MEMBANGUN PARTAI POLITIK IDEOLOGIS
Salah satu keberhasilan orde baru adalah menjadikan partai politik tidak memiliki ideologi yang sangat kuat. Hal itu terbukti dari ketiadaan ideologi partai yang bertentangan satu dengan lainnya. Bahkan kemudian juga diciptakan kondisi floating mass di mana masyarakat tidak lagi berideologi partai tertentu, akan tetapi masyarakat menjadi massa mengambang yang pilihan politiknya tumbuh sesaat. Mayoritas masyarakat tidak memiliki pilihan politik berbasis ideologis tersebut.
Disebabkan oleh ketiadaan ideologis yang mendarah daging tersebut, maka masyarakat juga tidak memiliki pilihan politik berbasis ideologis. Ada gurauan di kalangan masyarakat, bahwa “saya patuh pada bapak, akan tetapi izinkan saya untuk berbeda dalam beberapa menit di dalam bilik pilihan.” Mengapa berbeda pilihan politik tentu karena ada faktor yang menyebabkannya berbeda. Jadi bisa saja terjadi perubahan konstelasi politik yang sangat cepat tergantung kekuatan faktor eksternal.
Sesungguhnya, di Indonesia terutama pada zaman orde lama, maka partai ideologis tersebut dipupuk dengan sangat kuat. Marhaenisme bisa menjadi ideologi partai yang luar biasa. Melalui proses indoktrinasi yang sangat kuat di berbagai lapisan, maka marhaenisme bisa menjadi common platform yang sangat kuat. Demikian pula komunisme juga bisa menjadi ideologi yang sangat kuat, sehingga masing-masing bisa menjadi kekuatan partai politik tersebut.
Mengikuti cara berpikir Zubaidah Yusuf, maka ada empat ideologi yang begitu mewarnai terhadap perjalanan politik di Indonesia, yaitu: Masyumi dengan ideologi Islam modern berbasis purifikasi, kemudian NU dengan ideologi Islam tradisional berbasis moderatisme, PKI dengan ideologi Komunisme Internasional dan PNI dengan ideologi Marhaenisme. Masing-masing menjadikan ideologinya tersebut sebagai bahan indoktrinasi yang mengarah kepada pilihan politik pasti dan bukan massa mengambang. Orang NU pasti akan memilih Partai NU, orang komunis pasti akan memilih PKI, orang Marhaen pasti akan memilih PNI dan orang Islam modern pasti akan memilih Masyumi. Jadi ada kepastian pilihan politik tersebut.
Keadaan seperti ini yang tidak terjadi sekarang. Orang bisa pindah-pindah partai politik sekenanya. Bisa loncat sana loncat sini. Maka ada yang disebut sebagai kutu loncat. Orang yang suka meloncat-loncat seperti ini tentu bukan seorang kader. Kader yang baik adalah kader yang komitmen dan konsisten di dalam memperjuangkan ideologi partainya. Jadi yang seperti ini tentu bukan kader yang baik. Orang seperti Muso dan Amir Syarifuddin yang berideologi komunis adalah orang yang rela mempertahankan ideologinya meskipun berhadapan dengan kekuatan dahsyat di sekitarnya. Demikian pula Soekarno dengan ideologi Marhaenisme, Natsir dengan Islam
purifikatifnya dan sebagainya.
Partai politik dewasa ini tidak mengusung ideologi. Makanya, kader partai politik juga bisa saja pindah dari satu partai ke partai lainnya. Ada seorang kader partai yang periode kemarin menjadi wakil rakyat dari partai X dan sekarang menjadi kader partai Y. Bukankah di hadapan kita banyak terbentang perpindahan dari satu partai ke partai lain dengan gampangnya. Bahkan orang yang dianggap sangat ideologis ternyata juga bisa pindah ke partai politik lain.
Jadi sesungguhnya di Indonesia sekarang ini tidak ada partai politik dengan platform yang jelas. Semuanya sama hanya beda nama saja. Disebabkan oleh floating mass ini, maka semua partai berebut dalam wilayah dan konstituen yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang diperjuangkan oleh partai Golkar dan PDIP. Demikian pula tidak ada perbedaan antara partai Demokrat dengan PKB dan seterusnya.
Kemudian, keadaan semakin diperparah dengan fragmatisme yang menjadi pandangan hidup kader partai, sehingga kemudian partai politik juga hanya menjadi kendaraan. Dipakai jika diperlukan dan ditinggalkan ketika sudah tidak bisa menjadi kendaraan lagi atau sudah tidak nyaman dikendarai.
Makanya, ke depan harus dibangun ciri khas kepartaian dalam rangka untuk memberi platform partai tersebut di mata pendukungnya. Tentu saja hal ini membutuhkan revitalisasi partai politik dalam relasinya dengan masyarakat dan juga masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.