INDONESIA BUKAN NEGERI KEKERASAN
Indonesia kita ini memang sedang dirundung masalah. Salah satu di antara masalah tersebut adalah tentang kekerasan sosial dengan nuansa yang bervariasi. Ada kasus kekerasan fisik aktual seperti kasus penembakan di Aceh, kasus tanah di Mesuji dan yang terakhir adalah kasus kekerasan di Sampang.
Memang kasus demi kasus ini adalah kekerasan sosial akan tetapi nuansanya bermacam-macam. Ada yang bernuansa ekonomi sebagaimana di Mesuji. Ada yang bernuansa politik atau kekuasaan seperti di Aceh. Dan ada juga yang bernuansa agama seperti di Sampang. Namun jika ditelusuri lebih mendalam, maka hanya ada satu kunci yang menjadi motif penyebab, yaitu kepentingan.
Tentang kasus di Sampang, maka sebenarnya bukanlah kasus agama yang melibatkan Sunni dan Syii sebagai penggolongan keagamaan masyarakat Islam dan juga Islam Indonesia. Akan tetapi adalah konflik yang dipicu oleh otoritas keagamaan lokal yang kemudian ditarik ke atas secara vertikal, bahwa seakan-akan adalah kasus relasi intern umat beragama. Karena ditarik ke atas tersebut, maka kasus ini menjadi menginternasional.
Hanya sayangnya bahwa para Ulama pun memberikan justifikasi bahwa yang terjadi adalah kekerasan yang dipicu oleh relasi sunni-Syii, sehingga menjadikan umat semakin meneguhkannya. Semestinya diantisipasi jangan sampai terjadi kekerasan demi kekerasan yang melembaga. Ulama kita itu terkenal dengan sikap dan tindakannya yang bercorak negarawan.
Jika kita runut sejarah, betapa para ulama kita pada masa lalu itu merelakan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu karena pemahamannya yang mengatasi ruang dan waktu dan menafikan kepentingan individu dan kelompoknya untuk kepentingan bangsa yang lebih mendasar.
Jika peristiwa menghilangkan tujuh kata tersebut terjadi sekarang, maka kesepakatan seperti itu tidak akan terjadi karena ternyata kita lebih mementingkan urusan kelompok dan golongan daripada urusan negara dan bangsa. Jadi benar apa yang dinyatakan Soekarno, “Jasmerah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita tentu merasa prihatin, bahwa di tengah keinginan untuk membangun bangsa ini, ternyata masih dinodai dengan kekerasan demi kekerasan yang bernuansa bermacam-macam tersebut. Dan tentu akibatnya adalah tudingan dunia internasional bahwa kita adalah bangsa dan masyarakat yang mengembangkan kekerasan dan juga negeri yang tidak aman.
Padahal sesungguhnya kita ini memiliki falsafah dasar di dalam kehidupan, yaitu rukun, harmoni dan selamat. Kehidupan yang nikmat itu adalah kehidupan yang didasari oleh kerukunan, keharmonisan dan berujung pada keselamatan. Lalu pertanyaannya dimanakah gerangan falsafah kehidupan masyarakat tersebut. Apakah karena pengaruh faktor eksternal yang menyebabkannya sehingga falsafah kehidupan bangsa ini bisa tereduksi sedemikian jauh.
Oleh karena itu, kiranya diperlukan kearifan semua komponen masyarakat bangsa untuk menilai ulang terhadap tindakan kita selama ini dan jika ternyata sudah menyimpang dari rel falsafat bangsa maka kemudian secara beramai-ramai kita kembalikan kepada relnya yang benar. Kita perlu kembali kepada jalan yang lurus.
Semua harus kembali kepada fungsi kita. Negara harus hadir untuk melindungi masyarakat. Para ulama menjadi pengayom masyarakat. Birokrat menjadi pelayan masyarakat dan sebagainya. Jika kita bisa saiyek saiko kapti, hulupis kuntul baris dan semua berfungsi pada perannya masing-masing dalam satu tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi kerukunan, harmoni dan keselamatan, maka Indonesia akan menjadi negara yang aman dan damai.
Jadi kita harus menolak tudingan negara lain tentang ketidakamanan Indonesia dengan tindakan kita yang nyata tentang keamanan Indonesia. Hanya dengan kembali kepada falsafah kehidupan bangsa itu kita akan dihargai oleh bangsa lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.