GURU
Peringatan hari guru ke 66 memang baru saja berlalu. Di Jawa Timur diperingati di Kabupaten Pamekasan. Sayangnya saya tidak bisa hadir pada puncak acara itu, sebab ada acara di Jakarta yang juga tidak kalah pentingnya yaitu menghadiri acara Start Up Workshop program IDB di Hotel Le Grandeaur, Mangga Dua Jakarta. Jadi saya tidak bisa hadir pada acara penting yang dihadiri oleh Pak Gubernur ini.
Ketika perang dunia ke dua usai dan Jepang kalah total, maka Jepang menjadi luluh lantak. Nagasaki dan Hiroshima rata dengan tanah dan penduduknya berkalang tanah. Dalam satu kesempatan, Kaisar Jepang bertanya ” masih ada berapakah guru yang masih hidup”. Sebuah pertanyaan yang sederhana, akan tetapi memiliki kandungan makna yang luar biasa. Dan dari sinilah kemudian dikenal membangun Jepang yang dikonsepsikan sebagai restorasi Meiyi.
Guru memang garda depan pembangunan bangsa. Guru adalah orang yang memiliki dedikasi di dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Melalui guru maka masyarakat memperoleh sejumlah pengetahuan yang memadai sebagai bekal kehidupannya. Jadi, melalui sentuhan guru maka manusia akan menjadi manusia.
Di dalam konsepsi Jawa, guru adalah digugu lan ditiru. Artinya bahwa guru adalah tauladan dan contoh. Tauladan di dalam tindakan dan contoh di dalam perbuatan. Makanya seorang guru menempati strata sosial yang tinggi sebab memiliki fungsi sosial sebagai teladan dan fungsi sebagai tranformer ilmu pengetahuan. Di masa lalu guru adalah orang yang sangat dihormati dalam jajaran relasi sosial di masyarakat.
Zaman memang terus berubah. Demikian pula lembaga pendidikan dengan guru sebagai pilar pendidikan. Perubahan sosial adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa ditolak. Ia akan terus mengejar bahkan mendahului kita. Makanya guru juga harus memiliki tidak hanya sikap responsif terhadap perubahan zaman akan tetapi juga antisipatif.
Beberapa hari yang lalu, 26/11/2011, saya bersama anggota DPD, Prof. Dr. Hj. Istibsyaroh, SH, MA melakukan dialog di TVRI seputar pendidikan. Ada sebuah pertanyaan menarik tentang relasi antara pendidikan dan ketenagakerjaan. Pertanyaan ini menarik terkait dengan kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Saya nyatakan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia ini harus direformasi dalam pengertian untuk menemukan relevansi antara out put pendidikan dengan dunia kerja.
Bagi saya, secara konseptual bahwa semakin baik kualitas pendidikan, maka akan semakin baik kualitas tenaga kerja dan implikasinya juga akan semakin baik kualitas kesejahtaraannya. Hanya sayangnya bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari memuaskan. Sebab masih ada di dalam kisaran 69 di tingkat dunia. Hal ini disebabkan masih adanya kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lain di dalam program pendidikan dan juga lama pendidikan warga masyarakat yang masih rendah.
Jika kita berbicara tentang kualitas pendidikan, maka yang menjadi sorotan utama adalah kualitas guru atau tenaga pendidik. Bagaimanapun juga bahwa guru adalah pemegang kunci keberhasilan pendidikan. Hingga saat ini, saya masih sampai pada kesimpulan bahwa guru, dosen atau tenaga pendidik adalah pemegang kunci keberhasilan pendidikan.
Guru atau dosen yang baik akan menghasilkan outcome pendidikan yang baik. Dan sebaliknya, guru yang yang kurang berkualitas juga akan menghasilkan outcome pendidikan yang kurang berkualitas. Saya masih menganut mazhab lama yang menyatakan bahwa guru adalah kata kunci pendidikan. Jadi meskipun sudah ada teknologi informasi untuk kepentingan pendidikan, akan tetapi hal itu tidak akan bisa menggantikan posisi guru. Pendidikan tanpa guru akan kehilangan misteri sentuhan moralitas dan karakternya.
Makanya, di hari guru itu yang terpenting adalah bagaimana kembali merevitalisai peran guru di dalam proses pembelajaran, sehingga guru akan tetap dalam kapasitasnya sebagai pendidik yang mengembangkan tidak hanya kecerdasan akal, akan tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual.
Wallahu a’lam bi al shawab.