DARI SYDNEY KE WOLLONGONG
Hari Selasa yang lalu, 12/12/2011, saya melakukan perjalanan panjang dari Sydney ke Wollongong. Pagi saya mengikuti acara presentasi yang sangat menarik dari Geoff Gallops, profesor Administrasi Publik dan mantan Walikota Sydney dua periode dan waktu siangnya, saya, Prof. Muhammadiyah Amin dan Prof. Saiful Anam melakukan perjalanan panjang ke University of Wollongong. Karena mengejar pertemuan dengan pejabat di Wollongong, maka saya bertiga harus naik taksi dari Sydney ke Wollongong.
Ada yang aneh bagi saya tentang sikap sopir taksi yang saya tumpangi. Mereka ingin meyakinkan saya bahwa perjalanan ke Wollongong sangat jauh dengan ongkos yang mahal. Maka kami tanyakan berapa ongkosnya, sehingga memaksa sopir itu untuk bertanya ke staf di stasiun taksinya. Ternyata memang mahal, 190 dollar Aussie. Karena kita mengejar waktu, maka kami sepakat untuk melakukan perjalanan dengan taksi tersebut. “Okey, go”. Kata kami bersepakat. Mungkin saja orang Australia jarang yang naik taksi sepanjang Sydney ke Wollongong. Bisa dimaklumi sebab transportasi di Australia memang sangat nyaman. Hampir seluruh media transportasi memang disediakan dengan sangat memadai. Cityrail yang kami tumpangi dari Wollongong ke Sydney juga sangat nyaman. Terasa di pesawat terbang yang tanpa goncangan.
Ternyata dengan taksi kita membutuhkan waktu sepanjang satu setengah jam. Dan hebatnya, bahwa waktu tempuh dan harga yang diceritakan sebelumnya nyaris sama. Ada trust yang kami dapati dari sopir taksi itu. Andaikan dia mau berbohong, tentu kami semua juga tidak tahu, sebab kami sama sekali tidak pernah jalan-jalan di sini. Semua jalan yang kami lalui dengan taksi adalah jalan bebas hambatan. Akhirnya kami bisa sampai di University of Wollongong tepat waktu. Kami bertemu dengan Ass. Professor Nadirsyah Hossein di Faculty of Law dan juga Wakil Dekan Faculty of Law, Ass. Professor Judith Marychurch. Kami bertemu untuk membicarakan rencana kerjasama antara IAIN SA dengan Faculty of Law The University of Wollongong.
Ada yang menarik bagi saya, sama halnya dengan di Melbourne, adalah persahabatan manusia dengan alam. Burung-burung dengan berbagai macamnya bisa terbang bebas dan hinggap di mana saja. Mereka mencari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh manusia. Mereka bisa hidup bersahabat dengan manusia. Ada burung jalak hitam yang di Indonesia nyaris punah, burung merpati, dan burung lainnya pada berebut makanan di sekitar kita. Ada rasa senang melihat hewan-hewan ini berterbangan di sekitar kita. Ini yang saya kira bisa dikaitkan dengan konsep “hablum minal ‘alam”. Jadi mereka tidak diganggu melainkan dilindungi. Di sekitar wilayah kampus Wollongong ada sebuah jalan yang dijadikan sebagai tempat untuk angsa atau bebek melintas. Maka pengguna kendaraan roda empat harus berhenti ketika bebek tersebut menyeberang. Jadi ada hak hidup bebek yang dihormati oleh manusia.
Dari Wollongong ke Sydney saya memang sengaja naik Cityrail. Sebuah alat transportasi darat yang sangat nyaman. Bagaimana Australia bisa memberikan layanan publik transportasi yang demikian nikmat, maka jawabannya adalah dari pajak yang dihimpun dari masyarakat dan kemudian dikembalikan dalam bentuk layanan yang luar biasa. Jangan bayangkan dengan layanan transportasi di Indonesia. Memang tidak selevel. Saya kira Indonesia pun bisa, selama pajak tidak dikorupsi, pajak bisa dibayar dengan jujur dan ada trust untuk hal itu semua. Kita pasti bisa. Hanya memang harus dicari dari mana memulainya.
Saya memang dipesan oleh Nadirsyah agar duduk di sebelah kanan, sebab pemandangannya bagus. Ternyata memang benar bahwa pemandangan di sepanjang jalan ke Sydney memang sangat indah. Wilayah perbukitan dengan laut sebagai pembatasnya. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat bagaimana hutan perbukitan sepanjang jalur kereta ini dimanej. Pohon-pohon menghijau, besar dan kecil semuanya tertata dan utuh. Tidak ada yang ditebang. Bahkan pohon yang mengering pun dibiarkan daunnya jatuh dan batangnya meranggas. Tidak dipotong. Saya teringat dengan ajaran salah seorang pelestari lingkungan di Jawa Barat yang menyatakan bahwa biarkan pohon yang mengering kemudian mati, sebab pohon itu akan menjadi pupuk alami bagi tanah.
Jika saya melihat pemandangan ini, saya merasa trenyuh, kenapa kita menjadi perusak lingkungan, kenapa kita tidak bersahabat dengan lingkungan, kenapa kita tidak membiarkan alam berkembang dengan kapasitasnya, dan seribu pertanyaan lainnya. Era reformasi yang dianggap sebagai momentum kebangkitan Indonesia, justru dinodai dengan penggundulan hutan di mana-mana. Sebuah tindakan balas dendam yang tidak pada tempatnya.
Apakah masyarakat tidak tahu akan dampaknya atau pemerintah yang mengabaikan semua ini terjadi. Saya rasa keduanya sama benarnya. Kita semua tentu bisa belajar tentang bagaimana negara, seperti Australia ini memenej wilayahnya, baik laut, hutan dan daratan. Semua serba teratur dan pemerintah memang memberikan regulasi yang ditaati oleh warganya.
Masyarakat yang beradab saya kira adalah masyarakat yang menyeimbangkan antara hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal alam.
Wallahu a’lam bi al shawab.