SILATURRAHMI LEBARAN
Ketika di Arab Saudi sudah banyak yang melaksanakan puasa Syawal yang dilakukan satu hari setelah hari raya Idul Fitri, maka di masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, justru masih menyelenggarakan acara hari lebaran. Di Indonesia memang hari raya Idul Fitri bisa dilakukan berhari-hari. Baik acara yang diselenggarakan secara individual maupun secara berkelompok. Apalagi sekarang ini sedang berlangsung satu tambahan tradisi baru dalam melaksanakan acara halal bi halal yaitu halal bi halal keluarga, yang mengambil tokoh sentral dari keluarga itu, misalnya Bani Ismail, Bani Ridwan dan sebagainya.
Silaturrahmi di dalam Islam memang dianjurkan, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw “man kana yu’minu billahi wa al yaum al akhir fa al yashil rahimah” artinya “barang siapa mempercayai Allah dan Rasulnya, hendaknya menyambung tali silaturrahmi”. Perintah ini sangat jelas sehingga tidak perlu penafsiran lebih lanjut. Hanya saja silaturrahmi yang dilakukan secara kelompok satu nasab memang hanya terjadi di Indonesia, bahkan mungkin di Jawa.
Di dalam Islam memang tidak diatur tentang cara yang tegas tentang bagaimana silaturrahmi tersebut dilakukan. Islam hanya melakukan himbauan moral tentang pentingnya menjaga tali silaturahmi tersebut. Bahkan Islam juga tidak secara spesifik mengatur menyambung tali persaudaraan antar keluarga saja atau lebih umum. Oleh karena itu pelaksanaan silaturrahmi diserahkan kepada kepentingan manusia saja. Dan yang lebih spesifik silaturrahmi justru dilakukan pada hari raya Idul Fitri. Di Arab Saudi tempat asalnya agama ini justru tidak memiliki tradisi seperti ini. Di sana, silaturahmi dapat dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu hari raya.
Tradisi inilah yang kiranya menjadi ciri khas Islam negeri ini. Oleh beberapa penulis antropologi disebut sebagai Islam Jawa, Islam Nusantara atau Islam Indonesia. Yakni Islam yang telah mengalami pergulatan dengan budaya lokal bukan dalam arti saling mengalahkan untuk saling menguasai atau saling mencampur antara satu dengan lainnya seperti melting pot tetapi Islam yang saling berdialog dalam membentuk Islam yang khas, seperti tradisi Islam Halal bi Halal tersebut.
Sehari setelah hari raya, dengan keikhlasan masyarakat melakukan silaturrahmi kepada sanak kerabat yang jauh atau dekat, tetangga yang jauh atau dekat. Dan setelah semuanya bisa dilakukan maka kemudian silaturahmi dilakukan kepada para guru, sabahat atau orang-orang yang dianggap penting. Semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk melaksanakan ajaran agama sebagaimana pesan moral Nabi Muhammad saw tersebut. Ketika kita berusia belasan tahun, tentu masih ingat, jika kita bertemu dengan seseorang yang lebih tua lalu diajari dalam bahasa Jawa untuk menucapkan ”ngaturaken sedaya kalepatan kulo ingkang boten angsal izine syara’ sageta lebur dinten niki” . Kalimat ini harus dihafalkan sehingga ketika bertemiu siapa saja yang lebih tua, maka ungkapan itulah yang muncul dari seseorang.
Sekarang tentu sudah terjadi perubahan yang cukup signifikan. Ungkapan permohonan maaf seperti itu hanya diucapkan orang-orang yang usianya sudah mencapai 40-an tahun ke atas. Yang muda-muda hanya cukup menyatakan ”lahir batin ya” atau ungkapan yang lebih Islami ”minal a’idin wal faidzin, maaf lahir batin” Ungkapan boleh saja berubah, sebab ungkapan hanyalah budaya luar atau surface of culture, tetapi yang terpenting adalah makna budayanya atau core of culture yaitu saling memaafkan antara satu dengan lainnya.
Kita semua masih bergembira, sebab meskipun zaman sudah berubah menuju ke arah rasionalisasi dan keterbukaan serta globalisasi ternyata acara-acara untuk melaksanakan halal bi halal ternyata masih terus terjadi. Jika tradisi lain sudah mulai digerus oleh arus globalisasi ternyata yang satu ini masih tahan pukul atau tidak berubah. Dengan demikian, maka pelestarian tradisi Islam Jawa tampaknya akan berada dijalur yang benar. Kita tidak khawatir sebab tradisi halal bi halal sebagai bagian dari tradisi Islam akan terus berlangsung di kemudian hari.
Wallahu a’lam bi al shawab.