TANTANGAN PENGEMBANGAN KURIKULUM EKONOMI ISLAM
Hari- hari ini sedang banyak dilakukan kegiatan untuk curriculum review pada beberapa program studi di IAIN Sunan ampel dalam kaitannya dengan program kerjasama pengembangan IAIN Sunan Ampel yang didanai oeh Islamic Development Bank (IDB). Saya kemarin bersama Prof. Dr. Muchlas Samani (Rektor UNESA) menjadi nara sumber untuk acara curriculum review yang dilakukan oleh prodi Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel.
Bagi saya, bahwa ada lima tantangan pengembangan kurikulum pada prodi Ekonomi Syariah, yaitu: pertama, tantangan nomenklatur prodi ini, apakah ilmu ekonomi syariah atau ilmu ekonomi Islam. Nomenklatur ini dianggap penting mengingat bahwa harus ada kesamaan secara nasional tentang ilmu yang akan kita kembangkan. Perlu ada diskusi yang serius untuk membahas tentang nomenklatur ini. Saya bersepaham bahwa yang akan kita kembangkan adalah ilmu ekonomi Islam. Sebab akan lebih nampak sosoknya sebagai ilmu yang konseptual, baik dari sisi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Ekonomi syariah lebih bercorak teknis. Bolehlah digunakan untuk yang praksis, misalnya perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah dan sebagainya. Akan tetapi dari sisi disiplin keilmuan, maka yang lebih baik adalah menggunakan nama ilmu ekonomi Islam.
Kedua, problem kurikulum yang dijadikan sebagai pegangan bagi pengembangan kualitas akademis dan output pendidikan. Selama ini terdapat gap yang cukup jauh antara lembaga pendidikan universitas yang berbasis ilmu umum dan institut atau universitas yang berbasis ilmu keislaman. Bagi universitas yang menyelenggarakan pendidikan ilmu ekonomi Islam, maka sangat kuat dengan teori ekonomi konvensional, namun memiliki kelemahan dalam ilmu keislaman, seperti ilmu fiqih atau ilmu muamalah. Maka yang terjadi adalah terjadi kesenjangan pengetahuan yang seharusnya seimbang, apalagi ilmunya bernama ekonomi Islam. Sedangkan bagi PTAIN yang menyelenggarakan prodi ekonomi Islam, maka memiliki kekuatan di bidang ilmu fiqih atau ilmu muamalah, akan tetapi lemah di dalam ilmu ekonomi konvensional. Jadi juga terdapat kesenjangan antara ilmu ekonomi konvensional dengan ilmu keislaman. Jadi mereka yang lulus dari prodi ini adalah lebih memahami hukum ekonomi Islam ketimbang ilmu ekonomi Islam.
Ketiga, problem link and match. Sebagai akibat dari kurikulum yang belum maksimal di dalam mengembangkan potensi akademik dan praktik tersebut, maka yang terjadi adalah adanya kesenjangan antara kemampuan out put pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja di bidang ekonomi Islam. Problem akademik dan praksis ini yang sesungguhnya harus didiskusikan di dalam review kurikulum ini, sebab harus ada kejelasan tentang penyelesaian problem ini.
Keempat, problem teoretik dan praksis. Kesenjangan antara pengetahuan teoretik dan praksis, sesungguhnya bukan hanya menjadi masalah di kalangan prodi ekonomi Islam, akan tetapi juga menjadi problem pada kebanyakan prodi ilmu sosial dan humaniora. Akan tetapi karena prodi ekonomi Islam adalah applied science, maka seharusnya kemampuan praksisnya yang harus dituntaskan. Melalui penyelesaian problem ini, maka diharapkan akan terjadi relevansi antara kebutuhan tenaga kerja di bidang ekonomi Islam dengan penyiapan sarjana yang disiapkan oleh perguruan tinggi.
Kelima, problem ekselensi program studi. Setiap program studi seharusnya memiliki keunggulan yang kemudian menjadi bench marking-nya. Pusat keunggulan harus diciptakan dan peluang untuk menjadi unggul sesungguhnya juga dimiliki oleh setiap institusi pendidikan. Makanya, program studi ekonomi Islam juga harus menjadi pusat keunggulan di tahun 2020. Jika menetapkan tahun tersebut sebagai tahun terciptanya keunggulan PT, maka harus disiapkan berbagai perangkat untuk menjadi unggul.
Review kurikulum adalah salah satunya untuk persiapan membangun ekselensi PT di era yang akan datang. Jadi pikiran dan langkah harus diayunkan ke sana di dalam rangka untuk meraih keunggulan yang menjadi cita-cita bersama.
Wallahu a’lam bi al shawab.