• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LEBARAN DAN UKHUWAH BASYARIYAH

 Ketika saya membaca laporan Harian Jakarta Post (24/09/09) tentang  pelaksanaan ‘Idul Fitri di daerah bekas konflik bernuansa agama,  maka saya menjadi sangat bergembira. Ternyata  sesungguhnya masyarakat di sana memiliki sense persaudaraan antar sesama umat beragama yang sangat tinggi. Ada di antara mereka yang selesai melakukan ibadah di gereja lalu mendatangi rumah-rumah orang Islam untuk bersalaman dan saling memaafkan. Kemudian mereka juga saling berkunjung untuk memanfaatkan momentum lebaran sebagai sarana untuk saling kunjung mengunjungi dalam suasana persaudaraan yang tulus. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya di antara masyarakat kita itu sudah ada saling pemahaman tentang arti dan makna perbedaan terutama yang menyangkut agama.

Saya lalu berpikir, benarkah agama menjadi pemicu konflik selama beberapa tahun di tanah Ambon, Poso dan tempat lain. Rasanya tidak mutlak bahwa agama menjadi pemicu konflik yang sangat keras tersebut. Bukankah  masyarakat sesungguhnya sudah memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat, mereka sudah saling memahami perbedaan. Mereka hidup rukun dan damai dalam perbedaan. Pluralitas dan multikulturalitas sudah sangat mengedepan di kalangan mereka itu. Jadi kalau kemudian mereka berseteru dan berkonflik sedemikian keras, maka rasanya ada sesuatu yang aneh.

Saya termasuk orang yang menganut paham bahwa agama itu sesungguhnya menjadi faktor penentu keteraturan sosial dan bukan konflik. Jika kemudian ada konflik antar umat beragama, maka hal itu bukan semata-mata dipicu oleh faktor agama akan tetapi justru oleh faktor lain. Dalam kasus konflik antar penganut agama, seperti di Situbondo, Ambon, Poso, Mataram, Kalimantan Barat dan sebagainya, maka faktor utama pemicunya justru faktor ekonomi atau politik. Faktor agama justru memasuki kawasan tersebut pada fase berikutnya. Agama memang berisi sentimen keyakinan yang mendasar. Maka ketika sentimen keyakinan tersebut diusik, maka biasanya akan menjadikan konflik semakin menajam.

Di dalam sejarah agama-agama, selalu saja faktor penyebab konflik di antara umat beragama yang paling asasi adalah karena kekuasaan. Coba kalau kita simak mengenai berbagai konflik di belahan dunia lain, misalnya Afghanistan, Tamil, Moro, Thailand Selatan, Jalur Gaza, dan sebagainya, maka yang mendasar adalah faktor kekuasaan dan penguasaan. Dan kemudian agama menjadi “pengeras” untuk konflik dimaksud. Maka ketika agama terlibat di dalam konflik, yang terjadi adalah konflik yang sangat keras. Masing-masing agama kemudian menggunakan dalil teksnya untuk menjustifikasi konflik. Konsep jihad ofensif (jihad berarti perang secara ofensif) atau mission sacre (misi perang suci untuk membela agama) dan lainnya adalah contoh tentang bagaimana teks kemudian dijadikan sebagai penjustifikasi untuk melakukan perang atas nama agama.

Sejarah agama-agama memang terkadang juga menggambarkan wajahnya yang garang. Dan berbagai perang yang terjadi juga berkait kelindan dengan agama. Meskipun sebagaimana tadi, masuknya agama dalam kawasan itu adalah sebagai penguat untuk menjadikan perang semakin berkobar dan bersemangat. Sebagai wilayah ultimate concern, maka ketika agama disentuh dengan ungkapan pelecehan, maka akan menyebabkan kekerasan yang luar biasa. Oleh karena itu, maka konflik yang bernuansa agama biasanya akan membutuhkan waktu yang lama untuk rekonsiliasinya.

Dengan demikian, membaca terhadap tindakan sesama umat beragama dalam merayakan hari raya idul fitri bersama-sama dengan umat agama lain di daerah yang selama ini dikenal sebagai tempat konflik bernuansa agama, maka rasanya ada sesuatu yang mengharukan.  Era  kerukunan umat beragama yang saya yakin didambakan oleh semua masyarakat   bukan lagi isapan jempol tetapi sudah menjadi kenyataan.  Melalui lebaran, maka bangunan konsep ukhuwah basyariyah yaitu persaudaraan sesama umat manusia ternyata bisa dilakukan.  Semuanya ternyata tergantung pada kemauan manusianya.  

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini