KESAKTIAN PANCASILA DAN SEJARAH KEBANGSAAN
Kemarin saya terlibat dalam upacara memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2009 di Kantor Grahadi. Pasca reformasi memang gaung hari kesaktian Pancasila tidak lagi seriuh di era Orde Baru (orba). Hal itu tentu saja terkait dengan perubahan orientasi politik pemerintah. Di masa orba pemerintah sangat peduli dengan berbagai peristiwa komunisme, dan ideologi lain yang kontra Pancasila. Namun di era Orde Reformasi, maka perhatian pemerintah terhadap berbagai aliran yang kontra Pancasila nampaknya mengendor. Itulah sebabnya di era reformasi ini tumbuh berbagai ideologi baik yang berbasis agama atau lainnya yang memperoleh ruang gerak yang sangat luas. Maka tak ayal lagi jika kemudian muncul sekelompok orang yang tidak lagi sudi menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Orde Baru memang pernah menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup, artinya tak boleh satupun organisasi sosial politik keagamaan yang boleh menggunakan ideologi selain Pancasila. Pro kontrapun merebak. Pemerintah orba sangat otoritatif dalam rangka mewujudkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa tidak mampu untuk membendung kemauan politik pemerintah ini. Maka semua organisasi harus menerima kenyataan politik tersebut.
Organisasi keagamaan Islam dalam posisi dilematik. Ada yang menerima dan menolak. Pertarungan untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi juga terjadi di hampir semua organisasi sosial keagamaan. NU kemudian menerima Pancasila sebagai asas organisasi melalui Mu’tamar NU di Situbondo tahun 1984 setelah sebelumnya melalui Munas Alim Ulama di pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo disepakati penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut. Muhammadiyah pun kemudian menerimanya. Pada fase berikutnya maka organisasi sosial keagamaan lalu menerima kenyataan politis itu.
Di kalangan organisasi kemahasiswaan, maka semua menerima Pancasila sebagai asas tunggal. PMII, PMKRI, GMKI, GMNI dan HMI juga menerima meskipun membawa konsekuensi munculnya HMI-MPO yang dikomandoi oleh Eggy Sujana. HMI-MPO pun terus hidup meskipun tidak lagi jelas posisinya. Bagi yang tidak mau menerima Pancasila sebagai asas oganisasi, maka harus membubarkan diri. Misalnya Pelajar Islam Indonesia (PII).
Peristiwa 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila memang sebuah konstruksi sosial atas kemampuan bangsa Indonesia untuk memenangkan pertarungan melawan pemberontakan PKI yang ingin menggantikan NKRI yang berdasar atas Pancasila dengan ideologi komunisme. Kegagalan kaum komunis untuk mengubah konsepsi dasar negara melalui Gerakan 30 September yang menewaskan pahlawan revolusi, antara lain: A. Yani, D.I. Panjaitan, M. T. Haryono, Sutoyo, dan lain-lain. Jadi, peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan atas nama HAM, demokratisasi dan reformasi. Reformasi tidak akan bisa mengubah kejadian pemberontakan PKI di Madiun, Pemberontakan PKI tahun 1965. Boleh saja orang menyusun memoar bantahan terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namun harus tetap diyakini bahwa PKI telah melakukan makar terhadap pemerintah Republik Indonesia, NKRI yang berdasar Pancasila.
Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tentu harus melihat sejarah sebagai bagian penting dari perjalanan bangsa ini. Jangan sampai pemikiran kritis kemudian mengarahkannya untuk melupakan sejarah bangsanya. Bukankah Bung Karno pernah menyatakan “jasmerah”, jangan melupakan sejarah. Saya rasa Bung Karno benar, bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar jika bangsa ini tidak melupakan sejarahnya. Sejarah adalah kaca bengggala untuk cerminan masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.