• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KRITIK TENTANG PELAYANAN PUBLIK KEMENAG

Semalam saya mengikuti upacara Pembukaan Rakorjakwas 2011 yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, di Hotel Merlynn Park Jakarta. Acara ini dianggap penting mengingat perlunya merumuskan laporan tentang keuangan dalam kaitannya dengan perencanaan dan pengawasan. Selama ini masih melekat stigma di masyarakat bahwa Kementerian Agama belum mencerminkan sebagai lembaga pemerintah yang bersih dan akuntabel. Akhir-akhir ini laporan keuangan Kementerian Agama sudah memperoleh derajad Wajar Dengan Pengecualian (WDP), di mana sebelumnya memperoleh status disclaimer.
Akhir-akhir ini memang kembali ada tudingan miring tentang posisi Kementerian Agama berdasarkan hasil survey dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengenai persepsi tentang korupsi yang menempatkan Kemenag di urutan ketiga. Yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah pelayanan Nikah di KUA, pelayanan izin haji khusus dan penyelenggaraan izin KBIH.
Memang ada perbedaan persepsi antara masyarakat dan pejabat di level kemenag, khususnya di masyarakat. Misalnya tradisi perkawinan di pedesaan Jawa. Di Jawa, banyak perkawinan yang dilakukan di luar jam kantor, ada yang malam dan juga Sabtu dan Ahad. Makanya mereka membutuhkan transportasi. Ada kendala wilayah dan jarak jangkau dan sebagainya yang membutuhkan transportasi tersebut. Disebabkan oleh kenyataan ini, maka yang harus dipahami adalah bagaimana memahami tradisi perkawinan di Jawa tersebut, sehingga tidak secara general semuanya adalah tindakan koruptif. Di dalam hal ini, maka juga harus diperhitungkan tentang anggaran operasional KUA yang hanya 2.00.000,- dalam satu tahun. Anggaran seperti itu tentu tidak cukup untuk mendanai pernikahan yang dilakukan di rumah.
Tradisi masyarakat kita dan sudah berlangsung dalam beberapa dekade, adalah mengawinkan anaknya di rumah dan bukan di KUA. Hal ini tentu saja terkait dengan tradisi mengawinkan anak yang dikaitkan dengan hari baik, artinya bahwa ada korelasi antara hari mengawinkan anak dengan sistem boyongan yang dilakukan oleh masyarakat.
Di dalam keadaan seperti ini, maka akan sangat memungkinkan terjadinya praktik pemberian uang dengan atas nama ucapan terima kasih kepada para petugas si KUA. Jika mereka menerima uang atau bingkisan sebagai ucapan terima kasih tersebut digolongkan sebagai suap, maka tentunya semua yang melakukannya akan terjebak kepada tindakan koruptif. Jadi memang harus ada penerjemahan yang tepat tentang apakah tindakan menerima ucapan terima kasih seperti ini termasuk tindakan koruptif atau tidak.
Jika dianggap ya, sesuai dengan indeks korupsi yang diberikan oleh masyarakat, maka tindakan untuk menerimanya lalu perlu dihentikan. Hanya problemnya adalah apakah kegiatan masyarakat untuk melakukan pernikahan di rumah lalu harus dihentikan. Makanya, ada kesulitan yang luar biasa untuk menghentikan tindakan ini. Jika begitu, maka yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan anggaran bagi KUA pada tahun-tahun mendatang, sehingga praktik untuk menerima uang atau barang di kalangan KUA tentu akan bisa direduksi sedemikian rupa.
Kemudian, terkait dengan KBIH. Sesungguhnya juga ada problem yang serius di sini. Ada anggapan bahwa untuk perpanjangan ijin KBIH dan pendirian KBIH, maka dikenakan pungutan yang tidak sesuai dengan tarif yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu muncullah persepsi bahwa ada kemungkinan terjadi korupsi di sini.
Di dalam pelayanan haji, misalnya juga terdapat pungutan yang terkait dengan jasa angkut koper dan sebagainya. Padahal sesungguhnya mereka bukanlah orang Kementerian Agama yang bertugas di situ, akan tetapi adalah orang swasta yang memang bekerja untuk membantu pengantaran koper dan sebagainya. Rasanya juga tidak mungkin pengantar atau penjemput mengambil koper jamaah haji. Sebab jika terjadi seperti ini, maka akan terjadi kekacauan. Jamaah haji juga dalam keadaan lelah, sehingga juga kecil kemungkinannya untuk mengangkat sendiri koper-kopernya.
Jika hal ini dipersepsikan sebagai penyimpangan tentu saja juga tidak tepat, sebab yang melakukannya bukan orang kementerian. Mereka adalah pencari kerja yang dimanfaatkan untuk fungsi seperti itu.
Dengan demikian, indeks persepsi korupsi kiranya juga perlu dicermati, sebab jika kita memvonis sesuatu yang sesungguhnya adalah perbedaan persepsi, maka berarti bahwa kita menilai sesuatu yang kurang proporsional.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini