PROBLEMA MERAIH PROFESOR
PROBLEMA MERAIH PROFESOR
Di masa lalu, profil profesor atau guru besar identik dengan orang yang sudah tua atau sangat senior, sebab menjadi guru besar atau profesor hanya bisa diraih di kala usia sudah senja. Makanya, sebutan profesor itu identik dengan orang yang usianya senja tersebut. Keadaan itu tentu berangsur berubah, di kala orang menjadi profesor tidak lagi terkait dengan kesenjangan usia akan tetapi karena prestasi akademis yang diperoleh oleh seorang dosen.
Saya menjadi profesor di kala usia saya masih 46 tahun. Saya dikukuhkan sebagai profesor pada 01 Oktober 2005. Tentu masih ada orang yang lebih muda lagi pada waktu yang bersangkutan meraih guru besar. Saya tentu bersyukur sebab bagi saya gelar profesor adalah jabatan tertinggi di dunia akademik yang siapapun dosen pasti menginginkannya.
Beberapa hari yang lalu saya terlibat di dalam proses penilaian kepangkatan akademis para dosen untuk kepentingan kenaikan jabatan profesor. Tentu kehadiran saya dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam dan sekaligus sebagai anggota tim penilai para calon guru besar. Tim ini terdiri dari para direktur program studi pasca sarjana, dan para profesor yang memiliki reputasi yang memadai. Tim ini dipimpin oleh Prof. Dr. M. Quraisy Syihab, guru besar Tafsir dari UIN Jakarta.
Menurut saya, ada tiga hal yang akhir-akhir ini menjadi kendala bagi proses kenaikan jabatan guru besar. Di dalam kesempatan itu, maka saya utarakan tentang beberapa kendala kesulitan seorang dosen meraih jabatan guru besar. Pertama tentang linearitas pendidikan. Isu yang menarik dibahas adalah tentang linearitas ini. Di masa lalu, linearitas pendidikan bukanlah menjadi masalah bagi kandidat profesor. Bagi seseorang yang sudah memiliki angka kredit kumulatif yang cukup dan telah memenuhi persyaratan akademis dan administrasi yang memadai, maka baginya memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi guru besar.
Saya melihat bahwa banyak dosen PTAIN yang tidak linear di dalam melanjutkan program studinya. Bisa saja seorang dosen dengan mata kuliah yang diampu adalah ilmu dakwah, dan memang yang berangkulan adalah lulusan fakultas dakwah lalu mengambil program studi strata dua dan tugasnya di bidang sosiologi. Atau ada juga misalnya dosen lulusan program studi pendidikan agama Islam, tetapi melanjutkan program studinya pada program studi psikologi. Tentu saja dari sisi pendidikan dan ijazah yang dimilikinya tidak linear. Jika hal ini ditambah dengan mata kuliah yang diasuhnya adalah tentang pendidikan Islam, maka akan terdapat kesulitan yang besar untuk meraih guru besar tersebut. Jika seperti ini, maka akan terdapat ribuan doktor yang tidak bisa meraih gelar profesor.
Kedua, Lalu masalah jurnal internasional. Semua akademisi tentu setuju bahwa menulis di jurnal internasional merupakan hal yang sangat penting bagi seorang dosen. Dosen adalah kaum akademisi sehingga ukuran yang tepat adalah mempertanyakan berapa banyak karya akademis yang dihasilkannya. Karya akademis tersebut berupa buku berstandar nasional atau internasional atau karya akademis di jurnal berstandart nasional atau internasional. Semakin banyak karya akademis maka logikanya juga akan semakin berpeluang untuk menjadi profesor. Akan tetapi karya akademis tersebut tentunya juga harus relevan dengan bidang studi yang digelutinya dan juga mata kuliah yang diampunya. Makanya, banyaknya buku dan tulisan di jurnal yang tidak relevan dengan mata kuliah yang diampu akan menjadi penyebab kerumitan meraih jabatan profesor.
Masalah yang dihadapi oleh para calon guru besar adalah terkait kelangkaan jurnal internasional yang terkait dan berkonten ilmu keislaman. Ada banyak jurnal ilmu keislaman misalnya di Timur Tengah, akan tetapi jurnal tersebut tidak termasuk jurnal yang diakui sebagai jurnal internasional. Termasuk juga banyak jurnal di dalam negeri yang mengusung tema ilmu keislaman, akan tetapi juga tidak termasuk di dalam jurnal internasional. Hal ini tentu saja salah satunya disebabkan oleh realitas bahwa yang menerbitkan standart jurnal internasional adalah akademisi barat. Skopus atau ISI, misalnya jelas-jelas tidak mengadaptasi jurnal yang tidak relevan dengan misinya. Kalaupun ada pengakuan tentang jurnal religius studies, maka yang diangkat juga tulisan yang terkait dengan agama-agama lain.
Ketiga, Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah tentang akreditasi program studi strata tiga. Kenyataannya masih terdapat program studi strata tiga yang belum terakreditasi dengan standart akreditasi B. Ada di antaranya yang masih berakreditasi C. Persoalan akreditasi ini juga menjadi masalah bagi program studi strata tiga yang baru. Sebagaimana diketahui bahwa bagi program studi baru, maka hanya akan memperoleh status akreditasi C, sehingga kalau ada mahasiswa program doktor dari program studi baru tentunya yang bersangkutan tidak akan bisa meraih gelar profesor.
Beberapa dilema ini yang kiranya menjadi persoalan bagi para dosen yang akan menjadi profesor. Jika problem ini tidak diselesaikan melalui perumusan kebijakan yang baru dan memihak kepada para dosen, maka dikhawatirkan bahwa akan terdapat masa kesenjangan di mana jumlah profesor akan terus berkurang. Jadi kiranya diperlukan kearifan di dalam memandang masalah ini.
Wallahualam bisshawab.