BELAJAR DARI PEMAKAMAN PARA TERORIS
Memang rasanya tidak ada pemberitaan yang menarik akhir-akhir ini selain membicarakan tentang terorisme. Semua media mengungkapkan tentang gerakan terorisme dalam berbagai anggelnya. Radio, televisi, koran dan majalah banyak yang membicarakan tentang terorisme sebagai sisi menarik dunia jurnalistik. Perbincangan yang menarik akhir-akhir ini adalah tentang rencana pemakaman para teroris, seperti Urwah, Adib dan Mistam. Ada pro kontra di kalangan masyarakat tentang nasib akhir atau pemakaman mayat-mayat teroris tersebut.
Pemberitaan tentang gerakan terorisme menjadi mengedepan pasca terbunuhnya Noordin M Top dan tiga rekannya tersebut. Berbagai media melakukan investigasi secara mendalam tentang gerakan Islam garis keras dimaksud. Bahkan Jawa Pos, koran besar di Indonesia juga perlu membuat liputan khusus tentang base camp para penganut Islam militan di Mangindanao (Filipina Selatan) selama lima hari berturut-turut (JP, 25/09/09). Jawa Pos memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana para pengaut Islam militan tersebut hidup dan mempertahankan wilayahnya sebagai wilayah yang dianggap sebagai basis pertahanan gerakan sosial-politik Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Perlakuan terhadap mayat para teroris memang membelah masyarakat dalam dua kutub yang berbeda. Yaitu melarang pemakaman mayat teroris dengan alasan bahwa kaum teoriris tidak pantas dan layak dimakamkan di tempat pemakaman umum di masing-masing wilayah. Mereka telah membunuh sesama umat manusia dan bahkan bangsanya sendiri. Sementara itu sebagian lain menganggap bahwa memakamkan mayat adalah bagian dari ajaran Islam yang harus dilakukan. Alasannya bahwa mayat harus segera dimakamkan sebagai perintah dalam ajaran Islam.
Kelompok yang setuju pemakaman jasad teroris menginginkan mayat segera dikubur dan melakukan tanda tangan persetujuan. Jumlahnya pun cukup banyak, 2000 orang. Sementara itu kelompok yang anti pemakaman terhadap pelaku teror melakukan demonstrasi dan memasang spanduk-spanduk anti gerakan terorisme. Bahkan di dalam liputan TV swasta nasional juga digambarkan bahwa kedua kelompok ini hampir saja berbaku hantam untuk saling membenarkan tindakannya.
Bagaimanapun harus dipahami bahwa tindakan para teroris memang meninggalkan luka yang tidak tersembuhkan bahkan menjadi semacam architype atau pengalaman priskhologis yang tidak terlupakan. Makanya ketika banyak di antara mereka yang antipati terhadap para teroris adalah suatu keniscayaan. Sedangkan yang menginginkan agar mayat para teroris segera dikubur juga tidak sepenuhnya salah, sebab menguburkan mayat adalah tanggungjawab orang yang masih hidup. Hal ini menjadi wajib kifayah dan jika mayat tidak dikuburkan –siapapun dia—maka seluruh masyarakat di sekitar wilayah itu akan berdosa.
Lalu pembelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus seperti ini? Pertama, kaum teroris ternyata menyulitkan orang di masa hidupnya, organisasi sosial keagamaan bahkan pemerintah dan dunia internasional. Melalui tindakan pengeboman yang dilakukannya maka ribuan nyawa melayang dan tentu saja membuat keluarga korban akan sulit memaafkannya. Makanya jika kemudian ada penolakan yang keras tentang tempat pemakaman yang bersangkutan tentunya sangat rasional.
Kedua, para teroris itu juga menyulitkan orang dan masyarakat ketika meninggal. Keluarganya mengalami kesulitan ketika akan memakamkannya. Penolakan masyarakat tentang tempat pemakaman tentu juga akan meninggalkan trauma psikhologis bagi keluarganya. Belum lagi cibiran masyarakat tentang sebutan keluarga teroris tentu juga akan menjadi masalah di dalam internal keluarganya.
Ketiga,Tindakannya yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan dalam bentuk teror bom juga menyulitkan terhadap para elit agama yang selama ini mengedepankan pesan agama yang damai. Tindakan para teroris tersebut juga menyebabkan stigmatisasi agama mengandung tafsir kekerasan.
Keempat, kekerasan akan menyebabkan terjadinya siklus kekerasan. Berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh mereka yang menentang terhadap pemakaman para teroris dan bahkan nyaris terjadi kekerasan fisik adalah contoh kecil bahwa setiap kekerasan akan menimbulkan kekerasa baru meskipun kekerasannya tidak setimbang.
Oleh karena itu, fenomena ini pantas menjadi pelajaran bagi siapa saja yang selama ini menganggap bahwa jalan untuk menjadikan negara Islam melalui jalan kekerasan ternyata tidak relevan dengan pesan moral agama yang sesungguhnya, yaitu agama untuk manusia yang bersubstansi kedamaian dan keselamatan.
Wallahu a’lam bi al shawab.