan berkembang. Di antara yang kelak akan menjadi ciri khas UIN adalah yang disebut sebagai Program Integrasi Ilmu atau bisa disingkat Pro ilmu. Di dalam program integrasi ilmu ini, maka memungkinkan terjadinya dialog antar ilmu atau bahkan integrasi antar ilmu.
Alasan berikutnya adalah aspek politik. Pasca reformasi, maka bisa kita lihat bagaimana terjadi mobilitas vertikal yang luar biasa dari alumni PTAIN. Mereka memiliki peluang yang sangat terbuka untuk memasuki kawasan politik yang pada era Orde Baru tertutup rapat. Adanya reformasi maka memberi peluang untuk alumni PTAIN menjadi politisi, birokrat, dan juga pejabat publik lainnya. Ada yang menjadi bupati/walikota, gubernur, pimpinan parpol, anggota DPR dan sebagainya. Dengan menjadi UIN maka kiprah mereka untuk mengembangkan mobilitas vertikal akan menjadi semakin kentara.
Yang tidak kalah pentingnya juga alasan ideologis bahwa PTAIN adalah pewaris pengembangan ilmu pengetahuan yang di masa lalu dikembangkan oleh para ilmuwan Islam. Pewaris ibn Tufail, Ibnu Sina, ibnu Khaldun, AL Khawarizmi, Al Ghazali dan sebagainya adalah para ilmuwan Islam dan tentu mereka adalah lulusan PTAIN. Dengan demikian, alumni PTAIN, khususnya UIN memanggul tugas ideologis sebagai pewaris keilmuan Islam integratif tersebut.
Bagi mereka, bahwa pengembangan keilmuan harus jelas jangan sampai kabur. Pengkajian terhadap ilmu non keislaman bisa digerakkan secara mendasar, akan tetapi kajian Islam juga harus dikembangkan secara memadai. Mestinya harus dikembangkan tentang pendidikan berbasis agama, kejuruan dan akademik. Hal ini juga terkait dengan menjadikan pendidikan sebagai pusat riset.
Oleh karena itu diharapkan agar UIN menjadi pusat kajian Islam integratif. Tetapi di satu sisi juga diharapkan agar tetap menjadi pusat ilmu agama dan akhlak mulia.
Wallahualam bisshawab.