SUATU SORE DI UNIVERSITI TEKNOLOGI MALAYSIA
SUATU SORE DI UNIVERSITI TEKNOLOGI MALAYSIA
Senin, 26 Agustus 2013 saya berangkat ke Malaysia dengan pesawat Air Asia. Biasanya kalau saya ke luar negeri pasti dengan rombongan, tetapi kali ini saya berangkat sendiri. Tidak enak juga pergi sendirian. Lebih enak kalau ada kawannya, sehingga bisa bercakap-cakap untuk mendiskusikan sesuatu. Tetapi alhamdullilah bahwa saya sampai di UTM Johor dengan selamat.
Terminal Udara Senai Johor Bahru termasuk terminal udara yang baru saja beroperasi. Kira-kira dua tahun yang lalu. Akan tetapi sekarang sudah ramai dengan penumpang dari dan ke Indonesia. Bandar udara ini kira-kira sama dengan terminal udara di Semarang atau Surakarta. Meskipun demikian, bangunannya lebih minimalis moderen. Bangunannya mirip dengan lapangan udara di Makasar, hanya lebih kecil. Ada tiga ruang untuk turun dari bandara ini, yaitu for foraigner, untuk penduduk asli Malaysia dan untuk second home. Saya tentu memilih yang kedatangan bagi para pendatang bukan penduduk Malaysia. Saya dijemput oleh Prof. Mifedwil Jandra, dosen UIN Jogjakarta yang sudah setahun mengajar di Fakulti Tamaddun Islam UTM. Beliau adalah sahabat saya sewaktu bersama-sama menjadi muridnya Prof. Dr. Parsudi Suparlan, antropolog terkenal Universitas Indonesia, untuk belajar mengenai etnografi dalam program Program Pelatihan Penelitian Agama (PLPA) pada tahun 1990.
Jarak antara bandar udara dengan UTM tentu tidak jauh. Jalanan yang serba tol tentu juga menyebabkan perjalanan menjadi lebih cepat. Saya harus akui bahwa kualitas jalan di Malaysia memang lebih baik dibanding kualitas jalan di Jakarta. Jalan yang serba tol tentu membuat perjalanan lebih nyaman. Jalan menuju ke UTM juga jalan tol. Makanya laju kendaraan juga sangat cepat, kira-kira 120 km perjam. Dengan kendaraan Proton yang menjadi kendaraan wajib bagi pejabat di Malaysia, termasuk di universitas, maka kami menuju ke Schoolar In, hotel yang dimiliki oleh university.
Sebagaimana jalanan di Malaysia, maka di kiri dan kanan jalan tumbuh dengan subur pohon-pohon sawit dan juga pepohonan lainnya yang menghijau. Maklum bahwa di wilayah Johor ternyata masih sering hujan. Selama seminggu saya di sini, maka ada dua kali hujan dengan sangat deras. Makanya pepohonan juga masih sangat menghijau dan kelihatan sangat subur.
Kampus UTM yang sangat luas itu kelihatan bersih dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang beraneka ragam. Saya tidak tahu nama-nama pohon itu. Tetapi saya sungguh menikmati sebuah kampus dengan lingkungan yang indah dan asri menghijau. Agak susah saya menemukan kampus seperti ini di Indonesia. Posisi tanahnya yang berbukit-bukit dengan bangunan yang didesain mengikuti posisi tanahnya menambah keasrian dan keindahan kampus ini.
Kampus yang semula didesain untuk pengembangan teknologi ini dirancang untuk menjadi perguruan tinggi berbasis kebudayaan Melayu. Makanya, struktur bangunannya juga dibuat untuk menggambarkan budaya Melayu yang berbasis agama. Masjid ditempatkan di tengah bangunan kampus, kemudian dilingkari oleh jalan yang diberi nama Lingkar Ilmu, dengan pintu masuk masjid yaitu pintu Iman, Islam dan sebagainya. Di sebelahnya adalah Fakulti Matematika, Fisika dan Kimia serta rektorat. Hal ini menggambarkan bahwa yang ingin dibangun oleh university ini adalah integrasi ilmu, ilmu yang berbasis pada masjid dengan keimanan dan ketakwaan.
Disebabkan oleh rindangnya pepohonan di dalam kampus ini, maka kampus UTM juga menjadi tempat singgah dan menetap burung-burung liar. Jika sore hari maka ada banyak burung yang beterbangan di sekitar hotel kampus. Ada burung Jalak hitam, burung emprit, burung gereja, burung derkuku, burung dara, burung kepodang yang warnanya kuning dan sebagainya. Saya tidak bisa mengenali semua nama burung ini kecuali yang dahulu pernah saya kenal ketika saya masih remaja dan tinggal di pedesaan. Tempat tinggal saya dahulu adalah sebuah desa di wilayah Kabupaten Tuban. Nama burung itu tentu dipengaruhi oleh pengetahuan saya mengenai nama-nama burung tersebut.
Saya menjadi terkenang dengan pengalaman saya ketika masih tinggal di desa dan sewaktu kecil saya. Di desa dulu juga sama, ada banyak burung dengan aneka namanya. Tetapi akhir-akhir ini burung-burung tersebut sudah tidak ada lagi. Akibat banyak orang yang menggunakan senapan angin untuk menembak burung, maka burung tersebut banyak yang tidak bisa lagi berkembangbiak. Sungguh merupakan peristiwa kelam di mana manusia merusak sendiri lingkungannya. Di Malaysia masyarakat dilarang menembak burung. Jika ketahuan, maka akan dihukum dengan hukuman yang berat. Oleh karena itu maka masyarakat tidak mengusik kehidupan burung dan bahkan menjaganya.
Saya kira memang pendidikan lingkungan saja tidak cukup. Dan kiranya juga harus ada law empowerment agar keseimbangan lingkungan akan terjaga. Saya rasa tidak ada salahnya kita belajar dari negara lain tentang pengelolaan lingkungan dan juga mengembangkan kesadaran agar masyarakat menjaga lingkungan.
Wallahualam bisshawab.