• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI COLOKAN DI JAWA

 Tradisi colokan juga sangat khas Jawa. Dari namanya saja sudah kelihatan kalau ini merupakan tradisi Jawa yang sangat khas. Sama seperti tradisi-tradisi yang berkaitan dengan bulan puasa, maka tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan kapan dimulainya tradisi ini. Namun demikian, saya berkeyakinan bahwa tradisi  ini juga dapat dikaitkan dengan keberadaan walisanga sebagai penyebar Islam di Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya. Dan secara lebih khusus tradisi ini juga bisa dikaitkan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memang memiliki cara berdakwah yang sangat khas.

Tradisi colokan dilakukan oleh masyarakat pedesaan Jawa untuk menandai datangnya maleman, yaitu malem selikur (waktu berbuka puasa ketika puasa sampai hari ke 20) dan malem songolikur (waktu berbuka puasa ketika puasa sudah sampai hari ke 28). Penyebutan istilah malem terkait dengan posisi bulan, sebab puasa menggunakan sistem lunar (bulan), sehingga penyebutannya menjadi malem, artinya ketika bulan terbit ke tanggal tertentu. Dalam istilah-istilah Jawa dikenal malem selikur, tuwang, malem telu, tuwang, malem selawe, tuwang, malem pitu, tuwang dan malem songo. Jadi kebanyakan penyebutannya bukan malem telulikur, malem pitulikur dan malem songolikur. Tuwang digunakan untuk menyebut malem rolikur, malem patlikur, malem nemlikur, malem wolulikur.  

Di dalam upacara maleman sebenarnya juga terdapat suatu aktivitas yang dinamakan colokan, yaitu membakar colok di pojok-pojok rumah. Colok dibuat dari potongan kayu-kayu kecil yang di salah satu ujungnya dibalut dengan kain lalu dicelupkan ke dalam minyak tanah. Colok tersebut kemudian dibakar dan ditancapkan di tanah. Di tahun 60-an, tradisi colokan itu masih dilakukan di pedesaan-pedesaan Jawa. Saya sangat antusias untuk melaksanakan tradisi colokan tersebut. Bagi saya waktu itu, tradisi colokan itu semacam mainan bagi anak-anak kecil. Sambil berlarian saya dan keluarga saya menyalakan colok di pojok-pojok rumah. Jumlahnya pun ganjil tergantung tanggal pelaksanaannya. Jika malem selikur, maka jumlahnya 21 dan jika malem songolikur, maka jumlahnya 29. Sayangnya tradisi colokan tersebut kini sudah tidak lagi dilakukan sebagai pertanda  peringatan malem-malem lailatul qadar tersebut. Berbeda dengan upacara megengan yang masih dilestarikan di kalangan masyarakat pedesaaan.

Tradisi colokan berasal dari kata colok yang berarti dihidupkan atau ditunjukkan atau ditonjok. Dalam makna ini, maka colok mengandung makna mencolok hati atau kalbu terutama menghadapi bulan ramadlan. Orang diingatkan kembali tentang pelaksanaan puasa, khususnya menjelang malam diturunkannya lailatul qadar.  Jadi sesungguhnya colok mengandung makna simbolik bahwa di hari menjelang malam lailatul qadar, maka semua hati ditonjok atau ditunjukkan agar ingat tentang malam yang sangat disakralkan.

Sebagai upacara simbolik, maka colokan bisa dimaknai agar orang menjadi ingat bahwa puasa sudah memasuki hari-hari penting, yaitu sepertiga terakhir bulan puasa yang disebut sebagai saat maghfiroh atau saatnya ampunan Allah diberikan kepada umat manusia. Colokan bisa dikaitkan dengan datangnya malam lailat al qadar. Yaitu malam yang bagi siapa yang beribadah kepada Allah maka akan memperoleh pahala seperti melebihi beribadah seribu bulan. Allah menegaskan di dalam al Qur’an, “lailat al qadri khairun min alfi syahrin”. Yang artinya kurang lebih: “malam al qadar lebih baik dari pada seribu bulan”.

Berdasar atas ayat Qur’an ini, maka banyak kaum muslim yang memburu malam lailatul qadar, terutama di malam-malam ganjil. Mereka beri’tikaf (berdiam sambil berdoa, shalat dan sebagainya) di masjid dari sore hari sampai menjelang subuh. Akan tetapi bagi orang Jawa, malem-malem ganjil tersebut dilakukanlah upacara selamatan untuk menjemputnya yang biasanya dilakukan di mushalla atau bisa juga di rumah masing-masing. Upacara yang sangat sederhana dan tidak mengandung kerumitan.

Upacara colokan dengan menggunakan api yang berarti lambang pembakaran. Bisa dimaknai sebagai pembakaran atas dosa atau kesalahan. Bisa juga dimaknai pemberian kecerahan di saat datangnya malam yang gelap. Dengan demikian, berbagai tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa terutama yang terkait dengan puasa hakikatnya adalah sebagai upacara untuk melakukan introspeksi diri di tengah nuansa ampunan dan keselamatan yang sesungguhnya menjadi keinginan mendasar umat manusia.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini