• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

POSISI STRATEGIS KEMENTERIAN PDT

 Pada hari Selasa, 29 September 2009, saya diundang untuk menjadi narasumber di TVONE terkait dengan program pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal. Mestinya yang harus menjadi narasumber utama adalah Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Ir. HM. Lukman Edy, Msi, namun karena beliau ada tugas lain di Senayan yang tidak dapat ditinggalkan, maka yang menggantikan  adalah Sekretaris Kementerian PDT, Ir.Lucky Hari Korah. Pembicaraan tentang kemiskinan, terutama di daerah tertinggal menjadi sangat penting mengingat bahwa problem kemiskinan masih mendera kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, kira-kira 17,75% atau sekitar 40 juta dari populasi masyarakat Indonesia.

Memang harus diakui bahwa problem masyarakat daerah tertinggal ternyata tidak sederhana. Masih terdapat kesenjangan yang tinggi terkait dengan persoalan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, infrastruktur dan aksesibilitasnya dibandingkan dengan wilayah lain yang relatif lebih maju. Mereka yang tertinggal ini terutama di daerah pulau terluar, wilayah pesisir, daerah perbatasan dan daerah kantong kemiskinan yang juga terdapat di Jawa atau tempat lain. Daerah ini bukan tidak memiliki potensi untuk berkembang, namun karena sekian lama tidak tersentuh oleh kebijakan yang cenderung ke wilayah perkotaan, maka jadilah wilayah ini tidak sempat berkembang secara memadai. Baru di tahun 1999 ketika Gus Dur menjadi Presiden, maka wilayah timur Indonesia kemudian menjadi prioritas kebijakan melalui menteri muda urusan percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia. Kemudian di era Presiden berikutnya, maka posisinya ditingkatkan menjadi kementerian negara seperti yang dapat dilihat sekarang.

Posisi kementerian ini sungguh sangat strategis sebab di dalam kerangka mengentas kemiskinan masyarakat Indonesia ini harus ada leading sector yang menjadi tumpuan di dalam pengentasan kemiskinan dimaksud. Hingga tahun 2005 di Indonesia masih terdapat sebanyak 199 kabupaten yang tertinggal dari sebanyak 440 kabupaten di Indonesia. Dari 199 kabupaten tersebut maka sebanyak 26 di antaranya adalah di wilayah perbayasan dengan negara tetangga, Malaysia, Singapura, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini. Posisi strategis tersebut tentu tidak berlebihan mengingat bahwa pembangunan nasional hakikatnya adalah pembangunan seluruh kawasan dan bangsa Indonesia, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.

Posisi leading sector tentu juga tidak berlebihan sebab di dalam kerangka menangani kemiskinan di wilayah tertinggal, maka seharusnya ada sebuah kementerian yang memiliki akses langsung melalui program yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Sehingga berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan secara sektoral seharusnya berada di dalam koridor kepentingan kementerian ini. Ada banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang anggarannya berada di berbagai departemen. Makanya, agar anggaran tersebut menjadi satu kesatuan maka perlu ada koordinasi, integrasi, simplifikasi dan  sinkronisasi (KISS) yang jelas dan terukur.

Wilayah perbatasan tentu menjadi arus utama di dalam kerangka pengentasan kemiskinan ini, sebab seharusnya wilayah perbatasan juga termasuk wajah depan Indonesia. Wilayah perbatasan seharusnya didongkrak ke arah percepatan. Jika program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang digagas oleh KPDT dapat didukung oleh semua instansi pemerintah, maka dalam tahun-tahun ke depan akan dapat dilihat perubahan yang signifikan.

Satu hal yang penting bahwa dalam lima tahun terakhir ini, program yang dilaksanakan oleh KPDT telah memiliki dampak positif baik langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Sekurang-kurangya di akhir tahun 2009 berdasarkan laporan dinyatakan sebanyak 50 kabupaten bisa naik kelas, bukan kabupaten tertinggal. Hal ini berarti bahwa kemiskinan bisa dieliminir sedemikian rupa.

Melalui proses pengarusutamaan dan pembangunan masyarakat yang bercorak bottom up atau pelibatan masyarakat maka ada proses positif yang menonjol. Masyarakat sendiri melalui bantuan fasilitator akan menentukan apa sesungguhnya kebutuhan mereka sehingga mereka akan merasakan hasil dari proses pembangunan tersebut. Bahkan tidak jarang masyarakat memberikan sumbangan tenaga dalam proses pembangunan, misalnya program pengerasan jalan melalui program percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan daerah  tertinggal (P2IPDT).

Makanya yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana seluruh program percepatan pembangunan daerah tertinggal tersebut mendapatkan dukungan dari semua pihak, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan juga negara-negara donor sehingga tujuan mulia untuk mengentas kemiskinan akan menjadi semakin cepat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini