JADILAH SEPERTI JENDERAL SOEDIRMAN
Ada penggambaran menarik yang disampaikan oleh Pak Winarno tentang kepemimpinan, yaitu yang dinyatakan “Jadilah seperti Jenderal Soedirman”. Hal ini beliau sampaikan dalam kesempatan kegiatan Pra Seminar KKA yang dilaksanakan di LAN, 10/11/2011. Ungkapan ini begitu mendalam maknanya dan menghunjam di dalam hati nurani, sebab disampaikan pada saat yang begitu tepat.
Ungkapan ini menyiratkan tentang bagaimana seseorang harus memimpin di saat yang penting dan mendasar dan pilihan perilaku macam apa yang harus diambil di saat yang menentukan. Sebagaimana diketahui bahwa di saat genting maka pemimpin harus hadir. Di dalam filsafat Jawa digambarkan seorang pemimpin harus melakukan tindakan betada di tempat di saat genting. Jangan pernah terjadi “tinggal glanggang colong playu” artinya meninggalkan medan perang dan melarikan diri. Hal ini adalah tindakan yang dianggap menyalahi prinsip di dalam kepemimpinan. Apalagi kalau tindakan tersebut tanpa didasari oleh alasan yang rasional dan kebutuhan atau kepentingan lainnya.
Representasi kepemimpinan yang dilakukan oleh Jenderal Soedirman adalah kepemimpinan yang terlibat atau kepemimpinan partisipatif. Artinya seorang pemimpin selalu mengikuti terhadap apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Kepemimpinan berciri khas seperti ini akan bisa dilakukan pada saat yang genting dan mendesak.
Pada saat Perang Gerilya melawan penjajah Belanda, maka Sang Jenderal ini terus mengikuti pasukannya. Padahal beliau sedang dalam kondisi Sakit Paru-paru dan keadaannya parah. Beliau disarankan agar istirahat saja, akan tetapi beliau menolak. Sambil ditandu beliau mengikuti perjuangan bala tentaranya di medan kurusetra, beliau ikuti pasukannya di palagan atau medan pertempuran. Beliau tidak lepakan pasukannya berdiri sendiri, berperang sendiri dan berperang tanpa arahan pimpinannya.
Teladan Jenderal Soedirman dapat menjadi kaca benggala bagaimana tindakan pemimpin dalam suasana yang genting dan harus membuat keputusan yang tepat bagi para kawulanya atau para pengikutnya. Di saat genting, maka seorang pemimpin haruslah menjadi Sabda Pandita Ratu. Tidak hanya pandita yang hanya berbicara, akan tetapi juga ratu yang memutuskan tindakan-tindakan dan melakukannya.
Kepemimpinan adalah tindakan untuk memutuskan. Artinya tindakan untuk memilih mana yang dianggap urgent dan importance. Ada hal yang important tetapi kirang urgent, akan tetapi juga ada yang importance dan urgent. Di dalam hal ini maka seorang pemimpin harus mengambil keputusan mana yang urgent dan importance. Jika salah memilih tindakan, maka akan menghasilkan kegagalan atau sekurang-kurangnya hasil yang tidak sesuai dengan keinginan bersama.
Di dalam khasanah pewayangan, maka Sri Kresna tidak hanya penasehat Pandawa dalam perang Baratayuda, akan tetapi sekaligus juga kusirnya Arjuna dalam melawan Karna atau Basukarna, yang juga saudara tirinya sendiri. Basukarna adalah kakak Pandawa yang lahir dari telinga Dewi Kunti. Dia dilahirkan dari telinga Dewi Kunti akibat membaca doa pada saat sedang mandi. Sesungguhnya dia dilarang membaca doa ini ketika sedang mandi. Karena membaca doa dalam keadaan seperti itu, maka akibatnya dia hamil. Karena masih perawan, maka oleh para dewa anaknya dilahirkan lewat telinga. Itulah sebabnya anak tersebut dinamakan Karna atau telinga. Di dalam peperangan ini Karna memang berhasil dikalahkan oleh Arjuna, akan tetapi yang penting bahwa kusir kereta perang Arjuna adalah Batara Krisna yang diyakini sebagai titisan Dewa Wishnu.
Di dalam gambaran ini, maka dapat diketahui bahwa seorang pemimpin tidak hanya duduk saja di singgasananya, akan tetapi juga terlobat di dalam proses dan dinamika perjuangan masyarakatnya. Di dalam kasus Krishna, dia adalah seorang raja, penasehat perang dan sekaligus titisan Dewa Wishnu, akan tetapi mampu menjadi kusir kereta perang. Jadi sekaligus memiliki kemampuan teknis peperangan. Dia tidak hanya menjadi penyusun strategi perang, akan tetapi juga mampu melakukannya secara memadai.
Dengan demikian, nasehat “jadilah seperti Panglima Soedirman” mengandung makna yang sangat mendalam, yaitu hendaknya kita sebagai pemimpin harus menyertai para bawahan ketika bawahan sedang bekerja atau mengerjakan tugasnya. Melalui cara ini, maka mereka akan merasa berada di dalam kebersamaan dengan pimpinannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.