• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LEBARAN DAN TRADISI ZIARAH KUBUR

 Lebaran sebagai penanda berakhirnya puasa ramadlan memang menyimpan banyak ritual. Tidak hanya ritual shalat idul fitri dan tradisi sungkeman atau halal bi halal tetapi juga ziarah kubur. Tradisi ini telah terjadi  dalam rentangan waktu yang sangat lama dan tentu bermula  ketika Islam mulai berkembang di Nusantara. Para wali, khususnya walisongo adalah orang yang pertama mengembangkan tradisi nyekar atau tradisi ziarah kubur. Di Nusantara, tradisi ini tentu sudah berkembang pada waktu kerajaan Hindu atau Budha,  namun kemudian memperoleh sentuhan baru yang bersesuaian dengan ajaran Islam.

Di dalam Islam, ziarah kubur semula dilarang oleh Nabi Muhammad saw, ketika akidah umat Islam belumlah kuat. Ada kekhawatiran bahwa ziarah kubur bisa merusak akidah umat Islam. Tradisi ziarah kubur pada masa pra-Islam ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang meninggal. Hal ini seirama dengan penyembahan terhadap arwah leluhur. Tradisi seperti hampir dijumpai pada seluruh penyembah arwah leluhur di berbagai belahan dunia.

Seirama dengan semakin kuatnya akidah umat Islam, maka Nabi Muhammad saw kemudian membolehkan umatnya untuk ziarah kubur. Jadi ziarah kubur juga merupakan tradisi Timur Tengah yang sudah mentradisi sedemikian rupa. Meskipun di tanah Arab tidak terdapat penyembahan kepada nenek moyang,  namun di dalam praktik ziarah tersebut terdapat ritual permohonan kepada arwah yang sudah dikuburkan. Bisa saja permohonannya juga bermacam-macam sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan.

Kebolehan ziarah pada zaman Nabi Muhammad saw kemudian gayung bersambut dengan tradisi ziarah di tempat lain. Makanya ketika Islam masuk ke wilayah yang memiliki kesamaan tradisi maka posisinya saling mengisi. Di Nusantara tradisi ziarah lalu menjadi kelaziman. Tidak hanya ziarah kepada leluhur yang sudah meninggal tetapi juga kepada makam orang-orang keramat.

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan tentang “Islam Pesisir,” (LKiS, 2005),  maka tampak bahwa tradisi ziarah makam wali semakin menunjukkan trend meningkat. Jika di masa lalu ziarah makam wali hanya pada bulan-bulan tertentu, maka sekarang tidak lagi mengenal bulan dan waktu tertentu. Semua bulan ramai dengan kunjungan ke makam para wali. Makam Sunan Ampel, makam Sunan Giri, makam Sunan Bonang, makam Ibrahim Asmaraqandi dan sebagainya semakin ramai dikunjungi para wisatawan ziarah.

Lalu apa relasi ziarah makam, puasa dan hari raya. Kiranya dapat dipahami bahwa puasa adalah sarana untuk tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa, hari raya adalah momentum saling memohon ampunan kepada sesama, maka ziarah adalah prosesi mengingat kematian atau dzikr al maut. Dengan demikian, ketika orang sudah melakukan ritual puasa, ritual ampunan sesama manusia maka dilakukan ritual menziarahi kubur para ahli kuburnya, sehingga lengkaplah sudah tindakan kerohanian, keduniawian dan relasi di antara keduanya.  

Seseorang boleh saja mencari kebaikan untuk urusan keduniawian, seseorang juga boleh mencari kebaikan untuk akhirat tetapi harus ada keseimbangan di antara keduanya. Dan ketika keduanya sudah dilakukan, maka seseorang harus menatap dunia eskatologis dari mana dan mau kemana. Ziarah kubur mengandung makna tindakan eskatologis mau ke mana akhirnya manusia itu. Jadi betapapun seseorang memiliki kekayaan, relasi sosial, jabatan dan kekuasaan, demikian pula kekayaan rohani yang luar biasa ketika di dunia, namun yang jelas ke lobang kubur itu akhirnya. Dengan demikian, ziarah kubur akan menjadi momentum mengingat akhir kehidupan ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini