DIKLATPIM DAN PEMBELAJARAN KEPEMIMPINAN
Sudah menjadi pemimpin ternyata masih harus belajar kepemimpinan. Itulah yang kira-kira pertama kali dirasakan oleh beberapa kawan yang mengikuti Diklatpim Tingkat I di Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jakarta. Pertanyaan ini tentunya layak dikemukakan sebab di antara peserta ini ternyata sudah ada yang memiliki pengalaman sebagai pejabat eselon I dalam varian instansinya.
Melalui proses panjang selama mengikuti pendidikan ini, maka akhirnya diketahui bahwa selalu ada manfaat dari proses belajar. Saya lalu menjadi ingat Sabda Nabi Muhammad saw yang menyatakan “carilah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.” Jadi pendidikan adalah long life education atau pendidikan sepanjang masa atau juga disebut sebagai life long education atau pendidikan sepanjang hayat. Jadi sebelum muncul konsep baru tentang pendidikan sepanjang hayat, maka Nabi Muhammad saw sudah mengajarkannya.
Pendidikan apapun, di manapun dan bagaimanapun selalu memiliki peran penting di dalam kehidupan ini. Sejarah telah membuktikannya. Bangsa yang pendidikan masyarakatnya maju adalah bangsa yang maju. Kemajuan pendidikan menjadi salah satu aspek penting di dalam indikator pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Pendidikan dan Latihan yang diselenggarakan oleh LAN adalah pendidikan khusus kepemimpinan. Maka sesungguhnya yang ditransferkan di dalam proses pembelajaran adalah bagaimana menjadi seorang pemimpin. Saya memang sependapat dengan teori yang menyatakan bahwa kepemimpinan memang dilahirkan. Bisa saja lahir dari situasi sosial yang memang menghendaki kelahirannya atau yang memang didesain untuk menjadi pemimpin.
Di dalam situasi krisis biasanya akan melahirkan pemimpin. Masa krisis akan menjadi faktor eksternal lahirnya pemimpin. Di era penjajah, dimana tekanan eksternal sangat kuat, maka akan menghasilkan banyak pemimpin nasional. Mereka tidak lahir secara instan, akan tetapi lahir karena tekanan situasi yang sangat kuat. Di dalam hal ini, maka mereka akan menjadi pemimpin ideologis yang sangat kuat. Itulah sebabnya di era penjajahan akan selalu lahir pemimpin dengan tingkat ideologis yang sangat tinggi.
Berbeda dengan pemimpin yang dilahirkan oleh era keteraturan sosial yang kuat, maka yang lahir adalah pemimpin yang lebih fragmatis. Apalagi jika pemimpin tersebut tidak lagi mengenal atau merasakan masa-masa yang sulit, sehingga tidak merasakan pahit getirnya perjuangan. Itulah sebabnya, pesan Bung Karno adalah “jangan lupakan sejarah”.
Diklatpim tentu tidak akan melahirkan pemimpin heroik. Diklatpim akan melahirkan pemimpin yang secara struktural akan membangun komitmen untuk menjalankan yugas dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi oleh institusinya. Dia akan membangun dan mengimplementasikan ide atau visinya di dalam permanent system yang digelutinya. Oleh karena itu, yang bersangkutan akan mengembangkan idenya untuk perbaikan dan pengembangan program yang terkait dengan tupoksinya.
Di dalam acara Pembukaan secara resmi Kantor Administrasi Negara, maka Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi AE Mangindaan, menyatakan bahwa untuk memangku jabatan eselon I, maka dipersyaratkan “didik duduk”. Artinya, bahwa seorang pejabat akan dapat menduduki jabatan eselon I selama yang bersangkutan sudah pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan eselonisasinya.
Jika di masa lalu bisa saja seseorang menduduki jabatan tertentu tanpa pendidikan yang setara, maka sekarang tidak bisa lagi. Itulah sebabnya Diklatpim Tingkat I ini sangat penting sebab memang merupakan persyaratan bagi pejabat atau yang sudah menjabat untuk memahami apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.
Jadi, diklatpim memang akan menghasilkan pemimpin dalam kapabilitasnya sebagai pemimpin struktural yang akan menyangga kepemimpinan administratif dan pengambil kebijakan yang relevan dengan tupoksinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.