ADAKAH ILMU AGAMA?
Saya sesungguhnya tidak habis pikir, bahwa masih banyak para cerdik cendekia kita yang tidak mau tahu bahwa Ilmu Agama itu ada. Hal ini terjadi di dalam perbincangan di seputar RUUPT yang akhir-akhir ini sedang dibicarakan. Saya selama ini meyakini bahwa istilah ilmu agama itu sudah clear dan semua memahami bahwa keberadaan Ilmu Agama itu sebagai sesuatu yang tidak usah diperdebatkan.
Ternyata bahwa keberadaan ilmu agama itu belum memperoleh pengakuan dari guru besar lain yang pikirannya memang mengambil contoh dan dipengaruhi oleh cara berpikir barat. Jadi filsafat dasar untuk mendasarkan pemikirannya adalah dari pemikiran barat. Mereka ini adalah para guru besar yang di dalam banyak hal berada di dalam universitas umum yang memperoleh bahan pemikiran barat dengan segala kekuatan yang menopangnya.
Jika menggunakan filsafat positivistik, maka memang tidak pernah ada pertemuan antara sains dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berbasis pada filsafat positivistik memang selalu beranggapan bahwa ilmu pengetahuan akan dianggap benar jika dapat dinyatakan kebenarannya melalui observasi dan pengukuran. Jika tidak dapat dinyatakan melalui dua hal ini maka bukanlah dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Para guru besar yang berpaham positivistik ini kemudian akan mempertanyakan tentang apakah ilmu agama itu benar adanya. Pandangannya tentu saja berangkat dari realitas bahwa agama itu adalah wahyu Tuhan yang tidak bisa diobservasi. Dan sebagai konsekuensinya, maka ilmu agama juga tidak bisa dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan. Pandangan kaum positivistik yang seperti itu tentu saja akan menafikan tentang keberadaan ilmu agama.
Peristiwa yang menarik ini bukan berada di ruang kuliah akan tetapi berada di dalam sidang Panja RUUPT. Artinya bahwa masih ada di antara kita itu yang menganggap bahwa tidak ada ilmu agama. Agama tidak bisa diilmukan, begitulah kira-kira pandangannya. Ada alasan mereka yang menyatakan bahwa ilmu agama itu tidak memenuhi persyaratan ilmu yang harus memiliki obyek materia. Bagaimana agama yang suci dan bersumber dari wahyu Tuhan tersebut dijadikan sebagai obyek materi atau subyect matter ilmu pengetahuan, di mana hal tersebut berasal dari wahyu Tuhan.
Wahyu Tuhan kata para penganut posotivisme merupakan sesuatu yang tidak bisa diobservasi dan diukur. Bagaimana akan mengukur keberadaan Allah atau mengobservasi keberadaan Allah. Tentu sesuatu yang mustahil. Makanya, sejauh yang bisa dipahami oleh kaum positivisme adalah hal-hal yang bersifat bendawi atau gejala alam yang observable atau gejala sosial kemasyarakatan yang memang bisa juga diobservasi atau juga diukur. Wahyu adalah dunia keyakinan. Jadi tidak bisa dijadikan sebagai obyek kajian keilmuan. Begitulah pikiran mereka.
Ada satu hal yang saya kira harus dijelaskan kepada mereka yang skeptis terhadap keberadaan ilmu agama. Yaitu bahwa ilmu agama sesungguhnya sudah memiliki obyek materinya sendiri, yaitu agama yang ada di dalam teks-teks suci agama-agama. Jadi bukan wahyu yang suci yang dijadikan sebagai obyek kajiannya akan tetapi adalah teks suci yang ada di dalam kehidupan manusia ini. Jadi bukan al Qur’an yang ada di dalam alam agama suci akan tetapi al Qur’an yang sudah hidup di dalam dunia kemanusiaan.
Al-Qur’an dalam teks yang bisa dibaca adalah sesuatu yang bisa menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan. Jadi melalui pandangan seperti ini, maka dunia agama yang suci akan tetap bisa dijadikan sebagai obyek materia ilmu pengetahuan, sebab yang dikaji adalah bagaimana orang memahami tentang teks agama yang suci tersebut.
Jadi ada dunia teks yang dogmatis yang harus dipahami oleh manusia apa adanya, dan ada teks suci yang bisa dipahami oleh manusia melalui proses pemahaman dan penafsiran para ahlinya. Jadi pada kawasan penafsiran itulah Ilmu Agama akan berada.
Wallahu a’lam bi al shawab.
