KETELADANAN PEMIMPIN
Sebagai agama yang mengajarkan tentang arti pentingnya kepemimpinan, maka Al Qur’an menyatakan bahwa pada diri Nabi Muhammad saw adalah contoh yang baik atau uswah hasanah khususnya bagi orang yang menginginkan adanya keteraturan kehidupan di dunia ini. Pertanyaannya adalah apakah ada relevansi antara kepemimpinan dengan keteraturan dunia? Sebagai jawabannya, maka dapat dipastikan bahwa ada relevansi yang signifikan antara keduanya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat di dalam berbagai praksis kehidupan yang menyejarah di dalam dunia ini.
Di dalam sejarah agama-agama, maka berbagai konflik yang terjadi sesungguhnya dipicu oleh bagaimana para pemimpin mereka menafsirkan tentang relasi antar agama-agama. Di dalam konflik antara suku-suku di India dengan etnis Arya di India, maka mempertemukan antara Rahwana atau Dasamuka yang merupkan representasi kulit berwarna di India atau masyarakat asli India dengan etnis Arya yang datang dari utara berkulit putih dan berbeda kepercayaan dengan kelompok lainnya. Jika Rahwana dan bangsanya menyembah Dewa Syiwa, maka kelompok bangsa Arya menyembah Dewa Indra yang keduanya kemudian bertempur di dalam episode Epos Ramayana. Jadi pemimpin kedua bangsa berperang untuk kepentingan masing-masing bangsanya. Konflik atau ketidakteraturan di India tersebut terjadi karena pimpinannya berpegang pada prinsip kebenaran masing-masing.
Perang paling monumental adalah Perang Salib yang melibatkan tentara Islam dan Kristen di zaman pertengahan. Pimpinan tertinggi atau Panglima Perang Islam adalah Salahuddin al Ayyubi dan Pimpinan tertinggi tentara Kristen atau Panglima Perangnya adalah Richard Berhati Singa. Keduanya adalah pimpinan bangsa yang ditangannya segala keputusan berperang atau tidak berperang ditetapkan. Perang seratus tahun tersebut menjadi tonggak bagi pembagian dunia Islam dan Kristen yang batas-batasnya sangat jelas. Perang ini tentu mengakibatkan banyak kerusakan, baik harta maupun nyawa. Dan tentu saja masing-masing ingin menjadi pemenang. Jadi, pimpinan juga menentukan terhadap adanya ketidakteraturan di dunia ini.
Sejarah tentu bukan peristiwa ideal. Di dalam sejarah selalu ada bercak-bercak darah yang menetes karena sabetan pedang atau tembakan senapan bahkan meletusnya bom yang meluluhlantakkan dunia dan manusia di dalamnya. Sejarah apapun menggambarkan tentang jatuhnya air mata kesedihan karena ditinggalkan orang-orang yang dicintainya. Di dalam sejarah Islam, misalnya diketahui bagaimana Sayyidina Usman dan Sayyidina Ali meninggal karena keculasan lawan-lawan politiknya. Demikian pula meninggalnya Sayyidina Hussein di Padang Karbala.
Ketika Sayyidina Hussein akan pergi dengan keluarganya untuk mendatangi Padang Karbala, maka beliau dilarang pergi. Ada semacam firasat yang menggambarkan bahwa Sayyidina Hussein dan keluarganya akan dibantai habis oleh lawan politiknya. Ternyata betul bahwa Sayyidina Hussein dan keluarganya dihabisi di Padang Karbala. Kepalanya ditebas dari depan dan lepas dari tubuhnya. Cucu Nabi Muhammad saw yang suci ini harus berkalang tanah dalam sejarah Islam politik yang terjadi kala itu. Muawiyah menang di dalam percaturan kekuasaan politik, sedangkan Sayyidina Hussein menang di dalam percaturan kultural berbasis moralitas. Sayyidina Hussein dikenang sebagai syahid yang luar biasa dalam membela kebenaran yang berbasis moralitas keislaman di kala itu. Ia dikenang oleh umat manusia sebagai orang suci sampai akhir zaman. Kenyataan historis ini juga menyiratkan suatu gambaran bahwa pemimpinlah yang menentukan apakah dunia ini akan teratur atau tidak.
Dengan demikian, sebenarnya dunia ini akan menjadi aman atau tidak sangat tergantung kepada para pemimpinnya. Itulah sebabnya kedudukan pemimpin sangat menentukan terhadap bagaimana keteraturan sosial atau konflik sosial itu akan terjadi. Secara konseptual, maka dua fenomena ini menghasilkan teori sosial yang menjadi grand theory, yaitu teori konflik dan teori keteraturan sosial.
Bagi umat manusia, sebenarnya yang dibutuhkan adalah keteraturan sosial. Siapapun orangnya tentu tidak ingin ada suasana seperti di Afghanistan, Irak, dan dan negara lain yang berada di dalam nuansa konfliktual. Bagi orang yang memiliki nurani tentang kerukunan, keharmonisan dan keselamatan berbasis pada etos keagamaan dan kedamaian.
Untuk meraih keadaan seperti ini, maka peran pemimpin menjadi sangat besar. Secara historis dapat diketahui tentang bagaimana contoh Nabi Muhammad saw membuat Piagam Madinah, yang merupakan contoh kongkrit tentang bagaimana membangun kehidupan masyarakat yang plural dan multikultural dalam satu ikatan kepemimpinan yang memberi keteladanan dan perdamaian. Ada hak dan kewajiban dari masing-masing kabilah atau suku yang berbeda tersebut dalam koridor kesepahaman di antara mereka.
Dalam lingkup Indonesia, kita juga memiliki contoh tentang pemimpin bangsa yang berhasil merumuskan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman sebagai pilar kebangsaan. Melalui pilar kebangsaan sebagaimana yang dirumuskan para pemimpin bangsa tersebut, maka kita sekarang menikmati kehidupan bernegara yang aman, tertib dan damai. Makanya, sudah saatnya jika kita bersyukur atas nikmat kebangsaan yang kita raih sekarang. Tanpa usaha untuk mepersatukan bangsa sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa, mungkin kita sekarang sudah tercerai berai. Jadi, kiranya memang ada relevansi antara keteladanan pemimpin dengan keteraturan sosial di dalam suatu negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.