BERKACA PADA KEPEMIMPINAN PSSI
Tulisan di Kompas hari ini, 24/11/2011, terasa sangat menarik. Tulisan Anthony Sanjoyo dengan judul “Adu Tendangan Penalti” itu menggambarkan tentang bagaimana kepemimpinan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesuksesan program yang diancangkan. Jika kepemimpinanya dalam banyak hal hanya melakukan tindakan konfliktual yang disebabkan oleh egoisme dan kepentingan yang menonjol, maka tidak mungkin prestasi akan dapat diraih.
Jika Malaysia memenangkan pertandingan bergengsi dalam final sepakbola, maka itu bukan hal yang tidak diperhitungkan, akan tetapi memang dipersiapkan secara memadai. Para pemainnya dipersiapkan dengan sangat ketat, dikirim ke Eropa selama beberapa bulan untuk pematangan pertandingan yang keras dan juga dilatih dengan persiapan yang tinggi. Hasilnya adalah Malaysia memenangkan tendangan adu penalti yang menegangkan.
Sepertinya Indonesia selalu mengalami kegagalan dalam setiap momen adu tendangan penalti. Pada pertandingan memperebutkan satu tempat di Olimpiade Montreal, maka Indonesia dikalahkan oleh Korea Utara lewat adu penalti. Kala itu Anjas Asmara dan Suaib Rizal pada tahun 1976, gagal melakukan tendangan penalti. Kemudian pada pertandingan final melawan Thailand pada final Sea Games, Ronny Wabia dan Uston Nawawi juga gagal melakukan tendangan penalti. Dan yang baru saja terjadi di Sea Games, 2011, Gunawan Dwi Cahyo dan Ferdinand Sinaga juga gagal mengeksekusi tendangan penalti. Ada juga yang menarik bahwa kiper Malaysia juga selalu tepat mengantisipasi tendangan penalti pemain Indonesia.
Kita memang harus percaya kepada takdir dan bola itu bundar dan juga percaya bahwa ada Dewi Fortuna atau keberuntungan yang menyelimuti semua aktivitas di dalam kehidupan kita. Akan tetapi kita juga harus yakin bahwa ada usaha yang har dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Tidak ada sukses yang tiba-tiba. Kesuksesan pastilah terkait dengan usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Tidak ada hujan emas dari langit. Emas harus dicari dan diusahakan.
Sepakbola Malaysia pernah berangkat dari nol. Pernah memecat 300 pemain dan ofisial yang terlibat perjudian melalui pengaturan skor dan sebagainya. Akan tetapi melalui tindakan tegas seperti itu, maka sekarang Malaysia menuai hasil yang maksimal. Malaysia bisa memproklamirkan diri sebagai kekuatan tunggal di Asia Tenggara. Ketegasan kepemimpinan ternyata menjadi kekuatan untuk membangun peradaban sepakbola yang jujur, konsisten dan akhirnya to be the winner.
Sebaliknya, kepemimpinan sepakbola di Indonesia selalu di dalam nuansa konfliktual. Bertahun-tahun PSSI menjadi ajang pertarungan kepentingan dan hingga sekarang juga belum ada tanda-tanda akan berakhir. Kita juga belum tahu kapan kepemimpinan PSSI akan berjalan mulus dan semuanya tertuju kepada prestasi yang membanggakan. Carut marut kepemimpinan PSSi tentu saja akan berpengaruh terhadap para pemain yang terkait dengan masa depannya. Sebagai pemain sepakbola, maka jaminan kehidupan dari sepakbola tentu menjadi penting. Ada korelasi antara jaminan kehidupan dengan prestasi yang diinginkan. Jika masa depannya tidak jelas, maka jaminan prestasi juga akan sulit direalisasi. Masih beruntung bahwa semangat nasionalisme para pemain sepakbola tersebut luar biasa, sehingga mereka bisa melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya.
Kepemimpinan sepakbola adalah miniatur kepemimpinan yang bisa memberikan gambaran mikro bahwa kepemimpinan yang kuat dan didasari oleh kebersamaan dalam mengemban tugas kepemimpinan tersebut ternyata bisa menghasilkan capaian yang memadai. Kiprah sepakbola nasional tidak pernah mencapai puncaknya sebab di sana hanya ada ketegangan dan konflik. Jika ini yang terus terjadi, maka juga jangan pernah berharap akan bisa menjadi kampiun di bidang ini.
Bagi para pemimpin, kiranya ada teladan yang baik bahwa selama di dalam kepemimpinan tersebut terdapat ketegangan, rivalitas, dan bahkan konflik maka jangan berharap akan ada kemajuan yang dihasilkan. Jadi, kebersamaan adalah kata kunci agar kita bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.