MENGEMBANGKAN UKM DI YOGYAKARTA
Beberapa hari yang lalu, kita mendiskusikan tentang pengembangan UKM di Yogyakarta. Mengapa hal ini diperlukan? Apa relevansinya dengan pemerintah di dalam pengembangan UKM ini?Adakah bahwa pengembangan UKM berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakat?
Dari temuan lapangan, maka didapati adanya beberapa faktor yang melatarbelakangi rumitnya pengembangan UKM, yaitu adanya kebijakan pemerintah daerah yang kurang mendorong pengembangan UKM, adanya pola ekonomi yang berbasis rent seeking atau pola ekonomi rente, keterbatasan tentang pemasaran produk UKM, sumber daya UKM yang memang belum profesional dan juga kualitas produk yang belum memadai.
Memang harus diakui bahwa ada empat problem yang terkait dengan UKM yang ada semenjak dahulu hingga sekarang. Yaitu problem akses dana, problem kualitas produk, problem kualitas SDM dan problem pemasaran. Empat problem ini merupakan problem yang sistemik, artinya bahwa satu problem mempengaruhi terhadap yang lain. Misalnya problem SDM, maka akan berpengaruh terhadap problem kualitas produk dan berpengaruh terhadap pemasaran, demikian pula problem akses modal juga berpengaruh secara sistemik terhadap kualitas produk dan pemasaran. Demikian seterusnya.
Saya pernah melakukan pemetaan terhadap struktur home industry di Bojonegoro dan Ngawi di dalam kerangka Gerakan Kembali ke Desa (GKD) dengan konsep one village one product. Program ini sudah berlangsung pada waktu Gubernur Basofi Soedirman tahun 1990-an. Atau tepatnya tahun 1995-2000. Kala itu Pak Basofi hanya berkuasa selama satu periode yang diganti oleh pak Imam Oetomo. Problem home industry seperti ini sudah terlacak semenjak itu. Artinya, problem ini adalah problem akut yang hingga sekarang tetap menyejarah.
Akan tetapi hingga sekarang problem ini masih menjadi problem nasional. Berarti bahwa pengentasan kaum UMK tidak bergerak secara signifikan di tengah arus reformasi pembangunan. Menilik kenyataan ini, maka sebenarnya bisa dinyatakan bahwa perhatian pemerintah terhadap problem mendasar UKM belumlah maksimal.
Dalam kasus di Yogyakarta, ternyata bahwa problem utama ini juga belum secara maksimal disentuh oleh pemerintah. Berdasarkan pengakuan para responden yang sempat ditemui di Yogyakarta Fashion Week, ternyata mereka juga belum pernah memperoleh suntikan dana dari pemerintah. Sejauh yang diperoleh adalah sarana untuk mengikuti pameran saja dan pelatihan SDM untuk pengembangan kualitas produk UKM.
Memang sebagaimana yang diungkapkan oleh pejabat DIY, bahwa selama ini memang masih terbatas sentuhan program pada UKM. Memang ada kelompok-kelompok binaan yang disentuh melalui program yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertanian yang berupa dana pembinaan kepada UMK, akan tetapi jumlahnya masih sangat kecil.
Itulah sebabnya beberapa pelaku bisnis UKM juga mengusulkan agar anggaran untuk UKM bisa dinaikkan. Hal ini mengingat bahwa DIY tidak memiliki sumber daya alam yang kuat selain pariwisata dan ekonomi kreatif. Itulah sebabnya para pengusaha UKM menginginkan agar sentuhan program terutama permodalan dapat ditingkatkan oleh pemerintah.
Kita memang tidak mengingkari bahwa sudah ada usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah, akan tetapi mungkin ke depan harus diperkuat lagi program pemberdayaan UKM. Untuk itu maka yang dibutuhkan adalah pemihakan pemerintah baik dari sisi payung regulasi atau program yang mengarah kepada sasaran langsung para pengusaha UKM.
Wallahu a’lam bi al shawab.