Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI MEGENGAN DI JAWA

 Tradisi Megengan memang sangat khas Jawa. Tradisi ini biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Jika saya menulis mengenai tradisi ini sekarang, tentu dengan maksud bahwa Islam Jawa memang memiliki sekian banyak tradisi yang khas dalam implementasi Islam. Tradisi ini sungguh-sungguh merupakan tradisi indigenius atau khas,  yang tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan ala kadarnya untuk menandai akan masuknya bulan puasa yang diyakini sebagai bulan yang suci dan khusus.

Sama dengan tradisi-tradisi lain di dalam Islam Jawa, maka tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan mengawali pelaksanaannya. Tetapi tentu ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh walisanga khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Memang hal ini baru sebatas dugaan, namun mengingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Jawa terutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif tersebut kebanyakan datang dari pemikiran Kanjeng Sunan Kalijaga, maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan.

Megengan secara lughawi berarti menahan. Misalnya dalam ungkapan megeng nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya. Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam. Para walisanga memang mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bervariasi.

Nafas Islam memang sangat kentara di dalam tradisi ini. Dan sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan agar seseorang bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah, nafsu yang digerakkan oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar sendiri dan menang sendiri. Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau egoisme yang paling sering meninabobokan manusia. Setiap orang memiliki sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan untuk mempertahankan diri. Namun jika nafsu ini terus berkembang tanpa dikendalikan, maka justru akan menyesatkan karena seseorang akan jatuh kepada sikap ”sopo siro sopo ingsung” atau sikap yang menganggap dirinya paling hebat, sedangkan yang lain tidak sama sekali. Nafsu amarah merupakan simbolisasi dari sifat egoisme manusia dalam berhadapan dengan manusia atau ciptaan Tuhan lainnya. Kemudian nafsu lawwamah atau nafsu biologis atau nafsu fisikal, yaitu nafsu yang menggerakkan manusia untuk sebagaimana binatang yang hanya mementingkan nafsu biologisnya saja atau pemenuhan kebutuhan fisiknya saja. Nafsu ini memang penting sebab tanpa nafsu ini maka manusia tidak akan mungkin untuk mengembangkan diri dan keluarganya. Manusia butuh makan, minum, berharta, dan sebagainya. Namun jika hanya ini yang dikejar maka manusia akan jatuh ke dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya saja tanpa mengindahkan kebutuhan lainnya yang juga penting. Maka yang menjadi penyeimbang di antara kebutuhan egoistik dan biologis tersebut adalah nafsu mutmainnah, yaitu nafsu keberagamaan atau etis yang mendasarkan semua tindakan berbasis agama. Nafsu mutmainnah inilah yang akan mengantarkan manusia agar sampai kepada Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an: ”irji’i ila rabbiki radliyatan mardliyah, fadkhuli fi ’ibadi fadkhuli jannati”, yang artinya kurang lebih adalah ”kembalilah kepada Tuhan dengan ridla dan diridlai, masuklah ke dalam hambaku dan masuklah ke dalam surgaku.” Ayat ini menegaskan bahwa yang bisa menjadi hamba Allah dan bisa memasuki surganya adalah hambanya yang diridlai karena telah memasuki nafsu mutmainnah. Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa melalui kemampuan untuk menahan nafsu amarah dan lawwamah dan berikutnya mengembangkan nafsu mutmainnah, maka manusia akan selamat di dalam kehidupannya.

Memang para walisanga mengajarkan Islam melalui simbol-simbol budaya. Hanya sayangnya bahwa yang ditangkap oleh masyarakat Islam hanyalah simbolnya belaka. Padahal jika yang ditangkap itu tidak hanya simbolnya tetapi juga substansinya, maka sesungguhnya ada pesan moral yang sangat mendasar. Misalnya tradisi megengan dan colokan tersebut. secara substansial merupakan simbolisasi bahwa puasa adalah hari di mana seseorang harus menahan nafsu dan terus dicolok agar jangan sampai keliru dalam melakukan tindakan di bulan puasa.

Dengan demikian, berbagai macam tradisi yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat –khususnya—masyarakat Jawa jangan dipandang dari sudut asli atau tidak ketidakaslian ajaran Islam, tetapi marilah dibaca bahwa memang ada varian-varian di dalam mengekspresikan Islam itu melalui tradisi yang dikonstruksi oleh mereka sendiri.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini