MEMBINCANG RUUPT
Di hotel Borobudur, beberapa saat yang lalu dilakukan Rapat Koordinasi untuk membahas tentang RUUPT yang dilaksanakan kerjassma antara Kementerian Agama dan Panja RUUPT Komisi X DPR RI. Acara ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran dan mencermati terhadap RUUPT yang dalam waktu dekat akan diselesaikan oleh DPR sebagai penggagas RUUPT ini.
Acara ini dihadiri oleh sejumlah anggota Panja yang selama ini sudah menghasilkan draft RUUPT dan juga tim Ahli Komisi X, para rektor UIN, IAIN dan Ketua STAIN serta sejumlah pejabat kementetian agama yang memiliki konsern terhadap keberadaan pendidikan di kementerian agama. Hadie juga aebagai narasumber adalah Dirjen Pendidikan tinggi Kemendikbud, Prof. Dr. Djoko Santoso yang mantan Rektor ITB.
Di dalam pengantar diskusi saya sampaikan bahwa sikap yang diambil oleh para rektor dan ketua STAIN adalah mempertahankan keberadaan UIN, IAIN dan STAIN dalam jajaran Kementerian Agama. Sikap ini diambil dalam salah satu pertemuan para pimpinan PTAIN di Makasar dan menghasilkan rekomendasi yang secara meyakinkan berkehendak seperti itu. Bahkan juga draft pernyataan sikap itu sudah disampaikan kepada Ketua Panja DPR, Syamsul Bachri.
Kementerian agama memang secara postural berbeda dengan kementerian lain dalam jajaran kabinet pemerintahan di Indonesia. Semenjak semula, Kementerian Agama memang memperoleh mandat lebih dibanding kementerian teknis lainya, yaitu sebagai penyelenggara pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Makanya, selain tupoksinya sebagai kementerian yang mengurus masalah agama, maka kementerian agama memiliki tugas tambahan sebagai penyelenggara pendidikan.
Sesuai dengan tugasnya tersebut, maka keberadaan pendidikan di Kementerian Agama memiliki dasar filosofis dan historis yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Mungkkn orang akan berpikir bahwa melalui reformasi akan dijebol semua tatatan yang sudah ada dan melembaga. Akan tetapi penjebolan tersebut tentu saja tidak harus mengebiri sejarah dan filosofis yang dijadikan sebagai landasan di dalam melakukan program untuk membantu pemerintah di dalam pencerdasan kehidupan bangsa.
Dengan demikian, keinginan untuk mereduksi kementerian agama dari dunia kewenangan menyelenggarakan pendidikan tersebut, sesungguhnya mengandung makna tidak ada sejarah yang mesti dipertahankan dan juga tidak perlu dasar filosofis bagi Kmenetrai Agama untuk mengembangkan pendidikan dalam kehidupan riil. Ternyata masih ada sekelompok orang yang menganggap bahwa soal sejarah hanyalah soal masa lalu dan tidak lagi harus diperhatikan di era reformasi.
Bagi kami, sikapnitu tegas. Yaitu mempertahankan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan dan pendidikan yang mendukung terhadap pengembangannya, misalnya penguatan progran integrasi ilmu, atau Islamisasi ilmu yang semakin menguat kecuali memberikan peran yang nyata kepada Kementerian Agama untuk menyelenggarakan pendidikan dengan ciri sebagaimana tersebut.
Program ini dapat dilaksanakan melalui penguatan tidak hanya aspek kepemimpinan yang harus care terhadapnya akan tetapi juga SDM dan program yang sangat mendasar. Untuk kepentingan mengembangkan program ini, maka yang bisa mengenbangkannya adalah Kementerian Agama, yang selain memiliki kewenangan di bidang agama dan juga otoritas di bidang pendidikan. Jika dua otoritas ini bisa dilakukan secafa maksimak, maka ke depan akan didapatkan pengenbangan ilmu keislaman multidisipliner yang akan jauh lebih berdaya guna dan berkembang.
Oleh karena itu, kami berkeyakinan bahwa dengan tetap mengembangkan penyelenggaraan pendidikan, maka Kementerian agama akan dapat mengembangkan ilmu keislaman multidisipliner yang lebih komprehensif.
Wallahu a’lam bi al shawab.
