BUTUH PARTAI POLITIK IDEOLOGIS
Salah satu kesalahan yang katakanlah dilakukan oleh Orde Baru terkait dengan partai politik adalah yang disebut sebagai terciptanya massa mengambang atau floating mass. Massa mengambang mungkin bisa dimaknai sebagai sekelompok orang atau massa yang tidak memiliki ideologi partai politik tertentu, sehingga pilihan politiknya sangat kondisional.
Memang secara praktikal bahwa Golkar bisa memperoleh suara terbanyak atau bahkan single majority juga disebabkan oleh massa mengambang ini. Massa mengambang memang bisa diarahkan kepada pilihan politik tertentu. Pada zaman Orde Baru, maka mesin politiknya adalah aparat birokrasi, mulai dari: lurah, camat, bupati dan terus sampai menteri. Selain itu juga para guru, pamong desa dan sebagainya. Dibuatlah saat itu suatu gerakan untuk memilih Golkar melalui instrumen Karakterdes, yaitu mekanisme untuk menjadi kader Golkar pada teritorial desa. Melalui sistem ini, maka perolehan suara Golkar bisa mencapai 70 persen lebih yang kemudian menghasilkan praktik single majority.
Akan tetapi di era Orde Reformasi, maka massa mengambang inilah yang menjadi cikal bakal bagi tumbuhnya massa yang melakukan pilihan politik berbasis uang atau money politics. Disebabkan oleh ketiadaan pilihan politik pasti, maka pilihan politiknya sangat tergantung kepada siapa yang mengarahkannya. Dan di dalam banyak hal, maka yang mengarahkan adalah calon yang memiliki uang. Jadi yang akhirnya menjadi pilihan politik adalah yang memiliki modal politik uang.
Massa mengambang adalah sasaran politik uang yang sangat subur. Kelompok yang seperti ini adalah massa politik yang bisa bertindak avonturir. Kebanyakan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang partai politik atau juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang calon politisi yang akan dipilihnya. Mereka sangat tergantung kepada makelar politik yang membawanya.
Political broker inilah yang kemudian memainkam peran penting di dalam perilaku pilihan politik. Sebagaimana broker pada umumnya, maka yang paling mendasar adalah apa perolehan ekonomi yang didapatkannya. Jadi yang paling penting adalah perolehan ekonomi sebanyak-banyaknya dan bukan etika politik atau moralitas politik yang utama. Berkembangbiaknya politik uang, salah satunya dipicu oleh adanya massa mengambang yang rawan diarahkan pada perilaku politik dagang sapi. Sayangnya bahwa politik uang sudah menjadi pilihan politik masyarakat.
Ke depan tentu diperlukan partai politik yang bisa membangun ideologi kepolitikan yang memadai. Di negara lain, misalnya Cina dan Jerman, maka pilihan politik itu dilakukan semenjak awal. Di Cina, sebagaimana penuturan Zubaidah Yusuf, bahwa seseorang yang sudah berusia 15 tahun, maka bisa memilih karir kehidupannya untuk menjadi kader Partai Komunis. Maka dia daftarkan dirinya pada partai politik dan kemudian memperoleh basis pengkaderan yang memadai. Dia hanya diajar untuk menjadi kader partai yang loyal. Karena di Cina hanya ada Partai Komunis, maka loyalitasnya juga hanya ditujukan kepada partai tersebut.
Di sini ada proses pengkaderan yang luar biasa. Tidak ada kader yang datang tiba-tiba. Semua by design. Untuk menjadi pimpinan partai politik, maka jenjang pengkaderan dan keterlibatan di dalam partai sangat menentukan. Loyalitas kepada partai juga sangat kuat. Itulah sebabnya di negara-negara yang sudah mapan sistem politiknya, maka tidak didapati kutu loncat. Loyalitas dan komitmen menjadi sangat penting.
Sayangnya bahwa perjalanan politik Indonesia selama ini tidak mengarah kepada penciptaan kondisi politik yang seperti itu. Tidak ada ideologi yang diusung dan tidak ada program khusus yang relevan dengan ideologi itu. Akibatnya, maka partai hanya me jadi lahan pekerjaan dan bukan instrumen untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, agar ke depan akan semakin berkurang tindakan money politics, maka yang diperlukan adalah membangun ideologi partai politik sebagaimana platform yang menjadi identitas partai politik tersebut. Jadi, harus ada perubahan.
Wallahu a’lam bi al shawab.