LEBARAN DAN MEMBANGUN KEBERSAMAAN
Tiada yang lebih indah di dunia ini kecuali kebersamaan. Di dalam konsepsi ilmu sosial, bahwa dunia ini sebenarnya dibangun di atas relasi sosial yang stabil dan jika ada perubahan maka perubahan itu terjadi secara alami atau evolusioner. Perubahan yang cepat atau revolusioner hanya akan membawa kerumitan dan konflik sosial yang tidak terelakkan. Perubahan sosial memang sesuatu yang tidak terelakkan di dalam kehidupan sosial ini, namun demikian perubahan yang terjadi secara cepat hanya akan menghasilkan dinamika sosial yang terkadang tidak berimbang. Bahkan cenderung menyulitkan. Sebaliknya, dunia yang tanpa perubahan juga akan menyebabkan ketiadaan dinamikanya. Akan terjadi stagnasi di mana-mana. Akibatnya juga akan menyebabkan terjadinya pembangkangan di mana-mana. Oleh karena itu perubahan haruslah dimanej sedemikian rupa sehingga akan terjadi keseimbangan di dalam hasil akhir perubahan tersebut.
Agama sesungguhnya memiliki fungsi kritis, yaitu fungsi yang menyertai perubahan yang diinginkan. Di dalam sejarah agama-agama selalu dijumpai fungsi kritis yang menjadi anteseden bagi perubahan sosial. Tatkala agama Nasrani datang, maka masyarakat juga di dalam suasana stagnan. Ketika Islam datang, maka masyarakat di dalam nuansa stagnan dalam berbagai aspeknya. Demikian pula agama-agama lainnya. Kedatangannya merupakan counter terhadap stagnasi yang dibangun oleh agama-agama sebelumnya.
Dari segi religiositas mereka sesungguhnya berada di dalam nuansa keberagamaan paganisme yang antara rasio dan ritual terjadi kesenjangan yang luar biasa. Mereka menyembah terhadap patung-patung atau arca-arca yang sesungguhnya mereka buat sendiri. Meskipun mereka yakin bahwa bukan patung atau arcanya yang mereka sembah dan patung atau arca hanyalah simbol belaka, namun kenyataannya bahwa arca itulah yang memediasi persembahan tersebut.
Dari sisi relasi sosial, betapa jarak antara pemimpin dan rakyatnya, antara satu suku dengan lainnya antara satu golongan dengan golongan lainnya ternyata memiliki gap yang luar biasa. Dan akibatnya mereka sering bertarung antara satu dengan lainnya terkait dengan kepentingan-kepentingannya. Demikian pula dalam aspek politik, maka suku Quraisy menjadi sangat dominan sedangkan yang lain sebagai inferior.
Ketika Islam datang, maka dibangunlah suatu sistem kehidupan yang lebih cenderung kepada persamaan atau equality. Meskipun ketika Nabi Muhammad saw membangun sistem pemerintahan di Madinah juga tradisi tersebut tidak sepenuhnya bisa dihilangkan.
Di dalam tulisan Khalil Abdul Karim, ”Negara Madinah, Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab” (LkiS, 2005), juga digambarkan bahwa pada masa awal Islam, banyak kabilah di Semenanjung Arabia dengan lantang menyatakan masuk Islam. Akan tetapi hal itu sebenarnya lebih disebabkan oleh despotiknya Negara Madinah yang dikuasai klan Quraisy ketimbang karena faktor Islam sebagai ”agama” yang dibawa oleh Muhammad saw.
Tulisan tersebut memang sepertinya memberikan justifikasi bahwa pengaruh Quraisy jauh lebih kuat ketimbang pengaruh Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Namun ada hal yang kiranya dapat dinyatakan bahwa bagaimanapun pengaruh Quraisy adalah pengaruh Islam sebab dari sisi historis bahwa Quraisy memang mendakwahkan Islam kepada kaum suku Arab lainnya. Maka pantaslah jika ada analisis yang menyatakan bahwa memang ada politik penaklukan pada suku Arab lainnya pada waktu itu.
Tetapi yang jelas bahwa Islam datang dengan membawa konsepsi tentang kebersamaan. Bukankah ketika Muhammad diminta untuk menjadi mediator pelepasan kain penutup Ka’bah, maka Muhammad mengajak serta seluruh suku-suku di sekitar Ka’bah untuk bergandeng tangan dan memegang kain penutup Ka’bah untuk melepasnya. Dan itu ternyata jauh lebih memuaskan daripada pelepasan dilakukan oleh satu klan atau suku saja. Peran mediator seperti ini tentu saja menjadi ciri khas Islam dalam kehidupan sosial. Secara tekstual, Islam memang sarat dengan ajaran kebersamaan dan keteraturan sosial.
Ketika orang memasuki satu momentum lebaran, maka sesungguhnya manusia diajarkan untuk merajut kembali bangunan kebersaman tersebut. Ketika seseorang pulang dari halal bi halal atau saling memaafkan, maka yang tersisa adalah bagaimana kemudian membangun kebersamaan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Makanya, lebaran sesungguhnya menjadi starting point untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat di kemudian hari.
Jika kemudian lebaran ternyata tidak membawa kebersamaan dalam melaksanakan program ”kemanusiaan” maka berarti bahwa lebaran dan halal bi halal hanyalah simbol keagamaan saja dan bukan substansi keagamaan. Maka yang lebih penting adalah bagaimana merumuskan bangunan kebersamaan tersebut dan selanjutnya membangun program kemitraan dalam berbagai aspek kehidupan. Hanya dengan cara itu, maka Islam akan menjadi leading and commanding di era yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.