• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI RIYAYAN (3)

TRADISI RIYAYAN (3)
Riyayan memang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia tidak peduli apa strata sosialnya. Sebagai tradisi sosial, maka keberadaan tradisi ini menjadi semakin kuat meskipun telah terjadi perubahan sosial yang sangat kentara. Tradisi seperti ini tampaknya tidak akan berubah meskipun perubahan demi perubahan sosial terjadi atasnya.
Salah satu tradisi yang tidak berubah itu adalah tradisi mudik sebagai subsistem kebudayaan masyarakat Indonesia. Bukankah sekarang ini dengan hadirnya teknologi informasi maka sesungguhnya bisa mereduksi terhadap keberadaan tradisi mudik ini. Akan tetapi anehnya bahwa tradisi mudik tetap menjadi pilihan di tengah kepadatan jalan raya dan juga begitu crowdednya kendaraan darat di jalan raya.
Setiap tahun bukannya berkurang jumlah pemudik tersebut, akan tetapi terus bertambah. Kemacetan jalanan bukan berkurang tetapi juga semakin bertambah. Bisa dibayangkan kemacetan jalan yang mengular sepanjang 23 km dan bahkan pada saat puncaknya bisa mencapai 50 km. Perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 6 jam untuk Cirebon Jakarta, maka di saat puncak mudik maka bisa ditempuh dalam waktu 15 jam. Anak saya harus menginap di dalam mobil karena jalanan macet dan tidak lagi bisa bergerak kendaraannya. Tetapi anehnya tahun depan kala hari raya tiba, maka mereka akan mudik lagi dengan kendaraan darat juga. Aneh tapi nyata.
Suatu kenyataan bahwa ada orang yang setiap tahun mudik dengan kendaraan darat. Dari tahun ke tahun mereka memiliki pengalaman yang nyaris sama. Bahkan mereka juga memiliki prediksi tentang bagaimana kemacetan terjadi dan bagaimana cara atau strategi menghadapi kemacetan tersebut. Tancap gas jika suasana jalanan longgar dan bahkan makan saja sopirnya harus disuapi. Jangan berhenti dalam suasana kendaraan tidak padat.
Ada alasan mengapa harus mudik. Pertama, Hari raya adalah momentum untuk berkumpul dengan keluarga. Pada hari raya inilah semua saudara dan kerabat berkumpul meskipun mereka berada di tempat yang berbeda. Bahkan biasanya juga ada pertemuan keluarga yang dikemas dalam bentuk temu kerabat yang dimulai dari kakek atau nenek atau buyut dan seluruh keluarga yang terkait dengan kakek atau nenek atau buyut tersebut. Dalam struktur ke atas, maka susunannya adalah ego, bapak, kakek, buyut, canggah sesuai dengan terma-tema di dalam budaya keluarga Jawa.
Maka di sisi lain juga muncul istilah bani atau keturunan tertentu. Istilah Bani adalah istilah Arab yang sudah diindonesiakan. Lalu dikenal istilah di dalam keluarga saya adalah Bani Ismail yang diambil dari kakek saya sebagai pusat dari turunan keluarga saya secara keseluruhan. Meskipun istilah Bani adalah istilah Arab, akan tetapi sudah diadaptasi sebagai peristilahan di dalam tradisi jawa. Biasanya, istilah Bani dikaitkan dengan tradisi santri yang memang di dalam banyak hal mengadaptasi istilah dari bahasa Arab.
Kedua, Alasan lain adalah ziarah makam. Ada sebuah kebiasaan masyarakat Indonesia yang saya kira juga tidak menjadi tradisi di timur tengah adalah tradisi nyekar atau ziarah makam keluarga. Bahkan ketika orang tua sudah meninggal, maka yang dijadikan sebagai pedoman di dalam tradisi mudik adalah berkunjung ke makam leluhur. Saya juga melakukannya sebab rasanya menjadi tidak etis ketika di dalam suasana riyayan lalu tidak melakukan upacara nyekar ini. Bahkan di tahun ini, maka upacara nyekar itu dipadukan dengan perbaikan terhadap makam keluarga. Di sini lalu ada kegiatan tahlilan, yasinan dan doa untuk mengiringi prosesi penggantian maesan atau tanda makam keluarga tersebut. Ternyata ada setitik kebahagiaan juga kala bisa melakukan perbaikan terhadap makam keluarga.
Ketiga, Alasan lain adalah rekreasi. Jangan dikira bahwa kemacetan itu dianggap sebagai beban kehidupan. Semua yang melakukan mudik sudah tahu persis tentang kemacetan jalan itu. Makanya segala sesuatunya juga sudah diantisipasi. Misalnya membawa makanan kecil, kasur busa, bantal dan juga persiapan kemacetan lainnya. Oleh karena itu bukanlah pemandangan yang aneh jika di tengah kemacetan itu lalu banyak mobil yang berhenti di pinggir jalan lalu mereka tertidur dengan pulas sambil menanti jam keberangkatan lanjutan. Jadi meskipun banyak kesulitan tetap saja mudik dilakukan sebab ada juga unsur rekreasinya. Dengan demikian, mudik berkendaraan akan terus berlangsung di tengah kemacetan dan kesulitan pulang kampung.
Melalui rasionalitas seperti ini maka mudik akan tetap menjadi agenda rutin bagi banyak warga Indonesia, sebab memang memiliki rasionalitasya sendiri. Jadi kita tidak mungkin menghentikan tradisi mudik ini dan yang penting adalah tetap menjaga agar mudik tersebut tetap nyaman dan aman, sehingga mereka yang mudik juga merasa terlindungi.
Wallahualam biasshawab.

Categories: Opini