• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PLURALISME TEOLOGIS

Sesungguhnya pemikiran pluralisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah pluralisme teologis yang menjadikan relativisme sebagai basis pemikirannya. Di dalam pluralisme relativisme maka ada anggapan bahwa semua agama sama, utamanya dari sisi teologisnya. Ada basis doktrin teologis yang sama antar agama. Jika yang dimaksudkan haram adalah pemikiran seperti ini, maka saya rasa ada kebenaran di dalamnya.
Saya ingin membicarakan tentang pluralisme teologis di dalam kerangka memberikan gambaran ketidakmungkinan untuk menyamakan doktrin agama-agama dalam satu kesatuan yang diyakini sama-sama kebenarannya. Setiap agama mengusung keyakinan teologis yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Jika keyakinan teologis itu dianggap sebagai ontologis atau basis pengetahuan tentang Tuhan, maka dapat dipastikan bahwa secara ontologis tentu tidak mungkin untuk menyatakan bahwa basis pengetahuan tentang Tuhan itu sama antara satu agama dengan lainnya. Setiap agama mengajarkan basis pengetahuan bahwa Tuhannya adalah yang diyakini kebenarannya oleh agamanya itu.
Islam mengajarkan bahwa bahwa Islamlah agama yang benar. Agama Kristen Protestan, Katolik juga menyatakan bahwa agamanyalah yang benar. Demikian pula Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya. Setiap agama memiliki klaim kebenaran yang tidak bisa ditawar. Ditambah atau dikurangi. Hanya agamanya saja yang benar. Yang lain salah, masuk neraka, terkutuk, kafir dan seterusnya.
Secara ontologis lalu bisa dinyatakan bahwa pemikiram tentang doktrin kesamaan agama-agama tidak memiliki basis yang kuat. Teks ajaran agama menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Jadi tidak ada tawaran-tawaran teologis tentang keyakinan agama-agama ini.
Teks suci yang dijadikan sebagai pedoman di dalam kerangka untuk memahami ajaran agama jelas menyatakan bahwa doktrin agama memang berbeda antara satu dengan lainnya, dan puncaknya adalah “bagimu agamaku dan bagimu agamamu”. Doktrin ini memberikan gambaran bahwa puncak perbedaan itu, ketika untuk menyamakan doktrin dalam satu doktrin sudah tidak mungkin lagi dilakukan, maka yang dinyatakan adalah kita memilih jalan yang berbeda.
Jalan yang berbeda terwadahi di dalam epistemologi agama yang mengandaikan bahwa agama-agama memiliki jalan yang berbeda. Ada banyak jalan ke Roma. Akan tetapi jalan yang berbeda tersebut sesungguhnya untuk mencapai satu Tuhan. Namun demikian, Tuhan tersebut adalah Tuhan dalam konteks keberagamaan mereka. Yaitu Tuhan dalam agama Islam, Tuhan dalam agama Katolik, Tuhan dalam agama Protestan, Tuhan dalam agama Hindu, Budha dan sebagainya.
Secara epiatemologis bahwa jalan untuk mencapai Tuhan memang beraneka ragam sesuai dengan ajaran agamanya. Ada yang menawarkan melalui jalan perang atau jihad ofensif, ada yang menawarkan melalui jalan gnosis, ada yang menawarkan melalui jalan spiritual, ada yang menawarkan melalui jalan formal dan sebagainya. Semua ditujukan untuk memahami tentang Tuhan dalam kesesuaiannya dengan ajaran agamanya.
Pluralisme teologis yang diusung oleh beberapa tokoh semacam Anand Khrisna tentu tidak tepat, sebab hal ini mengingkari keyakinan agama yang secara teologis tidak bisa disatukan. Demikian pula penafsiran tentang keberagamaan para sufis tentang pengalaman agamanya juga tentu tidak bisa diklaim begitu saja untuk menjadi bukti empiris bahwa mereka adalah orang yang memiliki pengalaman teologis-pluralis.
Misalnya, Jalaluddin Rumi, Al Hallaj, Zinnun al Mishri dan sebagainya yang sering dijadikan sebagai rujukan untuk menggambarkan pluralisme teologis kiranya perlu diuji kembali agar kita tidak jatuh ke dalam justifikasi yang keliru.
Saya kira kita memang tidak bisa menolak pluralisme sosiologis karena memang hal itu adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari, akan tetapi kita harus menolak pluralisme teologis yang mencoba untuk menyamakan doktrin agama-agama yang memang seharusnya berbeda.
Ungkapan KH. Hasyim Muzadi, yang menyatakan “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan” adalah ungkapan bijak untuk memahami dimensi pluralisme agama-agama ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini