• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETUPAT LEBARAN

 Ketupat Lebaran  juga merupakan tradisi yang unik dan khas Indonesia. Tradisi ketupat lebaran sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun tidak diketahui mulai semenjak kapan tradisi kupatan ini menjadi tradisi lebaran di Indonesia, namun sudah merupakan tradisi yang given dari satu generasi ke generasi berikutnya. Baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan menyelenggarakan acara kupatan lebaran sebagai penanda berakhirnya puasa dan memasuki kehidupan baru berikutnya.

Sama dengan tradisi-tradisi Islam Nusantara lainnya, kupatan juga merupakan tradisi yang sudah institutionalized di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan di  dalam dunia wisata kuliner juga sering disebutkan hidangan ketupat dengan opor ayam, hidangan ketupat dengan tahu dan telor ayam, dan jenis makanan lainnya yang dihubungkan dengan ketupat. Semua ini menandai bahwa ketupat sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Tradisi ketupat lebaran kiranya dapat dikaitkan dengan peran para wali, terutama walisongo dalam penyebaran Islam di Indonesia. Saya menduga bahwa tradisi kupatan juga sudah ada pada zaman pra-Islam Nusantara, sebagaimana tradisi selamatan yang juga sudah ada dan berkembang di Indonesia. Namun tradisi kupatan kemudian memperoleh sentuhan baru di zaman penyebaran Islam oleh Walisongo di dalam kerangka untuk menghadirkan tradisi yang akomodatif atau akulturatif di dalam masyarakat Jawa dan Nusantara pada umumnya.

Dari sisi bahasa, kupatan (bahasa Jawa) kiranya berasal dari kata Kaffatan (Bahasa Arab) yang memperoleh perubahan bunyi dalam ucapan Jawa menjadi kupatan. Sama dengan kata barakah (bahasa Arab) menjadi berkat (bahasa Jawa) atau wudlu (bahasa Arab) menjadi ulu atau udlu (bahasa Jawa) dan salama (bahasa Arab) menjadi selamet (bahasa Jawa). Jika memang demikian, maka secara istilahi dapat dinyatakan bahwa kupatan adalah simbolisasi dari berakhirnya bulan puasa dan menandai terhadap kesempurnaan atau kaffatan di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Jadi tradisi kupatan sebagai penanda terhadap keislaman manusia yang sudah sempurna. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an disebutkan: “udkhulu fi al silmi kaffatan, wa la tattabi’u khuthuwat al syaithon, innahu lakum ‘aduww al mubin”. Yang artinya kurang lebih “masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara sempurna dan jangan kamu ikuti jalannya syetan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata”.

Dalam gambaran para waliyullah itu, bahwa kupatan adalah simbolisasi seseorang yang sudah memasuki Islam secara sempurna. Indikasinya sudah melaksanakan puasa sebagai tazkiyat al nafs, melaknsakan zakat sebagai tazkiyat al mal dan juga hablum min al nas dalam wujud saling silaturrahmi untuk meminta maaf kepada sesama manusia. Orang yang seperti ini maka digambarkan sebagai orang yang kaffah, sempurna. Kehidupannya telah memasuki dunia fitrah, suci dalam konsepsi keberagamaan.

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya memiliki kekhasan tradisi dan bisa saja tradisi tersebut sangat berbeda dengan tradisi di negara asal Islam. Arab  Saudi atau dunia Timur Tengah tidak memiliki tradisi ini. Dan tentunya tradisi seperti ini juga tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan-tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah tradisi atau kebudayaan lokal yang memiliki keterkaitan dengan agama (Islam). Dengan demikian, kupatan tidak bisa dihukumi sebagai ”penyimpangan” dari tradisi besar Islam (great tradition) yang berasal dari Timur Tengah. Bahkan kalau menggunakan konsepsi saya dalam ”Islam Pesisir” disebut sebagai  tradisi Islam kolaboratif, yaitu tradisi yang muncul sebagai akibat adanya dialog panjang antar berbagai penggolongan sosial dalam memandang terhadap tradisi Islam lokal.

Tradisi kupatan di dalam masyarakat Nusantara sekaligus juga menjadi bukti bahwa menjadi Islam tidak berarti membabat habis seluruh tradisi yang selama ini sudah ada, akan tetapi mengisinya dengan substansi Islam sehingga nuansa Islam yang saling menyapa dengan tradisi lokal adalah suatu keniscayaan. Melalui proses seperti inilah maka Islam dapat diterima dengan cara damai, sehingga Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Indonesia dan bahkan Islam terbesar di dunia.

Wallahu a’lam bi al shawab.        

Categories: Opini