MENJADI AGEN ISLAM INDONESIA
Di dalam wisuda sarjana STAINU Jakarta, maka saya diminta untuk memberikan orasi ilmiah atau tepatnya memberikan sambutan. Kira-kira sebagai Dirjen Pendis baru maka saya diminta untuk memberikan sambutan di situ. Ini adalah kunjungan saya pertama sebagai Dirjen Pendis ke lembaga pendidikan tinggi swasta di Jakarta.
Momentum seperti ini mengingatkan saya di masa lalu ketika saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV tahun 2001 sampai 2004 dan kemudian juga menjadi Koordinator Kopertais Wilayah IV tahun 2009 sampai 2012. Kala itu tentu saya sering datang ke PTAIS untuk pembinaan atau untuk kegiatan lainnya. Saya sungguh merasa senang di tengah orang-orang yang berjuang untuk Islam melalui pendidikan tinggi. Mereka adalah orang yang hanya berpikir bagaimana mengembangkan pendidikan Islam untuk bangsa.
Dari pergaulan saya di PTAIS itulah saya memahami bahwa masih banyak orang Indonesia yang sesungguhnya berjuang untuk Indonesia. Jika dihitung, berapa mereka memperoleh honorarium dari perguruan tinggi dengan jumlah murid yang sangat terbatas. Mereka adalah orang yang hanya berpikir tentang pengabdian kepada agama, nusa dan bangsa.
Makanya pemerintah harus berterima kasih kepada orang-orang seperti ini, sebab pemerintah tentu tidak mampu untuk menyelenggarakan semua program pendidikan dalam semua jenjang dan tingkatan. Melalui peran serta masyarakat, maka pendidikan dapat menjangkau seluruh kepentingan masyarakat untuk mengikutinya.
Di dalam sambutan saya, maka saya sampaikan bahwa para sarjana yang dilahirkan dari rahim pendidikan NU maka harus menjadi agen bagi pengembangan Islam rahmatan lil alamin. Islam ala ahli sunnah wal jamaah. Yaitu Islam yang mengembangkan moderasi Islam dalam sikap dan tindakan keagamaannya. Yang dipahami bukanlah Islam ala negara lain, akan tetapi Islam dalam konteks keindonesiaan.
Di dalam hal ini, maka yang paling mendasar adalah bagaimana menjadi orang Islam yang toleran dalam konteks sosial saja, akan tetapi kuat dalam akidah dan ibadah. Namun demikian, kekuatan Iman dan Islam tersebut tidak membelenggu dirinya di dalam relasinya dengan manusia lainnya meskipun berbeda ras, suku dan agamanya.
Menjadi agen berarti menjadi pemuka dan penyebar Islam yang mengedepankan tidak hanya ukhuwah Islamiyah akan tetapi juga ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah islamiyah dibangun di atas pondasi ketauhidan dan keislaman, sedangkan ukhuwah basyariyah dibangun di atas nilai kemanusiaan. Artinya bahwa bingkai persaudaraan ini adalah nilai humanitas. Sedangkan ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan berbasis pada rasa kebangsaan dan nasionalisme. Jadi sebagai umat Islam, maka yang sangat mendasar adalah menjadikan dirinya tidak hanya sebagai umat Islam, akan tetapi juga sebagai masyarakat Indonesia dan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sarjana NU haruslah menjadi kader bagi pengembangan Islam ala ahli sunnah wal jamaah dalam arti luas. Makanya jangan pernah para alumni STAINU itu melupakan tradisi yang selama ini dikembangkan oleh NU. Tradisi yasinan, tahlilan, barjanjenan, asyrakalan dan sebagainya adalah tradisi yang harus terus dikembangkan seirama dengan kemajuan zaman dan perubahan sosial.
Melihat terhadap kenyataan ini, maka sungguh sangat pantas jika para alumni STAINU akan dapat menjaga terus berlangsungnya Islam Indonesia yang mengenbangkan konsep Islam rahmatan lil alamin. Saya berkeyakinan bahwa dengan adanya agen yang seperti ini, maka Islam Indonesia akan terus berjaya.
Wallahu a’lam bi al shawab.