ILMU EKONOMI ISLAM EMPIRIK ATAU NORMATIF
Di dalam perbincangan tentang ilmu ekonomi Islam di Konsorsium Ekonomi Islam (EKI) di Gedung Representative IDB Indonesia di Kementerian Keuangan, 11/01/2012, maka juga ada pembicaraan yang menarik menyangkut apakah ilmu ekonomi Islam itu empirik atau normatif. Pertanyaan ini datang dari para pakar di bidang ilmu ekonomi konvensional yang memang memiliki basis keilmuan dasar yang positivistik.
Menurut pandangan kaum positivisme bahwa ilmu hanya dapat dinyatakan sebagai ilmu jika memenuhi kaidah empiris, yaitu empiris sensual. Fakta-faktanya bisa diobservasi dalam ruang dan waktu. Makanya, sesuatu yang tidak bisa diobservasi secara memadai, tentu tidak bisa dinyatakan sebagai ilmu.
Di dalam pandangan kaum positivistik, maka obyek yang dijadikan sebagai sasaran kajian adalah sesuatu yang empiris faktis. Artinya harus bisa diukur, dijadikan sebagai variabel, indikator dan yang lebih penting adalah mengikuti kaidah semua harus berawal dari teori, yang di dalam konsepsi metodologis disebut dengan siklus Wallace. Yaitu dari teori ke hipotesis ke empiri ke generalisasi empiri dan ke teori lagi. Jadi setiap penelitian yang berbasis pada pandangan kaum positivistik harus menggunakan logika metodologis seperti ini.
Problem yang dihadapi oleh ilmu ekonomi Islam dalam pandangan kaum positivistik adalah problem logika metodologis yang tidak mudah diuraikan ini. Dalam pandangan kaum positivistik, Ilmu ekonomi Islam tidak berangkat dari landasan empirisisme seperti ini, tidak berangkat dari teori besar yang telah menjadi mainstream di dalam kajian ilmu ekonomi dan bahkan juga momot nilai yang diturunkan dari ajaran agama.
Makanya, ilmu ekonomi Islam ditempatkan di ruang pojok di luar ilmu ekonomi. Di dalam hal ini, universitas umum membuka program studi ekonomi Islam hanya semata-mata untuk merespon pasar tentang booming sistem perekonomian yang berbasis syariah, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, dan sebagainya.
Sebagaimana juga pernah saya jelaskan bahwa ketika Ilmu Ekonomi Islam dikaji di PTAIN, maka akan lebih bersearah dengan kajian fiqh, sebab para ahli atau dosennya kebanyakan adalah ahli fiqih. Jadi tidak salah jika kemudian yang diajarkannya adalah ilmu fiqih atau hukum ekonomi. Di sisi lain, maka yang di fakultas ekonomi yang diajarkannya adalah ilmu ekonomi konvensional yang di dalam banyak hal adalah ilmu ekonomk positivistik.
Di dalam kenyataannya, maka yang dikembangkan oleh UIN/IAIN adalah ilmu ekonomi normatif, sedangkan yang di fakultas ekonomi umum adalah ilmu ekonomi konvensional. Jadi, ada jurang pemisah yang tegas antara ilmu ekonomi yang berkembang di PTAIN dan PTU.
Itulah sebabnya, ada anggapan bahwa ilmu ekonomi Islam tersebut adalah ilmu ekonomi yang status keilmuannya belum jelas karena menggunanakan logika deduksi sebagai permulaan untuk mengembangkan keilmuannya. Corak normativitasnya menjadi sangat mengedepan. Oleh sebab itu, persyaratan empiriknya menjadi kurang jelas. Itulah sebabnya ada pertanyaan dari para ahli ilmj ekonomi, bahwa ilmu ekonomi Islam itu normatif.
Terhadap pertanyaan ini, maka sesungguhnya ada sebuah statemen yang menarik bahwa logika deduksi ketika dijadikan sebagai sasaran penelitian, maka haruslah dijadikan sebagai kenyataan empiris dan tidak dijadikan sebagai norma. Akibatnya, konsep Islam tentang ekonomi lalu harus dijadikan sebagai realitas empiris dan bukan sebagai hukum-hukum. Untuk kepentingan ini, maka jika norma atau ajaran yang sudah dijadikan sebagai sasaran penelitian, maka jika salah maka bukan substansi ajarannya, akan tetapi adalah fenomena teks tersebut ketika hidup di masyarakat.
Tentu akan bisa didiskusikan tentang pandangan ini sehingga akan menjadi agenda untuk mengkaji dimensi ontologis dan epistemologisnya. Jika hal ini bisa didiskusikan, maka suatu ketika akan didapatkan jawaban tentang keilmuan ekonomi Islam yang empiris tetapi berbasis pada normativitas teks yang kokoh dan mendasar.
Semua ini tentu menjadi bahan diskusi para ahli ekonomi Islam di masa sekarang dan yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.