PUASA DI NEGERI MAGHRIBI
PUASA DI NEGERI MAGHRIBI
Maroko memang dikenal sebagai negeri maghribi. Atau artinya adalah negeri yang terletak di wilayah paling barat di antara negeri Islam lainnya. Jika Al Quran menyebutkan wilayah barat, atau wilayah maghribi, maka yang ditunjuk adalah wilayah negeri Maroko ini.
Dibandingkan dengan jarak wilayah Indonesia dan wilayah Maroko, maka jarak waktunya adalah tujuh jam. Dengan jeda waktu tujuh jam tersebut, maka sangat memungkinkan orang yang bepergian ke wilayah ini maka akan terkena jetlag. Saya kira hampir seluruh anggota rombongan mengalami hal yang sama. Saya juga merasakan hal yang sama dengan lainnya. Apalagi saya yang punya potensi sulit tidur, Maka dapat dipastikan bahwa persoalan jetlag adalah persoalan yang tidak sederhana. Inilah salah satu kerumitan saya di dalam bepergian ke luar negeri yang memiliki jeda waktu yang sangat memadai.
Kepergian saya sebagai bagian dari rombongan Pak Menteri Agama terjadi pada bulan puasa. Biasanya, pada bulan puasa saya menghindari bepergian jauh. Persoalannya tentu adalah kesulitan saya untuk beradaptasi dengan berbagai daerah yang baru, apalagi dengan wilayah yang sangat jauh seperti ini. Dihitung dari jarak waktu, maka Maroko itu segaris dengan waktu di London. Jadi kalau di Maroko jam 06.00 pagi, pada waktu saya menulis ini, maka di London juga memiliki waktu yang hampir sama dengan di sini.
Pak Suryadharma Ali memang memiliki jadwal yang sangat padat di dalam kunjungannya ke berbagai negeri di luar negeri. Sebagaimana bulan yang lalu ketika beliau kunjangan ke Thailand, maka di Maroko juga dengan jadwal yang sangat padat. Ada MoU dengan kementerian Wakaf dan Urusan agama Islam di Maroko, serta kunjungan ke tempat lain.
Sebagaimana yang juga sering saya nyatakan, bahwa problem lain yang selalu saya hadapi di luar negeri adalah persoalan makan. Lidah saya tidak mudah adaptasi dengan berbagai makanan. Dalam nada gurau sering saya nyatakan bahwa pikiran boleh mengglobal, akan tetapi lidah tetap saja lokal. Di bulan puasa seperti ini, maka dua kesulitan itu menjadi problem yang serius bagi saya.
Kepergian saya ke Maroko itu ibaratnya mengejar matahari terbenam. Dengan jarak waktu selama tujuh jam, maka akibatnya puasa menjadi sangat panjang. Di dalam perjalanan, maka sahur di atas wilayah Pakistan dan harus berbuka di Rabat Maroko. Jika diperhitungkan maka puasa di hari pertama kedatangan saya ke Maroko adalah sepanjang 20 jam. Semua memang telah berniat untuk tidak membatalkan puasa. Maka jadilah puasa di Maroko pada hari pertama itu sepanjang 20 jam dan merupakan pengalaman yang mengesankan. Islam memang membolehkan untuk berbuka di dalam suasana perjalanan atau sakit, akan tetapi ada sesuatu yang menggelitik agar terus menjaga puasa sampai tuntas.
Pada bulan Juli, waktu siang di Maroko jauh lebih panjang. Matahari terbenam pada jam 19.45. Sedangkan waktu subuh pada pukul 03.45. Makanya kalau dihitung bentangan waktu puasa adalah sepanjang 16 jam. Jauh lebih lama sepanjang empat jam dibandingkan dengan puasa di negara Indonesia. Tentu saja waktu empat jam bukanlah waktu yang pendek. Artinya, bagi masyarakat Indonesia sudah bisa menikmati saat berbuka puasa, maka umat Islam di Maroko masih harus berjuang menahan lapar dan dahaga dalam waktu empat jam lagi.
Berpuasa sepanjang waktu ini tentu merupakan pengalaman yang sangat penting. Dengan berpuasa jauh lebih lama di negeri orang, dengan makanan yang kurang cocok dengan lidah, dengan aktivitas yang tinggi dan kurang istirahat atau tidur, maka bisa menjadikan kita semakin bersyukur menjadi bagian dari umat Islam yang bermukim di Indonesia.
Saya kira menjadi umat Islam di Indonesia adalah rahmat Allah yang luar biasa. Bisa dibayangkan bahwa puasa sepanjang 16 jam, dengan sengatan udara yang panas dan hawa yang dingin kala malam hari, maka menjadi orang Indonesia adalah kenikmatan yang sangat besar. Ni’matul udzma, kata para ustaz.
Oleh karena itu jika menjadi orang Indonesia kemudian tidak bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan itu, maka rasanya akan menjadi sangat kufur. Bandingkan dengan waktu subuh jam 03.45 di maroko, yang rasanya orang indonesia masih sedang enakan istirahat, maka orang Maroko sudah harus menunaikan shalat subuh. Subuh di Indonesia menandai waktu pagi dan kemudian memulai aktivitas, dan maghrib menandai waktu masuknya malam waktu kita harus istirahat. Perbedaan waktu seperti ini, tentu bisa menjadi kaca benggala betapa waktu menjadi variabel penting di dalam aktivitas kehidupan.
Jadi, memang sudah selayaknya, orang Indonesia bersyukur atas karunia Allah yang berupa waktu yang sangat cocok dan menyenangkan tersebut.
Wallahualam bi alshawab