• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CERAMAH DI MUSHALLA TWENTEE UNIVERSITY

CERAMAH DI MUSHALLA TWENTEE UNIVERSITY
Ketika saya datang ke Universitas Twentee di Enscede, maka oleh ketua perhimpunan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda ditawari untuk memberikan ceramah dengan tema apa saja yang terkait dengan kenyataan empiris di Indonesia. Tawaran itu tentu saja saya terima sekarang-kurangnya untuk berkenalan dengan mahasiswa Indonesia di Belanda. 
Saya datang di kampus ini kira-kira jam 11.00. Lalu saya cari di mana mushallah kampus itu. Ternyata ada di lantai tiga. Mushallah ini juga menjadi tempat untuk shalatnya dari banyak mahasiswa yang beragama Islam. Ketika saya di situ, maka berdatangan banyak mahasiswa untuk melakukan shalat dhuhur. Ada yang dari Malaysia, timur tengah dan juga dari Afrika. 
Yang datang di acara ceramah memang tidak banyak. Hanya ada sebanyak 15 orang. Hal ini terjadi karena acaranya mendadak dan juga diselenggarakan pada waktu jam kuliah. Sesuai dengan sambutan ketua perhimpunan mahasiswa, maka acara ini memang diselenggarakan tanpa publikasi. Hanya disampaikan melalui SMS dan pemberitahuan yang mendadak. Tentu akibatnya adalah jumlah peserta yang tidak banyak. Saya tentu memahami situasi seperti ini. 
Saya secara sengaja memilih tema tentang perkembangan Islam di Indonesia sebagai materi ceramah saya di sini. Saya sampaikan bahwa pasca reformasi ada dua hipotesis yang ditulis oleh Bill Lidle, tentang Islam Indonesia. Dinyatakannya bahwa setelah reformasi maka akan terjadi kecenderungan beragama yang Lebih fundamental. Di tengah semakin demokratis dan terbuka sebuah negara, maka akan menghasilkan kehidupan beragama yang lebih bercorak fundamental. Di sisi lain, Karel Steenbrink justru berhipotesis bahwa era reformasi adalah era kehidupan beragama yang popular. Semakin demokratis dan terbuka sebuah negara maka akan memunculkan agama-agama popular. 
Hipotesis ini ternyata memang menuai kebenaran. Ada sejumlah fakta lapangan yang me jadi bukti tentang kebenaran hipotesis ini. Dewasa ini semakin meningkat kehidupan beragama dalam coraknya yang fundamental. Di Indonesia banyak kejadian yang diasosiasikan dengan gerakan Islam fundamental ini. Di sana sini terdapat berbagai tindakan kekerasan yang di dalam banyak hal dikaitkan dengan tindakan beragama kaum fundamental. Ada demonstrasi, ada sweeping, ada kekerasan yang dipicu oleh tindakan kaum fundamental. Ketika 
Bulan romadlon, maka mereka melakukan sweeping terhadap rumah-rumah makan, warung dan Cafe. Mereka melakukan atas nama agama dan atas nama Allah. Mereka tidak hanya mengingatkan akan tetapi juga dengan kekerasan aktual. Mereka melakukan sweeping dengan pentungan dan benda-benda keras lainnya bahkan juga tidak ragu untuk melakukan perusakan. Ketika melakukan perusakan mereka menggunakan ucapan “Allahu Akbar”. Makanya kemudian menghasilkan sindiran bahwa “Allahu Akbar” itu artinya perusakan. 
Kehadiran Islam hard line ini tentu mengkhawatirkan terhadap pemahaman Islam yang selama ini telah menjadi arus utama keberagamaan di Indonesia. kehadiran  kelompok ini di dalam pemahaman dan praktis keagamaan di Indonesia tentunya merupakan tantangan yang tidak ringan. Selain didukung oleh dana yang kuat juga didukung oleh ideologi keagamaan yang sangat militan. Militansi kelompok ini dikenal luar biasa. Kita tidak akan pernah membayangkan bahwa akan terjadi banyak bom bunuh diri di negeri ini terkait dengan pemahaman agama yang fundamental. Mereka melakukannya dengan kesadaran sebagai
jihad di sabilillah. Jihad karena Allah. 
Di sisi lain, juga terdapat pemahaman keagamaan yang bercorak lokal atau agama 
Popular. Agama popular ditandai dengan pengamalan dan keyakinan agama yang berbeda dengan agama arus utama yang ditafsirkan oleh para tokoh agama sebelumnya. Penafsiran agama memang telah menjadi otoritas kaum officialis agama. Makanya agama popular sering dijukstaposisikan dengan agama official. Agama dalam penafsiran rakyat dan agama da
Am penafsiran tokoh agama. 
Era reformasi memang menjadi lahan yang sangat subur bagi pengembangan pemikiran agama yang berbeda dengan arus utamanya ini. Mereka mengaku beragama Islam, akan tetapi paham dan pengamalan ya sungguh berbeda. Misalnya, ada yang mengajarkan saat dalam bahasa Indonesia, meyakini bahwa dirinya adalah rasul Tuhan, ada yang mengaku memperoleh wahyu dan sebagainya. Di Blitar, Kudus, Jakarta, Sumenep, Sulawesi selatan dan sebagainya muncul berbagai paham keagamaan yang sungguh berbeda dengan agama resmi. Semuanya menggambarkan bahwa ada gerakan lokalisasi agama atau pemahaman agama secara lokal. Gambaran seperti ini memunculkan realitas empiris bahwa masyarakat sedang mengembangkan keyakinan beragamanya sendiri tanpa menganggap 
adanya otorisasi agama dari para tokohnya.
Munculnya berbagai gerakan keagamaan seperti ini tentu saja terkait dengan kenyataan semakin demokratis dan keterbukaan negara dan juga semakin menguatnya posisi HAM dalam kehidupan masyarakat. Kewenangan Pemerintah memang hanyalah sebatas memberikan bimbingan dan pelayanan kehidupan beragama. Sedangkan untuk menentukan apakah sebuah keyakinan itu sah atau tidak, benar atau tidak, maka yang mendasar adalah kewenangan majelis agama-agama. Di Islam misalnya ada MUI atau organisasi keagamaan lainnya. Sedangkan di agama lain, misalnya ada DGI, WALUBI, dan sebagainya. Meskipun lembaga ini bukanlah lembaga fatwa, akan tetapi mereka memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu paham agama itu sesuai atau tidak dengan ajaran agama yang dianutnya.
Melihat pers. Negara di dalam menghadapi berbagai gerakan keagamaan ini, maka ada sementara anggapan yang menyatakan bahwa negara berposisi lemah. Negara tidak sanggup untuk mengatur dan lebih jauh melakukan penetrasi agar gerakan keagamaan tersebut dihentikan atau dihilangkan. Negara tidak kuasa untuk membubarkannya. Inilah yang menyebabkan adanya pandangan bahwa negara lemah di dalam menghadapi gerakan keagamaan yang muncul akhir-akhir ini. 
Pertanyaan yang muncul di acara ini juga menanyakan peran negara di dalam menghadapi gerakan Ahmadiyah yang terjadi akhir-akhir ini. Kenapa negara tidak bertindak tegas untuk membubarkan Ahmadiyah yang memang menyimpang dari ajaran Islam. Pertanyaan seperti ini saya kira layak untuk diungkapkan mengingat bahwa konflik antar masyarakat yang dipicu oleh paham keagamaan ini bisa mengkhawatirkan keberlangsungan negara. 
Hanya saja perlu juga ditegaskan bahwa negara berwenang untuk mengatur kehidupan masyarakat termasuk kehidupan beragama. Negara di dalam hal ini berwenang mengatur ketentraman dan keamanan negara dan masyarakat. Makanya ketika ada kehidupan aagama yang menyebabkan keridaktentraman masyarakat maka negara akan mengatur agar kehidupan masyarakat menjadi tenteram. 
Saya me jadi teringat sewaktu saya membantu Pak gubernur Jawa timur, ketika terjadi kekerasan sosial yang melibatkan Jemaah Ahmadiyah dengan penduduk setempat,  maka gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK Gubernur tentang larangan aktivitas keagamaan yang menyebabkan ketidaktentraman masyarakat. Maka gubernur tidak melarang agamanya akan tetapi aktivitasnya yang menyebabkan masalah sosial.
Kehidupan agama di Indonesia memang semakin semarak. Akan tetapi satu hal yang barangkali harus menjadi perhatian kita adalah semakin fundamentalnya kehidupan keagamaan tersebut, sehingga ketika tidak dimenej dengan seksama bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan terjadi masalah yang lebih besar, terkait dengan relasi antar umat beragama. 
Maka, semua harus mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa relasi antar dan Interen umat beragama ini sambil terus membenahi kerukunan dan keharmonisan beragama.
Wallahu a’lam Bi alshawab. 

Categories: Opini