NAFAS NASIONALISME OLAHRAGA
Saya memang tidak bisa bermain sepakbola. Akan tetapi menyaksikan pertandingan sepakbola tentu saja saya suka. Sepakbola Eropa, Amerika Latin, bahkan sepakbola dari Benua Afrika saya suka melihatnya. Tentu saja menonton sepakbola lewat televisi. Menonton sepakbola secara langsung di lapangan bola saya kurang suka. Bukan karena apa-apa, akan tetapi hanya tidak suka dengan kerumunan yang ruwet.
Semalam saya tentu saja tidak melewatkan pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Vietnam dalam pertandingan semifinal Asean Games XXVI. Bagi kebanyakan masyarakat, terutama generasi muda, jika tidak berkesempatan nonton sepakbola di Senayan Jakarta, maka pastilah menonton sepakbola di layar kaca. Sering juga ada acara nonton bareng. Termasuk saya tidak melewatkan pertandingan tersebut.
Saya tentu tidak akan mengomentari jalannya pertandingan karena bukan wewenang saya, akan tetapi saya akan memberikan komentar tentang perasaan sebagai bangsa. Saya selalu memperhatikan terhadap tindakan suporter, ofisial dan pemain sepakbola Indonesia dalam kaitannya dengan perasaan sebagai bangsa Indonesia.
Di dalam sepakbola inilah perasaan sebagai bangsa Indonesia itu tersaji dengan sangat kuat. Ada heroisme yang luar biasa di dalam pertandingan sepakbola. Wajah yang dihias dengan bendera, rambut yang dicat dengan warna merah putih, pengibaran bendera raksasa dan juga yel-yel yang memberikan kesaksian akan perasaan nasionalisme tersebut.
Coba kita lihat bagaimana para pemain mencium kaosnya yang di situ ada lambang negara ketika timnya memasukkan bola ke gawang lawan. Ada tindakan bersyukur, mencium lambang Garuda dan juga menari dengan tarian daerah dan sebagainya. Semua ini adalah ekspresi tentang keindonesiaan.
Sebagian besar penonton adalah kawula muda. Artinya bahwa ekspresi kebangsaan tersebut juga melibatkan para kawula muda. Alangkah indahnya melihat gegap gempita kebangsaan yang tersaji di dalam moment olahraga ini. Semua penonton yang berasal dari Indonesia, kira-kira 80.000 orang meneriakkan yel-yel keindonesiaan.
Rasa nasionalisme atau kebangsaan memang harus dibentuk. Meskipun perasaan sebagai bangsa bisa tumbuh seirama dengan kehidupan masyarakat bangsa, sebagai akibat pergaulan dan kesamaan tumpah darah, akan tetapi akan lebih baik jika perasaan nasionalisme tersebut ditumbuhkembangkan.
Salah satu medium yang jelas bisa membawa kepada semangat kebangsaan adalah melalui momentum olahraga. Di dalam olahraga, terutama pertandingan sepakbola atau bulutangkis yang melibatkan negara lain, pastilah akan menimbulkan rasa kebangsaan yang sangat tinggi. Kita jarang melihat ekspresi kebangsaan yang gegap gempita seperti itu.
Rasa kebangsaan akan muncul dalam situasi yang kongkrit. Ada lawan yang harus dihadapi. Tanpa lawan yang harus dihadapi maka kebangsaan itu berada di ruang yang samar-samar. Era kemerdekaan, musuhnya jelas, yaitu kaum penjajah. Era Orde Baru lawannya juga jelas, yaitu komunisme yang hampir merobohkan bangunan NKRI.
Makanya dahulu ketika masih ada Blok Timur dan Barat, Uni Soviet dan Amerika Serikat, maka indoktrinasi saling anti di antara keduanya tentu luar biasa. Masyarakat Amerika didoktrin anti Uni Soviet dan sebaliknya masyarakat Uni Soviet juga diindoktrinasi anti Amerika Serikat. Makanya ketika Rusia hancur, maka Huntington mengkonsepikan musuh baru bagi Barat, yaitu Islam. Di dalam Class of Civilizations, dinyatakan dengan tegas bahwa pasca hancurnya Uni Soviet, maka yang bisa menjadi musuh Barat adalah Islam.
Itulah sebabnya kebangsaan atau nasionalisme juga harus ditempatkan di dalam ruang yang jelas. Yaitu musuh atau lawan yang saling berhadapan. Jika tidak, maka perasaan kebangsaan atau nasionalisme tersebut akan berada di ruang sunyi sehingga suaranya juga nyaris tidak terdengar.
Jadi, momentum untuk mengekspresikan rasa kebangsaan atau nasionalisme memang harus dihadirkan dan salah satunya adalah lewat olahraga.
Wallahu a’lam bi al shawab.