• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REFORMULASI PENDIDIKAN ISLAM

Di dalam kerangka memperingati Hari Amal Bakti Kementetian Agama RI, maka diselenggarakan acara seminar dengan tema “Reformulasi pendidiksn Islam Yang Lebih Ramah terhadap Perdamaian”. Acara yang digelar oleh Kementerian Agama ini menghadirkan nara sumber Prof. Dr. Sugiyarto, Prof. Dr. Kacung Marijan dan Prof. Dr. Musdah Mulia serta saya yang menjadi pembicara sekaligus menutup acara ini.
Di dalam presentasi yang saya sampaikan bahwa ada dua tantangan yang menjadi pekerjaan rumah kementerian agama dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Tantangan internal kita adalah adanya pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan Islam itu berada di second grade atau pendidikan kelas dua. Sementara itu yang first class atau kelas satunya adalah lembaga pendidikan umum di bawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tantangan pendidikan Islam, sebagaimana yang sering saya ungkap adalah tantangan sistemik pendidikan Islam, seperti rendahnya kualitas lembaga pendidikan Islam atau juga adanya jarak kualitas lembaga pendidikan Islam antara yang satu dengan lainnya. Ada yang berkualitas sangat unggul sementara itu juga ada yang berkualitas sangat rendah. Semuanya menggambarkan bahwa ada tantangan untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam agar di satu sisi jarak kualitasnya semakin mendekat atau kualitasnya sendiri semakin kuat.
Lalu, yang tidak kalah penting adalah tantangan akses pendidikan yang masih rendah. Hal ini tentu disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang menjadi penopang bagi perluasan akses. Di PTAI masih dijumpai kenyataan belum semua standar nasional pendidikan terpenuhi. Di sana-sini masih dijumpai adanya kekurangan sarana dan prasarana pendidikan yang sangat mendasar. Misalnya perpustakaan, laboratorium dan sebagainya. Selain juga kualitas dosen atau staf akademik yang masih harus ditingkatkan ke depan melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai.
Tantangan kedua adalah tantangan eksternal. Yaitu semakin kuatnya penetrasi faham keagamaan yang condong radikal. Berdasarkan temuan penelitian digambarkan bahwa anak-anak setingkat sekolah menengah, terutama sekolah negeri, justru menjadi semakin radikal. Mereka lebih mengenal tokoh-tokoh Islam radikal, seperti Imam Samodra, Amrozi, dan sebagainya sebagainya tokoh yang menperjuangkan Islam.
Saya kira diperlukan studi yang kritis untuk memahami perubahan perilaku keagamaan pada anak-anak setingkat sekolah menengah di dalam kerangka untuk memahami bagaimana perilaku keberagamaannya. Jangan-jangan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa aktivis tersebut memang benar adanya. Ada sebanyak 14 persen siswa sekolah menengah negeri yang menganggap bahwa perjuangan Imam Samodra adalah benar adanya.
Penelitian ini yang saya rasa akan menjadi data base tentang bagaimana seharusnya pembinaan para siswa tersebut harus dilakukan. Jangan-jangan guru-gurunya yang memang sudah terjangkiti virus radikalisme. Anak-anak program ilmu eksakta yang sudah menjadi bagian dari sistem radikalisme agama juga cenderung menjadi guru. Cobalah kita lakukan kajian terhadap sekolah-sekolah unggulan di kabupaten dan kota, maka yang kebanyakan menjadi guru atau yang mendirikan lembaga pendidikan unggulan adalah mereka yang berlatarbelakang pendidikan eksakta. Pernyataan ini memang masih sebatas hipotetis, akan tetapi berdasarkan common sense, maka rasanya ada pembenaran terhadap pernyataan ini.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan pendidikan berbasis keramahan dan toleransi, maka tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan dunia pendidikan kita kepada pendidikan dan pengajaran berbasis Islam yang rahmatan lil alamin.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini