KENDALA DAN SOLUSI PENGEMBANGAN UMK
Di kota Yogyakarta terdapat sebuah organisasi yang kemudian dikenal sebagai Forum Komunikasi UMKM yang didirikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Organisasi ini sekarang memiliki sebanyak 14 kelompok dengan anggota sebanyak 30-60 orang. Menurut Forkom, bahwa perlu ada kebijakan yang memihak atau pro UMK. Sebagai contoh, dalam hal pemasaran, maka UMK juga tidak memiliki daya tawar yang kuat, misalnya untuk masuk ke Mall, maka Mall memiliki otoritas penuh untuk menerima atau menolak. Hal ini tentu saja terkait dengan standar yang ditetapkan oleh Mall itu. UMK yang belum memiliki brand yang kuat dengan desain dan produk yang sangat bagus, tentu tidak akan pernah bisa bersaing untuk masuk ke Mall. Standarnya sangat tinggi, sementara itu banyak UMK yang tidak bisa memenuhi. Melalui kesulitan pemasaran lewat jalur formal ini, maka pengusaha UMK lalu harus mencari pasar sendiri.
Di dalam hal bahan baku, maka juga sering para pengusaha UMK berhadapan dengan para pengusaha besar. Contohnya bahan baku kulit, maka sering para pengusaha besar dari luar daerah mempermainkan harga kulit tersebut. Belum lagi ketika mendapatkan order yang diperoleh lewat pengusaha, maka biasanya bahan baku juga mereka yang menyediakan. Akibatnya, pengusaha UMK hanya menjadi pekerja untuk para pengusaha perantaranya. Mereka yang lebih berkuasa menentukan harga bahan baku, harga jual dan yang memasarkannya. Jadi dalam banyak hal, pengusaha UMK hanya menjadi pekerja saja.
Problem yang paling berat adalah terkait dengan ekspor produk UMK. Di dalam hal ini, para pengusaha UMK benar-benar menjadi kelompok pengusaha yang sangat tergantung kepada pemberi kerja. Belum lagi problem di jalanan yang sering juga mengganggu, misalnya ketika pengiriman barang ke Semarang –harus melalui transportasi laut—maka di jalan juga banyak tarikan yang harus ditanggung oleh pengusaha. Meskipun jumlahnya kecil-kecil, akan tetapi jumlah banyak, sehingga jika dikalkulasi juga bisa memberatkan terhadap pengusaha UMK. Selain itu juga kualitas teknologi terapan yang dimiliki oleh pengusaha juga sering ketinggalan zaman, sehingga kualitas produk juga kurang memadai. Akibat lebih jauh adalah ketidaksiapan produk UMK untuk bersaing dengan pasar dalam negeri sendiri maupun pasar internasional.
Seorang pengusaha UMK juga menyatakan tentang problem yang menyangkut CSR. Kebanyakan BUMN/BUMD juga mengalokasikan CSR-nya hanya untuk kepentingan ke dalam. Misalnya untuk kepentingan koperasi karyawan. Jadi yang dialokasikan untuk masyarakat, misalnya untuk UMK nyaris tidak ada. Jika kita meminta kepada BUMN untuk membantu terhadap kepentingan UMK, maka juga nyaris tidak memperoleh jawaban yang memadai. Jadi CSR hanya untuk kepentingan internal perusahaan.
Ke depan kita juga akan menghadapi AFTA. Namun demikian respon terhadap hal ini juga belum nampak mengedepan. Dengan adanya AFTA, maka akan semakin banyak pengusaha UMK yang akan mati. Persaingan dengan barang-barang dari luar negeri misalnya Cina, Taiwan dan sebagainya yang secara bebas akan memasuki Indonesia, maka jelas akan mematikan usaha-usaha kecil dan mikro. Selain karena faktor harga yang lebih murah, juga barang dari luar negeri tersebut diproduksi secara masal dan menggunakan teknologi modern, sehingga kualitas produknya jauh lebih baik. Jadi kita menghadapi persaingan harga, persaingan kualitas dan persaingan massal dengan produk luar negeri. Jika tidak diperhatikan tantangan AFTA ini, maka ke depan akan semakin banyak pengusaha UMK yang gulung tikar.
Menurut Triharso Wibowo, bahwa sekarang ini kondisi pengusaha UMK itu membuat produk sendiri dan menjual sendiri. Harus bisa buat, bisa jual. Padahal problem utama dari UMK adalah mengenai bahan baku. Bahan baku menjadi sangat langka karena dikuasai oleh pedagang besar dan mereka menetapkan standart harga yang tinggi, akibatnya tidak mampu terjangkau oleh kemampuan pengusaha UMK. Kotagede dahulunya dikenal sebagai daerah pengrajin perak, akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, sudah mati.
Itulah sebabnya ada yang semula pengusaha menjadi pekerja. Dalam kasus perdagangan ekspor dengan luar negeri, maka seharusnya pembayaran itu dilakukan dengan skema 50 persen dan 50 persen. Jadi down payment-nya mestinya 50 persen dari total pesanan. Akan tetapi yang terjadi hanya 30 persen dan kemudian ketika barang dikirim maka dibayar 20 persen lagi, dan sisanya menunggu sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan pembayaran sampai 100 persen. Di sinilah akan berakibat para pengusaha UMK akan kesulitan modal, sebab uang yang seharusnya bisa ditanam kembali untuk berusaha ternyata nyantol di luar negeri.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Heru, bahwa memang ada dua pola perdagangan dengan luar negeri atau ekspor, yaitu direct selling dan agency selling. Jika pengusaha UMK bisa melakukan jual beli langsung dengan pengusaha luar negeri melalui skema ekspor produk, maka pengusaha akan untung sebab akan bisa menikmati harga yang jauh lebih baik, akan tetapi jika melalui broker atau agensi, maka labanya menjadi mengecil bahkan nyaris tidak ada. Satu kasus terkadang barang yang dikirim itu dianggap tidak memenuhi kualifikasi atau standar ekspor dan sudah dikirim, maka barang itu akan dikembalikan. Jika terjadi yang seperti ini, maka kerugian itu akan ditanggung oleh pengusaha. Jadi untuk ekspor produk memang mengalami banyak hambatan yang dialami oleh pengusaha UMK.
Suyadi, pengusaha UMK juga menyatakan bahwa kenaikan harga terkadang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha lainnya. Dalam kasus bahan baku, terkadang kenaikan harga barang itu dilakukan di tengah produksi sedang berlangsung. Padahal harga jual sudah disepakati, sehingga ketika terjadi kenaikan bahan baku secara mendadak, maka pasti pengusaha UMK akan kalang kabut.
Di dalam menghadapai kenyataan ini, maka mereka mengajukan beberapa Solusi, antara lain:
- 1. Pemerintah memang harus hadir di tengah kesulitan yang dihadapi oleh para pengusaha UMK ini. Misalnya melalui payung regulasi yang memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada mereka. Payung regulasi ini penting agar mereka bisa berusaha dengan nyaman dan tenang, sebab pemerintah memberikan jaminan keamanaan untuk berusaha.
- 2. Pemerintah juga harus memperdulikan terhadap pengusaha UMK terkait dengan anggaran yang memihak kepada pemberdayaan UMK. Selama ini para pengusaha bermodalkan dengan kemampuan sendiri, menjual sendiri dan berusaha sendiri. Ke depan diperlukan program yang lebih menukik kepada kepentingan pengusaha UMK dan pemberdayaannya.
- 3. Pemerintah juga harus memberikan proteksi terhadap bahan baku dan produk UKM. Jangan dibiarkan bersaing bebas, sebab dengan persaingan bebas, maka akan banyak pengusaha UMK yang gulung tikar.
- 4. Untuk perdagangan ekspor produk UMK, maka sudah saatnya pemerintah terlibat di dalam fasilitasinya. Misalnya dengan membuat jaringan dan kerjasama antar negara atau antar perusahaan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada para pengusaha UMK.
- 5. Aparat pemerintah juga harus diubah mindsetnya agar jangan menjadikan pengusaha UMK sebagai sapi perah di dalam proses produksi dan pemasarannya. Banyaknya biaya tidak resmi atau biaya diluar ongkos produksi akan sangat membebani terhadap para pengusaha UMK, sehingga akan membuat harga barang tidak lagi bisa bersaing.