MEMBANGUN AKSES PENDIDIKAN
Sebagaimana yang sering saya tulis, bahwa pendidikan adalah medium penting bagj pengembangan kualitas SDM di Indonesia. Begitu pentingnya pendidikan tersebut, maka seakan-akan bahwa tidak ada peningkatan kualitas SDM tanpa pembangunan pendidikan. Saya kira semua memahami bahwa pendidikan memang memegang kunci penting bagi pengembangan kualitas manusia.
Jika berbicara tentang pendidikan, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana mengembangkan akses pendidikan terutama di dalam kerangka peningkatan daya tampung pendidikan. Salah satu kendala di dalam meningkatkan akses pendidikan adalah rendahnya daya tampung pendidikan dimaksud. Yaitu keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan dan juga rendahnya jumlah program studi yang dapat diakses oleh masyarakat.
Di antara problem yang sangat mendasar adalah bagaimana meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi sebab hingga sekarang tingkat partisipasi kasar tersebut masih berkisar di bawah 25 persen. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, maka di sana APK pendidikan tinggi sudah mencapai 95 persen. Dengan demikian terdapat keadaan ketertinggalan yang sangat jauh.
Melalui APK tersebut, maka pantaslah jika Korea Selatan maju sangat pesat, sebab seluruh anak mudanya yang berusia pendidikan tinggi sudah memasuki pendidikan tinggi. Sedangkan di Indonesia baru berada pada kisaran angka 21-25 persen. Rendahnya APK pendidikan tinggi ini, tentu saja terkait dengan akses memasuki pekerjaan yang belum berimbang.
Keadaan ini juga diperparah oleh kebanyakan akses lembaga pendidikan di Indonesia yang lebih banyak pada pendidikan akademik, sehingga aspek kesiapan pada dunia kerja juga sangat terbatas. Di Indonesia kebanyakan lembaga pendidikannya adalah bercorak pendidikan akademik. Hal ini berbeda dengan negara maju, seperti Australia, Jepang, Korea Selatan dan sebagainya yang kebanyakan pendidikan tingginya mengusung pendidikan vokasional.
Sebagai institusi pemerintah yang mengemban fungsi pendidikan, maka Kementerian Agama juga memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan akses pendidikan dimaksud. Di Kementerian Agama terdapat lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai pendidikan tinggi. Meskipun jumlahnya tidak sebesar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun sumbangannya bagi peningkatan kualitas SDM tentu tidak diragukan. Di Kementerian Agama, misalnya untuk lembaga pendidikan tinggi terdapat sebanyak 53 PTN dan terdapat kira-kira 500-an PTAIS. Sementara itu di Kemendikbud terdapat sebanyak 2880-an PT, baik negeri maupun swasta.
Dari PT yang bernaung di Kemenag, maka aksesnya juga sangat terbatas. Selain itu juga program studinya yang bercorak kurang variatif. Jika digambarkan, maka terjadi ketidakseimbangan yang sangat mencolok. Terkait dengan lapangan kerja, maka yang paling dominan adalah program studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hampir seluruh PTAI memiliki program studi ini. Bahkan jika dikalkulasi, maka hampir separoh jumlah mahasiswa PTAI adalah mahasiswa fakultas tarbiyah.
Ke depan, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana mengembangkan variasi program studi yang relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan juga pengembangan keilmuan Islam multidisipliner. Misalnya bagi lembaga pendidikan yang selama ini telah mengembangkan kajian tahfidzul qur’an, maka ke depan harus mengembangkan progran studi yang terkait dengan ilmu al Qur’an. Demikian pula lainnya.
Tentu diharapkan ada sebuah diskusi yang sangat serius untuk menentukan nomenklatur baru untuk mewadahi perkembangan baru tentang perluasan akses pendidikan tinggi Islam dalam kerangka membantu peningkatan APK perguruan tinggi.
Wallahu a’lam bi al shawab.