IN MEMORIUM PROF BISRI AFANDI
Saya masih ingin menulis tentang Prof. Bisri Afandi, guru saya, yang wafat beberapa hari yang lalu. Keinginan saya untuk menulis tentang beliau didasari oleh rasa hormat saya atas sikap akademis sebagai seorang guru dan kepemimpinannya yang sangat menonjol di dalam pengembangan kelembagaan di IAIN Sunan Ampel.
Sebagai seorang dosen, maka tidak ada yang meragukan kapasitas akademiknya. Makanya, beliau memiliki kewibawaan akademik yang diakui oleh komunitas ilmiahnya. Sebagai seorang dosen, maka beliau tergolong dosen yang memiliki wawasan keilmuan yang sangat baik. Selain menguasai dunia akademik di bidang pemikiran Islam, juga memiliki kemampuan di bidang sosiologi agama. Melalui kajian sosiologi agama yang diajarkannya kepada saya, maka kemudian mengantarkan saya sebagai asistennya dalam dua atau tiga tahun. Pelajaran yang dapat kami petik adalah kemudian saya dapat belajar tentang teori-teori sosial yang sekarang menjadi ladang kajian saya.
Jadi jika ditanyakan kepada saya, siapa orang yang berpengaruh untuk mengantarkan saya menjadi guru besar di bidang sosiologi, maka secara substansial saya akan menyatakan Prof. Bisri Afandi adalah orangnya. Saya sebut secara substansial sebab beliau yang mengenalkan saya di bidang ilmu ini dan kemudian dipercaya pula sebagai asistennya. Jika Prof. Ramlan Surbakti dan Prof. Sutandyo mengajarkan kepada saya secara struktural, maka Prof. Bisri adalah yang memberi roh dan semangat yang luar biasa.
Sebagai seorang guru, beliau sangat menginginkan agar saya bisa sekolah di luar negeri. Di dalam suatu kesempatan, beliau menyesalkan saya yang kuliah di dalam negeri untuk mengambil program Strata dua dan Strata tiga. Ketika saya meminta tanda tangan untuk persetujuan mengikuti program Strata dua, maka beliau nyatakan bahwa semestinya saya mengambil program Strata dua di luar negeri. Ada kewibawaan yang diperoleh dari pendidikan di luar negeri. Begitu tukasnya. Akan tetapi beliau tetap gembira ketika saya memperoleh gelar doktor dan kemudian dalam waktu yang cepat dapat meraih gelar profesor.
Sebagai seorang pemimpin perguruan tinggi, beliau dapat dinyatakan berhasil. Ada inovasi monumental yang dihasilkannya. Salah satunya yang sangat menonjol adalah Masjid Ulul Albab. Masjid ini dibangun oleh masyarakat dan dunia usaha. Seluruh dana pembangunannya diperoleh dari mereka. Kala itu, tahun 1980-an, maka anggaran pembangunan sebesar dua milyar adalah jumlah uang yang sangat besar. Dan 80 persen di antaranya dibantu oleh Pak Azis direktur utama, Surabaya Post. Jadi hal ini menunjukkan bahwa hubungan beliau dengan kaum pebisnis sangatlah luar biasa. Masjid Ulul Albab adalah masjid kampus terbesar di Indonesia pada tahun-tahun tersebut. Untuk mengawali pembangunan masjid ini, maka beliau pernah cerita bahwa dilaksanakan ritual istighosah selama 40 hari secara terus menerus.
Tidak hanya dengan dunia pengusaha beliau memiliki jaringan yang kuat. Akan tetapi dengan pemerintah atau birokrat lintas instansi juga sangat baik. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan beliau di bidang Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Beliau adalah penatar P4 tingkat Nasional. Makanya, beliau memiliki jaringan yang sangat baik dengan instansi di luar lembaganya.
Ketika beliau menyusun disertasi tentang Ahmad Soorkati, maka saya dimintanya untuk menemukan referensi di beberapa perguruan tinggi. Di antaranya adalah UGM dan Universitas Pajajaran. Di sana ada beberapa hasil penelitian tentang Ahmad Soorkati. Bersyukur bahwa disertasi tersebut dapat saya temukan.
Dari ungkapan di atas, maka ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Yaitu bahwa pimpinan perguruan tinggi harus memiliki kewibawaan akademis dan juga kemampuan membangun jaringan dengan berbagai kalangan. Dan melalui dua kemampuan ini, maka perguruan tingginya akan dikenal dan menghasilkan karya monumental yang tidak akan pernah dilupakan orang.
Wallahu a’lam bi al shawab.