• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERAGUKAN KEBERSATUAN POLITIS UMAT ISLAM

 Kemarin, Jum’at, 2 Oktober 2009, saya melakukan shalat Jum’at di Masjid Baiturrahman kompleks DPR/MPR. Sayangnya saya datang di masjid itu ketika khutbah sudah dimulai karena baru saja ada acara yang saya ikuti dan selesainya mepet dengan waktu shalat Jum’at. Namun demikian, tentu saja saya masih bisa mengikuti khutbah  yang disampaikan oleh khatib dengan seksama. Masjid itu terasa kurang besar sebab jamaahnya membludak. Bisa saja karena hari itu memang ada pelantikan anggota MPR RI setelah sehari sebelumnya di tempat yang sama juga ada kegiatan pelantikan anggota DPR RI. Sebab semua anggota DPR/MPR terkonsentrasi di sini, maka masjid tersebut penuh sesak. Di tempat itu saya sempat bertemu kawan lama saya, Dr. Ali Maschan Musa, dosen IAIN Sunan Ampel yang sekarang menjadi anggota legislatif dan juga Drs. A. Ruba’i, MSi, alumni IAIN Sunan Ampel yang sekarang juga menjadi anggota legislatif. Pak Ali Maschan berangkat dari PKB dan Pak Ruba’i berasal dari PAN.

Mendengarkan khatib berkhutbah merupakan kewajiban, sebab khutbah adalah salah satu rukun shalat Jum’at. Di masjid-masjid pedesaan, ketika saya kecil selalu saya dengarkan “wa idza qurial qur’ana fastami’u wa ansitu la allakum turhamun. An Abi Hurairata Radhiyallahu anhu, annan Nabiyya Sallalahu alaihi wa sallama qal: idza qulta lishahibika yaumal jum’ati wal imamu yakhtubu faqad laghaut. ansitu was ma’u wa athi’u rahimakumullah.”  Yang artinya kurang lebih: “dan ketika dibacakan al Qur’an, maka dengarkan dan diamlah semoga kalian memperoleh kebahagiaan. Dari Abu Hurairah R.A., sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda “ jika engkau berkata kepada kawanmu pada saat imam berkhutbah, maka sesungguhnya sia-sia. Diamlah, Dengarkanlah dan patuhilah semoga engkau mendapatkan kasih sayang Allah”.

Ada yang menarik dari pengantar khutbah, sayangnya saya tidak tahu nama khatibnya, ketika beliau menyatakan bahwa: “jumlah umat Islam terus meningkat, sekarang sebanyak 1,2 milyar seluruh umat Islam di dunia. Jumlah yang cukup besar, sayangnya meskipun jumlahnya banyak tetapi umat Islam tidak pernah bisa bersatu. Tidak bisa menjadi ummatan wahidah. Akibatnya umat Islam mudah dipecah belah. Umat Islam secara politik tidak memiliki kekuatan. Itulah sebabnya umat Islam menjadi umat yang lemah dalam percaturan politik.

Khutbah Jum’at ini menjadi menarik karena diucapkan di depan anggota DPR/MPR. Ungkapan seperti ini tentu banyak sudah didengar di dalam berbagai even, apakah diskusi, seminar, pelatihan, kampanye partai Islam dan juga khutbah-khutbah. Pertanyaannya adalah apakah umat Islam memang tidak bisa bersatu. Adakah persoalan teks dan tafsir teks yang menyebabkan ketidakbersatuan itu? Dan tentu masih ada sederet pertanyaan yang bisa diungkap terkait dengan pernyataan Khatib shalat Jum’at tersebut.

Sekarang marilah kita lihat realitas politik yang terjadi dari hasil pemilu 2009.   Berdasarkan perolehan suara dalam pilihan umum legislatif, maka diperoleh jumlah anggota DPR tahun 2009-2014 sebagai berikut: Partai Demokrat 148 kursi, Partai Golkar 108 kursi, PDI Perjuangan 93 kursi,  PKS 59 kursi, PAN 42 kursi, PPP 39 kursi, Gerindra 30 kursi, PKB 26 kursi, Hanura 15 kursi. Jika beberapa partai dianggap sebagai representasi partai “Islam” –meskipun tidak selalu—maka PKS, PPP, PAN dan PKB adalah partai yang merepresentasikan Islam. Maka jumlah anggota DPR-nya adalah sebanyak 166 kursi atau hampir sama dengan perolehan Partai Demokrat. Ini artinya jika partai “Islam” bersatu pun kekuatannya hanya setara dengan Partai Demokrat. Tentu saja ini merupakan perolehan politik yang tidak signifikan dalam realitas politik.

Dalam sejarah kepartaian di Indonesia, memang perolehan partai yang berlabel Islam hampir tidak memadai. Baik di masa Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi. Kenyataan ini yang menyebabkan banyak orang pesimis tentang peran partai politik “Islam” dalam percaturan politik di Indonesia. Belum lagi tingkat polarisasi internal dan eksternal partai politik “Islam” tersebut. Sepertinya, dunia politik Indonesia belum ramah terhadap partai politik berbasis keagamaan.

Jika digunakan jarak ideologi antar partai ”Islam” juga sangat berjauhan. PKS dan PKB juga memiliki visi kepartaian yang berbeda. PKS lebih cenderung sebagai partai yang akan memperjuangkan ”negara syariah” sedangkan PKB dan bahkan juga PAN memiliki konsepsi yang berbeda. Demikian pula PPP juga memiliki visi yang ”kurang bisa bertemu” dengan partai ”Islam” lainnya. Makanya, ketika orang berbicara tentang ”partai Islam” pertanyaannya selalu, mana yang disebut sebagai partai Islam. lebih jauh ”Islam yang mana”, atau pertanyaan ”tafsir teksnya apa” dan sebagainya. Oleh karena itu dalam kasus Indonesia, makanya untuk menjadi ummatan wahidah dalam partai politik nyaris tidak bisa dilakukan. Perbedaan ideologi atau jarak partai politik yang jauh yang berbasis atas perbedaan atas tafsir teks tampaknya akan menyulitkan kebersatuan partai politik dimaksud.

Orde Baru yang otoritatif saja juga gagal dalam menyatukan jarak ideologi. Ketika partai berbasis Islam disatukan ke dalam PPP, maka yang lebih banyak adalah konfliknya dibandingkan dengan kebersatuannya. Jadi, tampaknya gagasan ummatan wahidah fis siyasah masih  merupakan political utophia.

Wallahu a’lam bi al shawab.  

Categories: Opini