TNI YANG KUAT ADALAH DAMBAAN RAKYAT
Sudah dua dasawarsa TNI melakukan reformasi semenjak tahun 1998 atau tepatnya pasca reformasi total dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Reformasi sesungguhnya merupakan era akhir dari periode Orde Baru yang otoriter dan salah satu organ yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam pelestarian otoriterisme di era itu adalah kaum militer. Makanya semenjak tahun itu maka TNI menggulirkan konsep dan aplikasi reformasi TNI yang bertumpu pada konsep TNI sebagai tentara rakyat, tentara nasional, tentara pejuang, dan tentara profesional. Dan salah satu yang dibidik adalah “mengurangi” peran militer di dalam aspek politik.
Keterlibatan militer di dalam politik, sesungguhnya digagas oleh Jenderal AH. Nasution setelah melihat bahwa arah gerakan civil society mengarah kepada komunisme yang sangat kuat. Melalui konsep dwi fungsi ABRI, yaitu peran sosial politik dan sekaligus peran keamanan, maka militer bisa masuk dalam ranah politik selama hampir 30 tahun. Di tengah dominannya kaum sipil dalam pemerintahan dan dunia sosial politik yang mengarah kepada chauvinisme sipil tersebut maka TNI harus mengembalikan nasib bangsa ini kepada rel yang sesungguhnya yaitu menjadikan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai suatu hal yang tidak boleh diganggu gugat.
Makanya, konsep dwi fungsi ABRI pun sesungguhnya memiliki logika sendiri. Konsep ini tidak datang dari ranah kosong yang tanpa logika. Melalui konsep ini, maka yang terjadi kemudian adalah ”penguasaan militer” terhadap ranah-ranah sosial politik dan juga ekonomi. Banyak pimpinan daerah yang mesti datang dari militer. Gubernur, bupati, ketua DPR, DPRD dan posisi-posisi strategis semuanya dipegang oleh ABRI. Selama hampir 30 tahun kaum sipil terpinggirkan terutama dalam bidang politik. Jika terdapat orang sipil yang bisa memasuki jabatan politis maka yang bersangkutan harus ”lebih” militer dalam tindakannya. Yaitu sipil yang militer atau lebih militer dari militer.
Bahkan di era ini, partai politik pun dikebiri sedemikian rupa. Melalui pola pendekatan jarak ideologi partai politik, maka partai yang berbasis agama, demokrasi dan kekaryaan difusikan. PPP kemudian menjadi wadah fusi partai yang berbasis agama, PDI menjadi wadah fusi bagi partai berbasis demokrasi dan Golkar menjadi wadah partai kekaryaan. Melalui konsep floating mass, maka Golkar yang tidak lain adalah wadah artikulasi kepentingan politik kaum militer dalam banyak hal, maka Golkar mencapai single majority dan berakibat terhadap kekuasaan politik tunggal dan bersayap pada otoriterisme yang semakin menguat dari satu fase ke fase berikutnya.
Gerakan reformasi total kemudian bisa mengakhiri rejim otoriter tersebut sehingga TNI pun harus melakukan reformasi dengan kembali kepada konsep dasar semula TNI sebagai garda depan pengamanan bangsa dan secara perlahan menanggalkan baju politiknya. Dengan demikian, reformasi TNI yang paling utama dan banyak disorot oleh kaum sipil, maka yang paling mendasar dari reformasi TNI adalah “pengurangan” peran politik dimaksud. Maka yang kita lihat sekarang—pasca diundangkannya UU Politik—maka yang menduduki jabatan-jabatan politik strategis adalah kaum sipil terutama melalui jalur partai politik. Jadi, supremasi militer pasca reformasi menjadi sangat berkurang. Jabatan-jabatan strategis yang selama itu menjadi kekuasaan TNI satu persatu harus dilepas seirama dengan reformasi TNI yang dicanangkan.
Di era reformasi maka yang didambakan adalah TNI yang kuat yang ditandai dengan profesionalisme TNI yang unggul. Meskipun tidak 100% back to barack, namun melalui reformasi TNI yang diharapkan adalah menjadikan TNI profesional yang bertumpu pada “pengamanan” negara dan bangsa. Oleh karena itu yang diperlukan tentunya adalah bagaimana menjadikan TNI sebagai tentara nasional yang profesional melalui “kelengkapan” sarana dan prasarana pengamanan negara dan bangsa. Jangan sampai ada guyonan “militer Singapura” jauh lebih hebat dari militer Indonesia atau “militer Malaysia” jauh lebih kuat dari militer Indonesia. Dan dalam kerangka ini, maka yang diperlukan adalah penguatan anggaran untuk pemenuhan sarana prasarana kemiliteran agar keinginan untuk menjadikan militer yang kuat akan terealisasi.
Kita tentu tidak ingin lagi dengar pesawat TNI jatuh karena kualitas pesawat yang sudah kedaluwarsa, tidak ada lagi kapal perang yang ngadat karena kedaluwarsa, tidak adalagi persenjataan yang tidak fungsional karena tidak terawat. Maka untuk ini perlu ada kebijakan yang mengarusutamakan profesionalisme TNI sebagai bagian penting dari reformasi TNI.
Wallahu a’lam bi al shawab.