• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROBLEMA JABATAN GURU BESAR

PROBLEMA JABATAN GURU BESAR
Dalam beberapa tahun terakhir memang dirasakan betapa sulit dosen PTAIN menjadi profesor. Ada semacam kesulitan yang besar untuk menjadi profesor ini. Makanya kemudian muncul semacam dugaan bahwa memang ada kecenderungan untuk mempersulit gelar akademik tertinggi ini. Persoalannya adalah benarkah begitu sulit menjadi profesor di negeri ini? Bukankah sekarang begitu banyak dibutuhkan gelar ini untuk menunjang peringkat akreditasi perguruan tinggi?
Saya sesungguhnya berpendapat bahwa kesulitan untuk memperoleh jabatan profesor bukanlah merupakan upaya yang dilakukan untuk menghambat laju pertumbuhan jumlah guru besar, akan tetapi untuk memberikan kesempatan bagi peningkatan kualitas para calon guru besar tersebut. Memang untuk menjadi profesor haruslah didasari oleh pertimbangan akademis yang sangat memadai dari para calon profesor.
Di masa lalu, jabatan guru besar atau profesor dapat diberikan kepada mereka yang memiliki syarat administratif dan akademis. Akan tetapi bobot administratifnya lebih besar. Maksud saya, bahwa untuk menjadi profesor tidak diharuskan untuk memiliki gelar akademis tertinggi atau karya tulis yang outstanding, akan tetapi dewasa ini sehubungan dengan perkembangan dunia akademis yang cepat, maka untuk menjadi profesor maka diharuskan untuk memiliki kekuatan akademis yang menonjol. Jadilah seorang profesor itu tidak hanya memiliki persyaratan administratif saja akan tetapi juga kekuatan akademis yang memadai. Jadi menurut saya bukankah upaya mempersulit memperoleh gelar tersebut, akan tetapi merupakan bentuk upaya untuk menegakkan basis keilmuan seorang profesor.
Memang jumlah yang lolos untuk diteruskan usulannya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat sedikit. Dari sebanyak 50 orang lebih yang mengajukan jabatan profesor, maka hanya ada enam saja yang lulus. Dari enam calon guru besar tersebut ternyata juga belum ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh tim penilai naskah akademis profesor. Suatu jumlah yang sedikit dikaitkan dengan usulan p ara pimpinan PTAI Se Indonesia.
Di dalam perbincangan para penilai naskah akademis calon profesor, ternyata memang ada beberapa hal yang menjadi catatan: pertama, kualitas karya akademis dosen. Kebanyakan karya tulis dosen adalah merupakan tulisan yang sudah digunakan untuk kenaikan jabatan. Maksud saya adalah karya disertasi yang sudah dinilai sebagai bagian karya ilmiah dan kemudian dibukukan lagi sebagai karya akademis mandiri untuk memperoleh penilaian lagi. Tentu saja hal ini tidak bisa ditolerir. Naskah akademis dari disertasi tentu saja sangat memadai sebagai karya akademis sebab sudah pernah memperoleh penilaian yang akurat. Hanya saja tidak bisa dipakai lagi untuk kepentingan kenaikan jabatan.
Kedua, karya akademis yang tidak relevan dengan keahlian di dalam program pendidikan. Yang saya maksudkan adalah karya akademis yang berbeda dengan mata kuliah yang diampu. Ada banyak karya akademis di jurnal bahkan jurnal internasional akan tetapi tema tulisan dengan mata kuliah yang diampu tidak relevan. Sebagaimana yang menjadi persyaratan untuk jabatan profesor adalah relevansi antara karya akademik, mata kuliah yang diampu dan juga bidang keahlian yang dimiliki. Karya akademik di jurnal adalah representasi dari keahlian akademik bagi para dosen. Makanya, jika tulisan di jurnal atau karya akademik dosen tersebut bervariasi tema dan bidang kajiannya maka dapat menimbulkan pertanyaan tentang keahlian dosen yang bersangkutan.
Selain itu juga lama tahun terbitan. Ada banyak karya akademik dosen calon profesor yang dilihat dari waktu terbitnya sudah kedaluwarsa. Ada batasan maksimal tiga tahun. Makanya jika karya akademik dosen tersebut sudah melebihi tiga tahun maka karya tersebut tidak lagi berlaku. Jadi memang banyak rambu-rambu tentang karya akademis dosen ini. Dalam kasus penilaian karya akademik dosen untuk guru besar, sebenarnya ada banyak tulisan di jurnal internasional akan tetapi terkendala oleh waktu yang mengikat tersebut.
Ketiga, kualitas karya ilmiah. Sebagai dosen yang sudah mengajar dalam rentang waktu lama dan juga sudah pernah menulis disertasi, maka seharusnya karya akademisnya juga outstanding. Artinya bukan karya akademis yang tidak menunjukkan kualifikasi akademis tinggi. Kenyataannya masih ada karya akademis dosen, apakah itu dalam bentuk buku atau hasil penelitian, yang belum menggambarkan kualifikasi unggul tentang tulisan tersebut. Makanya, banyak karya akademis dosen yang dinilai belum memenuhi kualifikasi terbaik. Padahal sebagaimana diketahui bahwa tim untuk penilai karya akademis calon profesor tersebut adalah orang yang memiliki idealisme yang tinggi, sehingga ukuran yang digunakan juga harus sesuai dengan ukuran akademik excellence tersebut.
Tim penilai karya ilmiah tersebut terdiri dari para ahli, baik di bidang agama maupun bidang lainnya. Tidak hanya tim dari Kementerian Agama akan tetapi juga dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, maka penilaian juga dilakukan dengan sangat hati-hati dan seksama. Ada pikiran jangan sampai naskah yang sudah dinilai oleh tim Kementerian Agama tersebut ditolak oleh tim karya ilmiah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu maka penilaian dilakukan dengan cara yang sangat mendasar.
Jika demikian halnya, maka sebaliknya para calon profesor juga menilai secara internal, dengan sebuah pertanyaan, apakah karya ilmiah saya ini sudah sesuai atau memenuhi kriteria akademis yang standart atau belum. Dengan melakukan self evaluation tersebut, maka dosen akan dapat memahami tentang layak atau tidaknya karya tersebut diajukan sebagai syarat untuk menjadi profesor.
Wallahualam bisshawab.

 

Categories: Opini