MERUMUSKAN RUUPT YANG BERBASIS RAKYAT
Ketika saya pertama kali terlibat di dalam perumusan RUUPT dalam kapasitas sebagai rektor IAIN Sunan Ampel, maka kesan saya yang pertama bahwa RUUPT ini memiliki dua hal penting, yaitu pertama, sebagai kelanjutan dari UUBHP yang sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dan kedua, mengandung dimensi pemikiran positivistik yang sekuler.
Bukti pertama adalah dengan masih dicantumkannya status perguruan tinggi berbadan hukum yang merupakan kata kunci untuk memahami bahwa RUUPT ini adalah metamorposis UUBHP yang sudah dianulir oleh MK. RUUPT memberikan peluang bagi beberapa PT yang sudah terlanjur menjadi BHMN untuk meneruskan pola pengembangan PT tersebut dalam status BHP versi baru.
Mesti secara samar, maka sesungguhnya RUUPT ini didasari oleh keinginan untuk mengembalikan BHP dalam versi lain, makanya di dalam RDP pertama, saya sudah menyatakan bahwa RUUPT ini harus mengembangkan keberpihakannya kepada masyarakat. Dan saya kira untuk kepentingan ini, maka status perguruan tinggi berbadan hukum harus dihilangkan di dalam RUUPT.
Dalam perjalanan panjang, maka RUUPT ini kemudian menghaluskan istilah perguruan tinggi berbadan hukum dengan istilah status perguruan tinggi berotonomi penuh atau yang memiliki kemandirian penuh artinya dapat mengelola secara penuh terhadap aset-asetnya. Dan lebih jauh juga memisahkan asetnya dari aset negara. Misalnya tanah atau bangunan yang ada di atasnya. Aset PT otonom penuh dapat dipisahkan dari aset negara.
Memang ada keinginan yang masih kuat membelenggu di dalam pikiran para perumus RUUPT untuk menjadikan perguruan tinggi maju itu apabila sudah menjadi perguruan tinggi yang otonom dan tidak hanya otonom di dalam bidang akademik, akan tetapi juga otonom di dalam mengelola asetnya. Tentang otonom di dalam mengelola akademiknya tentu saja sesuatu yang sah dan bahkan didorong secara maksimal, akan tetapi otonom secera utuh tanpa ada sedikitpun peran pemerintah di dalam pengembangan PT juga tidak mungkin. Misalnya di dalam perumusan regulasi tentang keberpihakan PT pada kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Saya menyadari bahwa untuk merumuskan RUUPT yang memenuhi kepentingan semua golongan atau stakeholder tentu sangat sulit. Misalnya juga untuk memenuhi kepentingan PT yang sudah berbadan hukum. Katakanlah misalnya kepentingan UI, UGM, UNAIR, ITB, IPB dan sebagainya. Mereka ini adalah PT yang sudah merasakan manfaat menjadi PT BHMN yang memiliki kemerdekaan di dalam mengelola asetnya dan mendayagunakan asetnya secara maksimal tanpa ada sedikitpun intervensi pihak lain. Sebagaimana perusahaan, maka tentu secara lincah dapat mengembangkan PTnya secara mandiri.
Itulah sebabnya orang seperti Darmaningtyas, menyatakan bahwa jangan ada kastanisasi pengelolaan PT dengan sebutan ada yang otonom, setengah otonom dan sebagainya. Sebab ketika sudah ada pembedaan pengelolaan PT, maka ketika itu sudah ada perlakuan yang berbeda dengannya. Suatu contoh yang jelas, tentang Sekolah Berstandar Internasional, maka di sana lalu ada kastanisasi. Pemdidikan sebagai sesuatu yang natural kemudian distrukturkan menjadi seperti itu. SBI lalu diberi anggaran besar, SPPnya mahal, dan bisa menarik uang dari masyarakat semaunya sendiri. Ini tidak adil, sebab yang bisa sekolan di SBI pasti hanya anaknya orang kaya. Lalu di mana pemihakan kepada yang miskin.
Sebangun dengan SBI, maka PT yang otonom penuh juga akan memberlakukan konsepsi ini. Jika ini yang terjadi, maka keberpihakan RUUPT ini terhadap masyarakat miskin tentu tidak ada.
Wallahu a’lam bi al shawab.
