PLURALISME SOSIOLOGIS
Ketika dilakukan upacara seratus hari Gus Dur di Jombang yang disiarkan oleh televisi, maka Gus Sholah menyatakan bahwa ada dua pluralisme yang perlu dijelaskan di hadapan publik terkait dengan Gus Dur ialah pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis.
Banyak orang yang keliru memahami pluralisme ini, yaitu hanya ada pluralisme teologis, dan mengesampingkan pluralisme sosiologis. Gus Dur sejauh yang dipahami adalah penganut pluralisme sosiologis, yaitu keyakinan bahwa antar umat beragama bisa menjalin kerja sama dan bukan penganut pluralisme teologis, yaitu keyakinan bahwa semua agama sama secara teologis.
Di dalam pluralisme sosiologis, maka antar penganut agama bisa saling menyapa dan mengakui dan bahkan bisa bekerja sama dalam kepentingan pembangunan kemanusiaan. Ketika di antara mereka itu bisa melakukan kerjasama bukan berarti bahwa mereka menganggap bahwa ada keyakinan tentang kebenaran agama lain, misalnya di dalam Ajaran Kekristenan bahwa ada Trinitas dan Trinitas itu benar atau di dalam ajaran Hindu bahwa Trimurti dan Trimurti itu benar adanya, akan tetapi meskipun berbeda di dalam keyakinan namun bisa bekerjasama.
Jadi pluralisme sosiologis memandang bahwa di dalam kehidupan sosial yang bervarian-varian ini ternyata memang meniscayakan adanya kehidupan bersama yang saling menyapa, memahami dan bekerjasama. Sejauh yang dilakukan adalah memberikan toleransi dalam berkeyakinan, akan tetapi bukan bertoleransi tentang kebenaran keyakinan.
Jadi keyakinan teologi Islam adalah benar menurut keyakinan orang Islam, keyakinan teologi orang Katolik adalah kebenaran menurut keyakinan orang Katolik, kebenaran teologi orang Hindu adalah kebenaran keyakinan orang Hindu, kebeneran keyakinan orang Budha adalah kebenaran keyakinan orang Budha dan sebagainya. Kebeneran itu diyakini secara interen agama mereka dan yang lain menganggapnya sebagai tidak benar. Oleh karena itu, tidak benar menjadikan pluralisme teologis di dalam melting pot, bahwa semua keyakinan teologis agama adalah benar.
Al Qur’an juga menyatakan bahwa yang dibenarkannya adalah pluralisme sosiologis. Coba disimak ayat yang menyatakan: “sesungguhnya kami ciptakan kamu sekalian dari lelaki dan perempuan, dan kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulya di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu”. Betapa jelasnya ayat ini menggambarkan pluralisme sosiologis itu. Bahwa diciptakan kita semua sebagai lelaki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal atau memahami.
Jadi yang dimaksudkan di sini adalah gambaran agar kita saling mengenal dan memahami bahwa secara sosiologis bahwa manusia memang memiliki varian yang berbeda dalam banyak hal. Ada kulit berwarna, ada kulit putih, ada kulit kuning dan sebagainya. Ada yang beretnis Mongoloid, Kaukasoid, dan sebagainya. Semua digambarkan dalam kerangka pluralisme sosiologis itu.
Akan tetapi dalam hal teologis Al Qur’an menyatakan yang paling mulya adalah yang paling taqwa, artinya bahwa di sini ada batas teologis yang jelas. Bertaqwa artinya melakukan amalan agama sebagaimana yang diajarkan oleh agama yang diyakini kebenarannya, yaitu agama Islam. Di dalam hal ini ada taqwanya orang awam, ada taqwanya orang berilmu dan ada taqwanya orang arif billah. Namun semua didasarkan pada keyakinan agama yang benar sesuai dengan pesan agamanya.
Menganggap bahwa semua agama memiliki kesamaan teologis tentu tidak tepat sebab setiap agama mengajarkan bahwa agamanya saja yang benar. Jadi tidak tepat ketika lalu orang bisa menyatakan bahwa doktrin teologis agama-agama sesungguhnya sama.
Yang dibenarkan adalah menyatakan bahwa setiap agama memiliki doktrin teologis yang berbeda dan hal tersebut dianggap sebagai kenyataan historis dan sosiologis, sehingga antara yang satu dan lainnya bisa saling berkomunikasi dan membangun relasi yang saling memahami.
Oleh karena itu, Islam menganjurkan agar para pemeluknya bisa berkomunikasi dengan lainya berdasar atas sunnatullah bahwa manusia memang memiliki perbedaan dalam banyak hal dan kemudian saling memahami untuk membangun kehidupan yang lebih beradab dan berkeadilan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
