INDUSTRY FOR BETTER LIFE
Saya senang sebab pagi ini, 24/10/2011, saya memperoleh ceramah dari Wakil Menteri Perindustrian, Prof. Dr. Ir. Alex SW Retraubun, yang secara kritis melakukan penilaian tentang kebijakan ekonomi di Indonesia. Secara makro, ekonomi Indonesia berkembang 4,9 persen tahun 2009 dan tahun 2010 menjadi 6,1 persen. Sesungguhnya Indonesia bisa mejadi raksasa ekonomi sebab memiliki sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Hanya sayangnya bahwa SDA yang melimpah tidak bisa menjadi pengungkit besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekayaan yang ada di lautan ternyata tidak terhingga, demikian pula yang di daratan. Mulai dari bahan tambang, hasil hutan, hasil laut dan sebagainya yang bisa dijadikan sebagai instrumen bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kiranya memang perlu ada perubahan mindset di kalangan para pengambil kebijakan. Untuk memahami pentingnya perubahan ternyata butuh waktu. Untuk menyadarkan bahwa ada potensi kelautan yang memiliki potensi untuk pembangunan masyarakat. Makanya setiap wilayah akan didirikan cluster yang dipimpin oleh pejabat yang memiliki mindset untuk menumbuhkan industri di wilayah clusternya.
Bayangkan bahwa rumput laut kita adalah yang terbaik di dunia. Akan tetapi bahwa yang dijadikan bahan ekspor adalah bahan baku yang harganya murah. Ke depan kita harus mengekspor bahan jadi atau sekurang-kurangnya setengah jadi. Sebab melalui ekspor bahan baku, maka harganya tidak akan bisa bersaing. Sebagai penghasil rumput laut untuk bahan-bahan kosmetik, obat-obatan dan sebagainya, semestinya bisa diproduksinya di dalam negeri, sehingga yang diekspor adalah bahan jadi atau setengah jadi.
Sayangnya masih ada kebijakan para pimpinan negara yang mengembangkan pemikiran neoliberalisme, dengan proposisinya yang terkenal yaitu “biarkan pasar bersaing bebas terjadi begitu saja”. Melalui filsafat ekonomi kapitalistik ini, maka segalanya diatur pasar. Tidak perduli apakah yang akan bersaing itu sepadan atau tidak. Di Amerika, proteksi terhadap program industri yang baru lahir selalu dilakukan dan baru boleh bersaing ketika sudah tumbuh dewasa. Sedangkan di Indonesia, hal itu tidak terjadi. Besar-kecil bersaing bebas. Itulah sebabnya di Indonesia pertumbuhan industri sangat sulit.
Bisa dibayangkan bagaimana Indonesia bisa mengimpor garam padahal Indonesia memiliki banyak wilayah yang bisa menghasilkan garam. Sepanjang pulau Madura adalah produsen garam yang telah menyejarah sepanjang masa. Produknya juga tidak kalah dengan yang lain. Ketika mereka panen garam, ternyata produk garam di pasar sudah jenuh sebab ada barang impor. Di NTT terdapat waktu selama delapan bulan tidak ada hujan, sehingga musim kering sebagai musim produksi garam yang luar biasa, jauh lebih besar disbanding dengan kapasitas Jawa Timur. Jadi kalau semua digerakkan, maka sebenarnya swasembada garam itu akan bisa dilaksanakan.
Demikian pula dengan kentang. Bagaimana negara yang terkenal sebagai negara agraris ini ternyata mengimpor kentang dari C ina. Ketika para petani Indonesia panen kentang ternyata kentang di pasar sudah sangat banyak sehingga harga kentang lokal tidak bisa bersaing dengan kentang dari Cina. Inilah beberapa ironi yang terjadi di Indonesia.
Perkembangan industry sangat rendah dan dengan distribusi yang sangat tidak merata. Bayangkan industry berkembang dengan persentase 70 persen di Jawa, 20 persen di Sumatera dan 10 persen di wilayah lain. Hal ini menandakan bahwa pembangunan industri kita tidak adil. Ada bias distribusi yang luar biasa. Bisa dibayangkan bahwa kakao itu produk dari Sulawesi, sementara itu pabrik kakao di Bandung. Maka biaya produksinya menjadi mahal, sebab ada biaya transportasi, upah kerja dan prosesnya yang menjadi lebih mahal. Andaikan di bangun pabrik kakao tersebut di Sulawesi, maka harga produknya relatif rendah dan juga bisa mengembangkan kawasan ekonomi di wilayah lain.
Ada tradisi untuk mengembangkan industri besar, seperti industri Sawit. Sebab di situ banyak orang besar yang berada di situ. Sementara industri kelapa tidak terurus. Produk kelapa itu ada di sepanjang pantai mulai dari Sumatera sampai Papua. Dan yang mengurus kelapa adalah masyarakat. Makanya pantas jika masih banyak orang miskin sebab industri yang berkaitan langsung dengan produk masyarakat tidak diurus dengan maksimal.
Jadi harus ada kebijakan dan keputusan untuk mendukung terhadap industry yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Kalau industri otomotif tanpa didukung oleh kebijakan pemerintah pun akan bisa berkembang, akan tetapi jika industri kelapa yang berbasis rakyat harus didukung oleh keberpihakan pemerintah.
Wallahu a’lam bi al shawab.